Jatuhnya Sang Bintang
Siapa yang tak kenal dengan Ayudia Maharani? Dia lah sang bintang di kelas. Hampir setiap semester selalu menduduki peringkat teratas. Dan bukan kelas sembarangan. Di sekolahnya memang ada satu kelas unggulan di mana diambil hanya dua puluh siswa yang memiliki nilai paling tinggi di seluruh sekolah. Artinya, Ayudia menduduki peringkat satu juga untuk satu sekolah.
“Siapa? Ayudia lagi? Ish! Nggak heran, sih!”
“Dia lagi? Astaga! Nggak ada matinya itu anak!”
“Kapan aku bisa segenius dia, ya?”
Begitulah kira-kira komentar dari para siswa kelas lain. Ya, nama Ayudia Maharani memang tak pernah luput disebut di jajaran peraih nilai tiga besar tertinggi satu sekolah. Dan tidak ada yang iri terhadap prestasinya, sebab memang Dia—begitu panggilan akrabnya—selalu tampak paling rajin di antara mereka, pun juga paling aktif ketika merespon pertanyaan guru di kelas.
Sejak kelas satu SD dulu juga memang begitulah kebiasaannya. Bahkan, sudah lama orangtuanya tak pernah membayar biaya sekolah sebab Dia selalu mendapat beasiswa prestasi sampai ke jenjang SMA. Hadiah setiap kali menerima raport juga tak pernah luput disabetnya. Ayah dan ibunya tentu selalu menjadi yang paling berbangga ketika rapat pengambilan raport tiba.
Tapi sayangnya, justru di saat ujian akhir nasional yang adalah penentuan akhir, Ayudia sedang terserang gejala typus sehingga ia tidak maksimal dalam mengerjakan soal ujian. Saat itu ia berkeras tak mau bolos sekolah dan tetap masuk meskipun tubuhnya terasa sangat tak enak. Ia tak mau kalau sampai ikut ujian susulan sehingga ia berusaha keras bertahan dalam kesakitannya.
Hasil yang buruk pun dituai. Ia harus terima saat nilai ujiannya anjlok parah hingga menghilangkan kesempatan untuk masuk ke jalur beasiswa penuh di universitas yang diidamkan. Semua itu sungguh di luar rencananya. Ayudia shock luar biasa.
“Gimana, Dia?” tanya Elvira seraya memegangi lengan sahabatnya itu.
Ayudia tampak lemas, bahunya merosot dan wajahnya juga teramat redup. Elvira sepertinya bisa menebak apa hasilnya. Tapi sebagai sahabat ia masih terus menyemangati Ayudia sebisanya.
“Belum lolos, ya?” tanya Elvira lagi sambil memeluk Ayudia dan mengelus-elus punggung gadis itu.
“Banyak yang skornya lebih tinggi dari aku di sekolah lain, El.” Jawaban lemah itu terdengar dari mulut Ayudia. Dia baru saja keluar dari ruang Bimbingan Konseling di mana tempat setiap murid kelas tiga berkonsultasi perihal jenjang kuliah yang akan diambil.
Sudah lama Ayudia berencana akan membidik program beasiswa penuh di sebuah universitas negeri ibu kota tersebut. Guru konseling sendiri juga telah menyatakan dukungannya serta juga telah mendaftarkan semua prestasi yang dimiliki oleh Ayudia. Tapi persyaratan untuk peraih beasiswa itu memang sangat ketat. Bukan hanya rekam jejak prestasi selama enam semester di SMA, tetapi nilai akhir ujian nasional juga menjadi poin tersendiri. Dan di poin itu Ayudia kalah dari beberapa siswa lain yang jauh lebih beruntung darinya sebab tidak jatuh sakit di saat ujian.
“Sabar, ya ... kalau nggak lolos kamu ikut tes sekolah tinggi ikatan dinas aja. Pasti lolos!” Elvira langsung menyarankan apa yang dikiranya memang cocok sekali untuk anak seperti Ayudia.
“Tapi bahkan nanti untuk berangkat dan tesnya yang berkali-kali ke luar kota itu aku nggak ada biayanya, El.” Ayudia mengeluh sambil menghela napas panjang penuh sesal.
Sungguh, ia marah pada tubuhnya sendiri yang memilih sakit justru di masa ujian kemarin. Biasanya ia selalu sehat dan bahkan jarang sekali membolos sekolah dengan alasan sakit. Ia merasa seolah takdir memang tak berpihak padanya. Ia mulai merasa menjadi makhluk yang teraniaya oleh nasib.
“Nanti kamu bareng sama teman-teman yang juga ikut tes aja. Ada beberapa kayaknya, jadi kalian bisa irit naik bis bareng, paling cuma habis berapa, Dia.” Elvira menuturkan saran sebab ia tak ingin kalau Ayudia sampai patah semangat hanya karena itu.
“Lagipula saingannya untuk masuk ikatan dinas itu benar-benar ribun pendaftar dan yang diambil cuma berapa, coba! Kecil banget kemungkinannya aku lolos.” Ayudia kembali mengutarakan keengganan.
“Aku yakin kamu lolos, Dia. Ayolah semangat!” dorong Elvira terus menyemangati sahabatnya itu.
Ayudia pun akhirnya hanya mengangguk lemah. Gampang memang bagi Elvira yang anak orang kaya dan sudah mendaftar dari jalur biasa ke universitas ternama di Surabaya sana. Ia tak perlu memikirkan banyaknya saingan, beratnya uang pangkal dan biaya bulanan. Semuanya pasti bisa ditanggung oleh orangtuanya dengan mudah.
Berbeda sekali dengan kondisi Ayudia sendiri yang berasal dari ekonomi pas-pasan. Bisa sekolah sampai SMA saja sudah keberuntungan dan ayahnya harus kerja lebih keras daripada biasanya. Kasihan kalau Ayudia harus membebani lagi untuk berkeras minta kuliah tanpa beasiswa penuh. Pastinya orang tua Ayudia tidak mampu kalau melihat kebutuhan hidup mereka juga semakin tinggi setiap harinya.
Pulang sekolah ia mengabarkan pada ibunya soal ia yang tak lolos dan ibunya hanya mampu memberikan nasihat “Ya sudah nggak apa-apa, Dia. Mungkin memang belum takdir kamu untuk bisa kuliah, Nak.”
Tuh, kan! Ibunya pasti hanya akan berpasrah karena memang mereka belum mampu kalau untuk menuruti keinginan Ayudia kuliah. Bu Nani adalah seorang wanita sederhana yang sesungguhnya sangat mendukung impian putrinya. Tapi apa daya kalau penghasilan Pak Anwar, suaminya, tidak mencukupi, mereka bisa apa lagi?
Ayudia pun ke kamarnya, menghempaskan tubuh ke kasur dan mendekap kepala dengan bantal. Lantas tangis itu pun keluar. Air mata berlinangan dan dia tak kuasa menahan sesenggukan. Sungguh sakit hatinya bak terajam. Impian yang telah begitu dekat di matanya bisa lenyap begitu saja. Semua sudah mengira ia pasti akan lolos jalur beasiswa penuh tersebut. Ia sendiri pun yakin akan hal itu. Tapi nyatanya takdir berkata lain!
Pak Anwar yang malam itu pulang agak larut karena mengambil lembur pun menemui Ayudia di kamarnya. Tidak tega rasanya melihat kesedihan membayang di wajah putrinya itu. Pria itu biasanya akan berusaha keras dan rela berkorban apa pun untuk kebahagiaan putrinya.
“Nak, kalau kamu memang benar-benar ingin kuliah, Bapak bisa usahakan, kok. Jangan sedih, ya. Nanti Bapak pikirin caranya biar bisa nguliahin kamu,” kata Pak Anwar sedang membulatkan tekad. Pria penyabar itu memang berani nekat untuk keluarganya. Ia bisa menjual perkakas berat di bengkel miliknya kalau perlu. Tapi apa itu cukup? Ia belum tahu juga akan seberapa besar biaya kuliah untuk Ayudia nanti.
Tapi tentu Ayudia yang mengetahui kondisi keuangan keluarganya tak sampai hati memaksakan diri. Kalau untuk biaya masuknya saja mereka harus banyak menjual barang, lalu bagaimana kelanjutannya? Karena biaya kuliah bulanan serta ongkos makan serta bayar kos sama sekali tidak murah. Semuanya akan menelan biaya yang teramat banyak. Mereka tak akan mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.
“Nggak kok, Pak. Ayudia mungkin akan mencoba tes sekolah ikatan dinas. Kalau mujur bisa lolos itu juga dapat jaminan beasiswa penuh bahkan juga untuk mestinya ditanggung, Pak. Doain Dia lolos yang itu aja, ya,” pinta Ayudia sambil bersikap sok tegar di hadapan sang ayah.
“Nah, alhamdulillah kalau masih ada jalan lain, Nak. Bapak dan Ibu jelas pasti berdoa yang terbaik untuk anaknya,” jawab Pak Anwar tersenyum penuh syukur.
Pak Anwar pun keluar dari kamar sang putri dan lantas membersihkan diri untuk kemudian makan malam yang terlambat sekali lalu pergi ke teras untuk duduk-duduk dengan istrinya, membicarakan banyak hal yang terjadi seharian dan juga apa saja yang terjadi di bengkel tadi selama Pak Anwar bekerja.
Pak Anwar memiliki sebuah bengkel las kecil yang melayani pemesanan pagar besi ataupun stainless dan juga pintu harmonika. Dulu saat orderan masih banyak, beliau bisa dengan mudah mendapatkan banyak uang untuk diberikan kepada istrinya, tetapi semakin lama orderan semakin sepi karena tergilas oleh persaingan dengan bengkel besar baru yang bermunculan dan mampu menawarkan harga jauh lebih murah karena besarnya modal yang dimiliki.
Tinggallah Ayudia kembali seorang diri di dalam kamarnya. Ia lantas mengambil diary berkuncinya dan menuliskan apa yang terjadi di hari itu dengan satu kalimat dengan huruf besar semua. Ia menulisnya dengan perasaan yang sangat gemas dan kesal setengah mati.
...'HARI INI IMPIANKU HANCUR!'...
Di bagian bawah buku, ditambahkannya catatan kecil bahwa ia tak terima akan hal itu. Ia menulis dengan penuh tekad bahwa ia akan menebus kekalahannya hari itu. Akan dibuktikannya kepada dunia bahwa ia tetap akan bisa kuliah entah dengan bagaimanapun caranya! Ya, ia yakin pasti akan hal itu!
"Aku, Ayudia Maharani. Sang Bintang Sekolah akan selamanya bersinar..." Gumam Ayudia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Muse
Pernah ada diposisi seperti ini...dan rasanya tuch sakit tp gak berdarah...ketika impian berbanding terbalik dg kenyataan .Sulit sekali utk menerima kenyataan yg nyata² sdh terjadi , membiarkan mimpi itu hancur tanpa bisa berbuat apa².... dan pd akhirnya hanya bisa menyalahkan keadaan. So sad...
2023-08-15
2
naynay
br tahu ini aku thorrr
2023-08-12
2
Afra
pernah diposisi dia... yg gagal snbp dan snbt tahun ini, tapi... bisa lolos jalur lain yg bukan mandiri. itupun bisa bersyukur, karna berkat teman sekelas yg sll ngeremehin aku karna introvert aku jd terpacu buat bljr lebih baik lagi. Bljr ikhlas dan sabar setelah ikhtiar yg dilakukan gak sesuai sm harapan. karna gak selamanya kita di atas ataupun sebaliknya.
2023-07-05
2