Malam Nikmat Dan Gaun Hitam

"Baginda Raja Xavier akan menikahi sang titisan dewi, siapkan semuanya dengan baik. Rentangkan karpet merahnya!" teriak Cilo dengan keras setelah mendapatkan persetujuan.

Pythia terbangun karena mendengar suara keributan, ia merasa heran ketika banyak orang terus tersenyum manis dan meminta berkat untuknya. Hanya bisa membuatnya tersenyum palsu, meskipun banyak pertanyaan yang berada di dalam benaknya.

Xavier segera menggenggam tangan Pythia untuk berjalan masuk ke dalam istana. Semua pedang milik pengawal istana diturunkan saat sang raja berjalan bersama titisan dewi yang mereka percayai.

"Inilah istana sederhana ku, Pythia. Sekarang semuanya akan menjadi milikmu," ucap Xavier.

"Mi-mi-milik ku? Sungguh semuanya? Hei! Xavier, aku sangat asing dengan tempat ini." Pythia mulai terbata-bata saat melihat istana mewah berwarna serba putih.

"Sekarang asing, tapi nanti tentu saja tidak. Ayo kita masuk ke kamarmu. Kau harus beristirahat agar besok pagi bisa segar saat menyambut perayaan untukku," pinta Xavier sembari merebahkan tubuh Pythia dengan menarik jubahnya.

"Perayaan untukku?"

"Ya, perayaan karena kita akan menikah. Setelah itu aku akan nobatkan dirimu sebagai permaisuri bagiku, Pythia."

"Ta-tapi, itu sungguh berlebihan, Xavier. Aku tidak mau itu semua, percayalah."

"Tidak lagi diragukan kalau Pythia benar-benar datang seperti di dalam ramalan. Dia bahkan sama sekali tidak tertarik dengan kekuasaan apalagi posisi menjadi permaisuri. Padahal, di luar sana banyak sekali wanita yang berlomba-lomba untuk menarik simpati ku," batin Xavier yang sama sekali tidak berpaling.

"Pythia, aku menginginkanmu saat ini. Setelah perayaan tiba, kita akan semakin berdekatan, tapi sekarang aku ingin dirimu lagi tepat setelah kita memasuki istanaku ini," ucap Xavier yang perlahan-lahan mulai membuka penghalang di tubuh Pythia.

"A-apa maksudnya?"

Tidak membuat Xavier menjawab, namun justru ia kembali merebahkan tubuh Pythia hingga membuat wanita itu kembali berteriak dengan ******* manja di balik dekapannya.

Untuk kedua kalinya, Xavier kini ingin memperlihat bahwa kekuasaannya ada di dalam istana dengan kembali merampas Pythia dengan penuh pesona.

Merenggut kembali sampai benar-benar tidak tersisa, sat kesucian Pythia telah berhasil lepas setelah kedua kalinya.

"Kau sangat indah, aku bisa semakin melihat dengan jelas keindahanmu di bawah cahaya lampu dan bulan secara bersamaan," bisik Xavier tepat ketika jendela kamarnya ia biarkan terbuka bebas, dan memperlihatkan sentuhan mesra di depan alam semesta.

"Ah ... Pythia, aku hampir tiba ...." Xavier mulai mendesah hingga membawa Pythia ke dalam pelukannya dengan erat.

"Apa yang ingin tiba, Xavier?" Pythia merasa aneh terlebih saat ditubuhnya sendiri seperti ingin mengeluarkan sesuatu. Bukan apa-apa, namun karena sebelumnya ia sudah melupakan segala hal tentang hubungan dewasa.

Meskipun begitu, sensasi yang Pythia rasakan dapat membuatnya cukup bahagia. "Apa barusan yang terjadi? Tempat tidurmu sampai basah."

"Itu hal yang wajar, Sayang. sekarang apa kau lelah? Jika ya, maka beristirahatlah," tanya Xavier tanpa lupa mengecup bibir wanita itu.

"Lalu kau ingin ke mana?"

"Aku ada urusan sedikit. Sudah ... jangan lagi banyak berpikir. Sekarang tidurlah, aku akan kembali setelah mengurus beberapa hal," ucap Xavier sembari menyelimuti tubuh wanita itu.

"Baiklah."

Pythia hanya menjawab dengan sekedarnya, namun semua itu membuatnya sama sekali tidak bisa tertidur. Ia berjalan ke arah lemari dengan perlahan-lahan saat kedua pinggangnya masih terasa sedikit lelah setelah melakukan pertempuran, dan melihat begitu banyak gaun indah yang setara dengan ukuran tubuhnya.

"Apa gaun ini memang disediakan untukku? Cantik sekali," gumamnya sembari mencoba salah satu gaun dengan warna kesukaannya yaitu hitam.

Bergerak ke arah jendela sebelah kiri, yang menembus langsung ke bawah istana, namun tidak jendela kanan yang menghadap ke arah lautan. Menatap banyak orang-orang unik yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang berbadan kerdil, ada yang terlalu tinggi, dan ada warna kulit yang hitam pekat.

"Istana ini unik sekali, mungkin aku akan betah untuk tinggal di sini."

Pythia mulai keluar dari kamarnya, ia merasa bosan jika harus berada di dalam ruangan serba putih. Namun kedatangannya yang memakai gaun hitam, justru membuat orang lain menatapnya dengan penuh kebencian.

"Kenapa dia memakai warna hitam? Jelas-jelas warna itu dikaitkan dengan kematian."

"Aneh, katanya titisan dewi. Padahal, sang dewi sangat menyukai warna cerah, kan?"

"Sudah jangan bergosip, nanti para kekuasaan istana akan mendengarnya."

Gunjingan orang-orang mulai terdengar, bahkan bukan lagi berbisik, tetapi berusaha keras bersuara demi bisa Pythia dengar. Ia menatap ke bawah gaunnya, terlihat tidak ada yang salah.

"Apa yang aneh dengan warna hitam ini? Aku sangat menyukai warna ini," gumam Pythia yang sama sekali tidak peduli dengan komentar mereka.

Sama sekali tidak peduli, hingga Pythia berpapasan dengan seorang wanita cantik lengkap dengan gaun biru muda serta memakai sebuah mahkota kecil di atas kepalanya.

Pandora Tessa menatap Pythia dengan penuh keheranan, ia melihat dari atas hingga ke ujung kaki sebelum akhirnya menahan tawa. "Apa kau tidak salah dengan kostum mu ini, Dewi Pythia?"

"Apa? Memangnya kenapa? Aku tidak berjalan telanjang, bukan? Lalu masalahnya di mana?" Pythia sedikit kesal dengan komentar, hingga ia berusaha membangkang.

"Memang tidak salah, tapi bukan berarti kau bisa memakai gaun apapun hanya karena untuk menutup tubuhmu ini. Dewi Pythia, sebentar lagi kau akan menjadi saudaraku, jadi berpakaian lah dengan layak karena sedikit saja kesalahanmu akan membuat seorang orang menatap."

"Begitu ya? Tapi mau bagaimana lagi? Aku sangat menyukai pakaian berwarna hitam, entah kenapa, tapi saat melihatnya justru keinginan untuk memakai jauh lebih besar."

"Aku tahu, Dewi Pythia. Meskipun begitu, tetap saja kau harus jaga image sebagai salah tahu orang terpenting di istana. Bukan sekedar menjadi saudaraku, tapi kau istri kedua suaminya nanti. Ayo aku temani untuk menggantikan gaunmu," ajak Pandora sembari tersenyum ramah.

"Um, baiklah," sahut Pythia dengan sangat terpaksa.

"Warna kulitmu semuanya akan cocok memakai gaun apapun, tapi tidak dengan hitam karena itu lambang dari sebuah duka. Dahulu jika ada yang memakai gaun tersebut, akan datangnya bencana besar. Untuk mengindari itu, pakaian warna lain, ya. Ambil ini merah sangat cocok untukmu," pinta Pandora yang terlihat sangat peduli.

"Bagus juga, tapi aku tidak terlihat seperti ibu tiri yang kejam, bukan?" tanya Pythia yang asal bicara.

"Bahasa apa itu? Memangnya ibu tiri selalu kejam, ya? Tentu saja tidak, Dewi Pythia. Lihat kau tampak anggun dan cantik sekali."

"Benarkah?"

Pandora menjawab dengan anggukan kecil sembari bertanya. "Tapi ngomong-ngomong, kau ingin pergi ke mana saat itu? Bukankah Xavier menyuruhmu untuk beristirahat?"

"Ya, tapi aku sangat bosan di sini apalagi tidak ada teman mengobrol satu pun. Apa kau mau menjadi teman mengobrol untukku? Bahkan aku belum tahu namamu."

"Tentu saja boleh. Namaku Pandora Tessa yang berarti tidak terkalahkan. Jadi, panggil aku Pandora, kau ingat?"

"Pan-do-ra! Oke, aku akan mengingatmu, teman," sahut Pythia sembari mengeja namanya.

"Ya sudah, ayo aku akan mengajakmu keliling istana," ajak Pandora seraya mengulurkan tangannya.

Uluran tangan diterima, membuat mereka berjalan bersama sampai membuat Xavier tersenyum senang melihat istri dan calon permaisurinya sangat akur.

"Wah ... Baginda, sepertinya badai besar tadi cukup membawa berlian yang berkali-kali lipat untukmu. Lihat saja, Ratu Pandora dengan lapang dada menerima kehadiran madunya. Memang kebaikan hati Ratu Pandora sudah tidak perlu dipertanyakan," puji Baron dengan penuh semangat.

"Kau benar, Baron. Aku beruntung mendapatkan Pythia, tapi jauh lebih beruntung saat kebesaran hati Pandora menerima kehadirannya."

"Selamat atas kemenangan mu, brother. Aku ikut senang dengan pencapaian serta keberhasilanmu membawa Dewi Pythia masuk ke dalam istana kita. Bahkan kedatangannya sampai terdengar cukup meriah." Terdengar sebuah pujian dari arah belakang.

Xavier dan Baron segera menoleh ke belakang, saat menyadari kedatangan Frederick. Adik angkat dari Xavier, diangkat sebagai adik ketika kedua orangtuanya telah tewas saat dimedan perang. Kesetiaan kepada sang raja hingga menjadikan Frederick sebagai saudara.

"Terima kasih banyak, brother. Jika sekarang aku, maka nanti dirimu akan membawa keberuntungan. Kapan kau akan menyusul ku menikah?" tanya Xavier tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun.

"Um, aku mungkin tidak akan menikah, Kak Xavier. Kau saja lebih dulu," sahutnya dengan santai.

"Loh? Kenapa? Menikahlah agar kita bisa menjodohkan pewaris kerajaan."

"Masih panjang karena aku juga sedang berkuliah untuk menjadi seorang pengacara istana. Tenanglah, Kak Xavier. Adikmu ini masih sangat betah sendiri," sahut Frederick yang lebih menginginkan mendapatkan jabatan serta gelar. Meskipun di dalam dunia paralel, namun kehidupannya masih berjalan seperti di dalam bumi pada umumnya.

"Ya sudah, itu urusanmu saja. Kalau begitu nanti bersiaplah, kita kan turun ke aula istana."

"Baik, Kak Xavier."

Senyuman Frederick seketika berubah ketika Xavier dan Baron meninggalkannya sendirian. "Aku cukup senang, tapi aku jauh lebih senang setelah berkenalan dan tahu tentang Pythia. Aneh, wanita itu tiba-tiba datang, tapi darimana asal mulanya berasal?"

Terpopuler

Comments

help

help

aduhh

2023-06-09

0

libra

libra

frederick kamu jangan stress yaa, cocok kaya nih lanjut thorr

2023-06-03

2

After

After

ditunggu kamu sellu bawa hari2 indah thor

2023-06-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!