NovelToon NovelToon

Jatuhnya Sang Bintang

Bab 1 Bintang Sekolah

Siapa yang tak kenal dengan Ayudia Maharani? Dia lah sang bintang di kelas. Hampir setiap semester selalu menduduki peringkat teratas. Dan bukan kelas sembarangan. Di sekolahnya memang ada satu kelas unggulan di mana diambil hanya dua puluh siswa yang memiliki nilai paling tinggi di seluruh sekolah. Artinya, Ayudia menduduki peringkat satu juga untuk satu sekolah.

“Siapa? Ayudia lagi? Ish! Nggak heran, sih!”

“Dia lagi? Astaga! Nggak ada matinya itu anak!”

“Kapan aku bisa segenius dia, ya?”

Begitulah kira-kira komentar dari para siswa kelas lain. Ya, nama Ayudia Maharani memang tak pernah luput disebut di jajaran peraih nilai tiga besar tertinggi satu sekolah. Dan tidak ada yang iri terhadap prestasinya, sebab memang Dia—begitu panggilan akrabnya—selalu tampak paling rajin di antara mereka, pun juga paling aktif ketika merespon pertanyaan guru di kelas.

Sejak kelas satu SD dulu juga memang begitulah kebiasaannya. Bahkan, sudah lama orangtuanya tak pernah membayar biaya sekolah sebab Dia selalu mendapat beasiswa prestasi sampai ke jenjang SMA. Hadiah setiap kali menerima raport juga tak pernah luput disabetnya. Ayah dan ibunya tentu selalu menjadi yang paling berbangga ketika rapat pengambilan raport tiba.

Tapi sayangnya, justru di saat ujian akhir nasional yang adalah penentuan akhir, Ayudia sedang terserang gejala typus sehingga ia tidak maksimal dalam mengerjakan soal ujian. Saat itu ia berkeras tak mau bolos sekolah dan tetap masuk meskipun tubuhnya terasa sangat tak enak. Ia tak mau kalau sampai ikut ujian susulan sehingga ia berusaha keras bertahan dalam kesakitannya.

Hasil yang buruk pun dituai. Ia harus terima saat nilai ujiannya anjlok parah hingga menghilangkan kesempatan untuk masuk ke jalur beasiswa penuh di universitas yang diidamkan. Semua itu sungguh di luar rencananya. Ayudia shock luar biasa.

“Gimana, Dia?” tanya Elvira seraya memegangi lengan sahabatnya itu.

Ayudia tampak lemas, bahunya merosot dan wajahnya juga teramat redup. Elvira sepertinya bisa menebak apa hasilnya. Tapi sebagai sahabat ia masih terus menyemangati Ayudia sebisanya.

“Belum lolos, ya?” tanya Elvira lagi sambil memeluk Ayudia dan mengelus-elus punggung gadis itu.

“Banyak yang skornya lebih tinggi dari aku di sekolah lain, El.” Jawaban lemah itu terdengar dari mulut Ayudia. Dia baru saja keluar dari ruang Bimbingan Konseling di mana tempat setiap murid kelas tiga berkonsultasi perihal jenjang kuliah yang akan diambil.

Sudah lama Ayudia berencana akan membidik program beasiswa penuh di sebuah universitas negeri ibu kota tersebut. Guru konseling sendiri juga telah menyatakan dukungannya serta juga telah mendaftarkan semua prestasi yang dimiliki oleh Ayudia. Tapi persyaratan untuk peraih beasiswa itu memang sangat ketat. Bukan hanya rekam jejak prestasi selama enam semester di SMA, tetapi nilai akhir ujian nasional juga menjadi poin tersendiri. Dan di poin itu Ayudia kalah dari beberapa siswa lain yang jauh lebih beruntung darinya sebab tidak jatuh sakit di saat ujian.

“Sabar, ya ... kalau nggak lolos kamu ikut tes sekolah tinggi ikatan dinas aja. Pasti lolos!” Elvira langsung menyarankan apa yang dikiranya memang cocok sekali untuk anak seperti Ayudia.

“Tapi bahkan nanti untuk berangkat dan tesnya yang berkali-kali ke luar kota itu aku nggak ada biayanya, El.” Ayudia mengeluh sambil menghela napas panjang penuh sesal.

Sungguh, ia marah pada tubuhnya sendiri yang memilih sakit justru di masa ujian kemarin. Biasanya ia selalu sehat dan bahkan jarang sekali membolos sekolah dengan alasan sakit. Ia merasa seolah takdir memang tak berpihak padanya. Ia mulai merasa menjadi makhluk yang teraniaya oleh nasib.

“Nanti kamu bareng sama teman-teman yang juga ikut tes aja. Ada beberapa kayaknya, jadi kalian bisa irit naik bis bareng, paling cuma habis berapa, Dia.” Elvira menuturkan saran sebab ia tak ingin kalau Ayudia sampai patah semangat hanya karena itu.

“Lagipula saingannya untuk masuk ikatan dinas itu benar-benar ribun pendaftar dan yang diambil cuma berapa, coba! Kecil banget kemungkinannya aku lolos.” Ayudia kembali mengutarakan keengganan.

“Aku yakin kamu lolos, Dia. Ayolah semangat!” dorong Elvira terus menyemangati sahabatnya itu.

Ayudia pun akhirnya hanya mengangguk lemah. Gampang memang bagi Elvira yang anak orang kaya dan sudah mendaftar dari jalur biasa ke universitas ternama di Surabaya sana. Ia tak perlu memikirkan banyaknya saingan, beratnya uang pangkal dan biaya bulanan. Semuanya pasti bisa ditanggung oleh orangtuanya dengan mudah.

Berbeda sekali dengan kondisi Ayudia sendiri yang berasal dari ekonomi pas-pasan. Bisa sekolah sampai SMA saja sudah keberuntungan dan ayahnya harus kerja lebih keras daripada biasanya. Kasihan kalau Ayudia harus membebani lagi untuk berkeras minta kuliah tanpa beasiswa penuh. Pastinya orang tua Ayudia tidak mampu kalau melihat kebutuhan hidup mereka juga semakin tinggi setiap harinya.

Pulang sekolah ia mengabarkan pada ibunya soal ia yang tak lolos dan ibunya hanya mampu memberikan nasihat “Ya sudah nggak apa-apa, Dia. Mungkin memang belum takdir kamu untuk bisa kuliah, Nak.”

Tuh, kan! Ibunya pasti hanya akan berpasrah karena memang mereka belum mampu kalau untuk menuruti keinginan Ayudia kuliah. Bu Nani adalah seorang wanita sederhana yang sesungguhnya sangat mendukung impian putrinya. Tapi apa daya kalau penghasilan Pak Anwar, suaminya, tidak mencukupi, mereka bisa apa lagi?

Ayudia pun ke kamarnya, menghempaskan tubuh ke kasur dan mendekap kepala dengan bantal. Lantas tangis itu pun keluar. Air mata berlinangan dan dia tak kuasa menahan sesenggukan. Sungguh sakit hatinya bak terajam. Impian yang telah begitu dekat di matanya bisa lenyap begitu saja. Semua sudah mengira ia pasti akan lolos jalur beasiswa penuh tersebut. Ia sendiri pun yakin akan hal itu. Tapi nyatanya takdir berkata lain!

Pak Anwar yang malam itu pulang agak larut karena mengambil lembur pun menemui Ayudia di kamarnya. Tidak tega rasanya melihat kesedihan membayang di wajah putrinya itu. Pria itu biasanya akan berusaha keras dan rela berkorban apa pun untuk kebahagiaan putrinya.

“Nak, kalau kamu memang benar-benar ingin kuliah, Bapak bisa usahakan, kok. Jangan sedih, ya. Nanti Bapak pikirin caranya biar bisa nguliahin kamu,” kata Pak Anwar sedang membulatkan tekad. Pria penyabar itu memang berani nekat untuk keluarganya. Ia bisa menjual perkakas berat di bengkel miliknya kalau perlu. Tapi apa itu cukup? Ia belum tahu juga akan seberapa besar biaya kuliah untuk Ayudia nanti.

Tapi tentu Ayudia yang mengetahui kondisi keuangan keluarganya tak sampai hati memaksakan diri. Kalau untuk biaya masuknya saja mereka harus banyak menjual barang, lalu bagaimana kelanjutannya? Karena biaya kuliah bulanan serta ongkos makan serta bayar kos sama sekali tidak murah. Semuanya akan menelan biaya yang teramat banyak. Mereka tak akan mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.

“Nggak kok, Pak. Ayudia mungkin akan mencoba tes sekolah ikatan dinas. Kalau mujur bisa lolos itu juga dapat jaminan beasiswa penuh bahkan juga untuk mestinya ditanggung, Pak. Doain Dia lolos yang itu aja, ya,” pinta Ayudia sambil bersikap sok tegar di hadapan sang ayah.

“Nah, alhamdulillah kalau masih ada jalan lain, Nak. Bapak dan Ibu jelas pasti berdoa yang terbaik untuk anaknya,” jawab Pak Anwar tersenyum penuh syukur.

Pak Anwar pun keluar dari kamar sang putri dan lantas membersihkan diri untuk kemudian makan malam yang terlambat sekali lalu pergi ke teras untuk duduk-duduk dengan istrinya, membicarakan banyak hal yang terjadi seharian dan juga apa saja yang terjadi di bengkel tadi selama Pak Anwar bekerja.

Pak Anwar memiliki sebuah bengkel las kecil yang melayani pemesanan pagar besi ataupun stainless dan juga pintu harmonika. Dulu saat orderan masih banyak, beliau bisa dengan mudah mendapatkan banyak uang untuk diberikan kepada istrinya, tetapi semakin lama orderan semakin sepi karena tergilas oleh persaingan dengan bengkel besar baru yang bermunculan dan mampu menawarkan harga jauh lebih murah karena besarnya modal yang dimiliki.

Tinggallah Ayudia kembali seorang diri di dalam kamarnya. Ia lantas mengambil diary berkuncinya dan menuliskan apa yang terjadi di hari itu dengan satu kalimat dengan huruf besar semua. Ia menulisnya dengan perasaan yang sangat gemas dan kesal setengah mati.

...'HARI INI IMPIANKU HANCUR!'...

Di bagian bawah buku, ditambahkannya catatan kecil bahwa ia tak terima akan hal itu. Ia menulis dengan penuh tekad bahwa ia akan menebus kekalahannya hari itu. Akan dibuktikannya kepada dunia bahwa ia tetap akan bisa kuliah entah dengan bagaimanapun caranya! Ya, ia yakin pasti akan hal itu!

"Aku, Ayudia Maharani. Sang Bintang Sekolah akan selamanya bersinar..." Gumam Ayudia.

Bab 2 Gengsi Tinggi

Elvira dan Ayudia kembali membahas masa depan meraka yang punya cita-cita untuk melanjutkan pendidikan mereka.

“Kalau kamu gimana? Sudah mulai ke Surabaya untuk daftar?” tanya Ayudia merasa berkewajiban menanyai juga nasib Elvira selanjutnya. Sahabatnya itu begitu peduli terhadap dirinya. Jadi, meskipun sebenarnya ia tahu betul Elvira pasti akan lancar saja mau daftar di mana pun, ia tetap bertanya sebagai bentuk perhatian kecil darinya.

“Iya hari Senin depan sudah mulai dibuka pemberkasan jadi harus ke sana langsung. Sekalian juga mau cari kosan.” Elvira menjawab dengan tak enak hati.

Elvira tahu betul bahwa Ayudia sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ia yakin dalam hati, Ayudia sedang sangat tersiksa. Impiannya untuk kuliah di universitas yang selama ini diinginkannya batal terlaksana. Dan bahkan ia masih harus berjibaku bersaing dnegan ribuan pengejar sekolah tinggi ikatan dinas nanti untuk kuliah tahun ini.

Oleh karena itu, Elvira memilih menyudahi pembahasan soal kuliah hanya sampai di situ. Ia mengalihkan pembicaraan mereka kepada banyak juga teman sekelas mereka yang memilih untuk langsung bekerja saja.

“Itu Nindy katanya mau kerja di supermarket Giant. Sudah ikut tes masuk juga katanya,” ucap Elvira menyebutkan nama supermarket besar di Surabaya tersebut.

“Hah? Apa nggak sayang ya kalau lulus SMA langsung kerja itu cuma akan dapat pekerjaan yang yah ... rendahan, kan?” komentar Ayudia yang memang berpikir begitu.

“Palingan kasir berapa sih gajinya?” lanjutnya berkomentar karena Elvira tak juga menyahutinya.

“Menurutku bukan masalah rendahan atau besar kecil gajinya yang penting, Dia. Kalau emang Nindy nyaman dan senang dengan pekerjaan itu, kenapa nggak? Kan lagian emang dia dari awal udah nggak berniat untuk lanjutin kuliah karena terbentur biaya,” kata Elvira akhirnya.

Elvira memang gadis kaya sejak kecil, tetapi ia tidak pernah merasa lebih tinggi dari teman lain. Baik kepada Elvira maupun semua teman yang ia kenal, sikapnya sama, biasa saja dan bahkan sering merendah sebab tak ingin dirinya dicap sebagai anak kaya yang sombong.

Berbeda dengan Ayudia yang terkadang sering menyombongkan prestasinya, serta juga menganggap remeh teman lain yang nilai-nilai sekolah mereka jauh di bawah dirinya. Padahal, kesuksesan seseorang tidak melulu hanya bergantung pada nilai sekolah semata. Ada satu poin lain yang penting yaitu akhlak dan juga keberuntungan, rezeki dari Allah.

Menyadari teguran dari Elvira, Ayudia terdiam. Sungguh ia juga heran kenapa yang sekaya Elvira bisa berpikir begitu sementara yang miskin sepertinya malah dengan mudah menghina sebuah pekerjaan. Salah satu keburukan Ayudia memang itu, Ia tak tahu kalau sifat yang itu justru kelak akan membawanya kepada pekerjaan yang menurutnya rendahan.

Sepulang sekolah, Ayudia yang duduk murung di depan TV tetapi matanya tidak menuju ke arah layar ditegur oleh sang ibu.

“Dia, kok ngelamun?”

“Eh, ibu ....” Ayudia gelagapan sambil langsung mengarahkan matanya menonton infotainment yang tengah ditayangkan.

“Ada apa, Nduk?” tanya Bu Nani lagi. Kali ini wanita berwajah teduh itu sudah duduk di sisi putrinya.

“Nggak ada apa-apa, Buk.” Jawaban pendek itu tentu tak memuaskan bagi Bu Nani. Beliau masih terus mengorek tentang kenapa Ayudia tampak begitu murung hari itu.

“Cerita dong sama Ibu. Kan biasanya Dia selalu cerita sepulang sekolah. Soal ini, soal itu banyak sekali. Akhir-akhir ini jadi jarang cerita nih.”

Tampak Ayudia menatap kepada mata bening ibunya. Ya, ia memang biasanya selalu suka bercerita soal kegiatannya di sekolah. Soal ia yang bisa tercepat dalam menjawab pertanyaan mencongak guru misalnya, atau saat teman-temannya mengerubutinya di jam istirahat demi menanti penjelasan soal materi sulit dari guru tadi.

Akhirnya ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan.

“Sebenernya ... Dia lagi sedih, Bu. Semua temen lagi pada sibuk daftar ke universitas. Elvira aja tadi juga cerita kalau minggu depan dia akan sibuk ke Surabaya nyari kosan dan urusin pemberkasan. Cuma Dia yang nggak ....” Akhirnya keluhan itu pun meluncur dari bibir tipis Ayudia. Sebenarnya ia tak tega kalau akan membuat ibunya sedih, tetapi mau gimana, ibunya sendiri yang bertanya sehingga ia jadi tak tahu harus menjawab apa selain kebenaran dari dalam hatinya.

Tampak Bu Nani meneguk ludahnya sebelum menjawab perkataan sang putri. Telapak tangan wanita separuh baya itu mengelus rambut panjang milik Ayudia.

“Nak, kan kamu nanti masih akan berjuang di tes ikatan dinas. Siapa tahu rezeki kamu di sana, kan, Sayang. Jangan dulu patah semangat, perjuangan masih panjang, kan?” tanya Bu Nani bertanya karena sebenarnya ia tak paham sama sekali mengenai pendaftaran kuliah ikatan dinas yang dimaksud. Yang ia tahu adalah sekolah tinggi itu menyeleksi ribuan peserta dari seluruh nusantara dan hanya mengambil sebagian kecil sesuai quota mereka karena memang akan langsung ditempatkan atau dipekerjakan sebagai pegawai negeri di bidang yang diambil.

“Tapi saingannya banyak banget, Bu. Ribuan. Rasanya kecil kemungkinan Dia untuk jadi yang beruntung lolos,” kata Ayudia cemberut.

“Loh? Tumben amat seorang Ayudia nggak yakin dengan dirinya sendiri? Kamu kan pintar, Nak. Percayalah, kalau memang sudah rezeki kamu bisa kuliah, maka nanti akan ada jalannya sendiri kamu akan kuliah. Harus yakin, ya?” ucap Bu Nani menyemangati.

Ayudia hanya menghela napas. Kebiasaan buruknya kalau sudah satu hal tak sesuai dengan rencana, maka ia jadi kehilangan semangat. Padahal hidup memang tak selamanya lurus, pasti akan ada lika-likunya. Akan ada banyak cobaan yang menempa kesabaran serta kekuatan manusia.

“Iya, Bu. Semoga aja nanti Ayudia lolos di tes masuk sekolah ikatan dinasnya,” kata Ayudia meskipun dengan raut wajah sama sekali tidak yakin.

“Aamiin ... memangnya kapan itu tesnya, Dia? Ibu mau menyiapkan dana untuk berangkatnya. Ke Malang, kan?” Bu Nani sudah mulai mengatur rencananya.

“Masih bulan depan, Bu. Sekarang persiapan belajar latihan-latihan soalnya. Soalnya susah-susah semua, Bu. Butuh logika dan nggak ada kunci jawabannya,” kata Ayudia kembali mengeluhkan tentang betapa susah tes yang akan ia hadapi nanti.

“Yah, kan emang yang diraih itu hal yang istimewa sekali, Dia. Jaminan kuliah gratis plus uang saku selama jadi mahasiswa dan usai wisuda akan langsung dipekerjakan sebagai aparatur negeri, pastinya untuk itu perjuangannya berat, dong.” Kembali Bu Nani memberikan pencerahan. Ayudia yang selama ini berpikir ibunya tak tahu apa-apa soal akademis karena dulu hanya tamatan SMP itu pun terheran. Rupanya ibunya menyimak betul setiap informasi sehingga bisa beri nasihat bijaksana itu.

“Siap, Bu. Akan Dia usahain pokoknya!” janji Ayudia tak ingin membuat kecewa ibu serta bapaknya yang sudah menaruh harapan tinggi terhadapnya dan juga rela menyisihkan uang jatah kebutuhan rumah untuk dipakai biaya tes ke Malang tersebut. Pokoknya ia tak boleh gagal!

“Dengar, ya, Dia. Kita itu memang mutlak wajib berusaha keras semaksimal apa yang kita bisa. Kita diberi kekuatan dan kemampuan berpikir untuk mengusahakan apa yang kita inginkan betul-betul. Tapi, hasilnya itu nanti adalah sudah di luar kuasa kita, Nak.” Bu Nani mulai beri nasihat. Ia tak mau sampai anaknya itu berpikir bahwa tekadnya harus terlaksana. Padahal semuanya tergantung takdir Allah kelak akan seperti apa.

“Iya, Bu, Dia paham, kok,” jawab Ayudia sambil meletakkan kepalanya ke bahu sang ibu. Didapatinya ketenangan di sana, seolah beban beratnya telah bisa terentaskan seketika. Meskipun itu hanyalah beban yang ia ciptakan sendiri. Tidak ada yang mengharuskannya kuliah selain dirinya sendiri. Tidak ada yang mengharuskannya lolos seleksi beasiswa penuh kecuali gengsi tinggi dirinya sendiri. Semua itu hawa nafsu yang rentan akan kufur terhadap nikmat Allah yang lain bila sampai ia jadi terlalu hancur setelah mengalami satu saja kegagalan dalam hidupnya saat itu.

“Ingat terus, Ya. Semua yang terjadi itu adalah kehendak Allah. Dan kita sebagai makhluk-Nya harus yakin bahwa ketetapan Allah itu pastilah yang terbaik bagi hamba-Nya.” Nasihat sang ibu pada putrinya.

Bab 3 Perkara Hati

Siswa kelas 3 SMA setelah ujian memang sudah tidak ada kegiatan di sekolah. Mereka hanya akan datang bila ada jadwal foto ijazah atau mengembalikan diktat pinjaman dari perpustakaan sekolah, atau mengurusi administrasi. Terkadang ada juga kegiatan ekskul yang berkumpul sekedar mengisi waktu luang sambil menunggu ijazah keluar serta juga para anggota pengurus OSIS yang sibuk mengkoordinir acara perpisahan.

Hari itu Ayudia dan Elvira serta David sengaja berangkat ke sekolah karena ada urusan acara perpisahan. Ketiganya di pilih sebagai panitia. Bahkan, Ayudia nanti kebagian sebagai pembicara wakil dari kelas 3. Tapi hari itu ia ingin menyerahkan tugas itu untuk yang lain saja. Sungguh, ia tak akan siap berbicara di depan semua orang sementara dia belum tahu akan kuliah di mana.

Awalnya ia menerima tugas itu karena ia yakin sekali akan bisa menyombongkan prestasinya yang terjaring di beasiswa penuh universitas incarannya. Tapi apa daya, karena semua itu belum jadi terlaksana, ia pun tak lagi berminat untuk menjadi sang pembicara. Sungguh malang hati Ayudia yang selalu merasa bangga ketika mendapatkan banyak pujian dari orang.

“Aku mundur aja, ya. Kalian tolong cariin penggantiku,” kata Ayudia kala itu yang langsung saja membuat gempar seisi ruang OSIS. Persiapan sudah hampir oke dan akan mengubah beberapa susunan acara kalau Ayudia mundur sekarang.

“Tapi, Kak. Ini terlalu mepet kalau mau mundur. Siapa yang akan gantiin nih?” Sang ketua yang bernama Hilda anak kelas dua itu memprotes keras keputusan Ayudia.

“Banyak, kok. Itu Elvira aja juga bisa,” kata Ayudia seenaknya yang juga langsung mendpaat pelototan dari Elvira.

“Kenapa emangnya, Dia? Kan awalnya kamu semangat banget mau ngisi bagian itu,” tanya Elvira keheranan atas keputusan sepihak yang mendadak dari sahabatnya.

“Maaf, El. Tapi kamu ngerti kan, aku udah nggak semangat lagi sejak tau aku nggak lolos. Aku juga kayaknya nggak akan hadir di acara perpisahan. Jadi percuma aja kalian maksa, aku nggak akan berangkat.” Usai berkata begitu, Ayudia langsung bergegas pergi dari ruangan tanpa mau berkompromi lagi.

“Loh, Dia! Dia tunggu!” Elvira dan David mengikuti sambil berlari kecil, meninggalkan anak-anak kelas 2 pengurus inti OSIS yang jadi kelabakan mencari pengganti Ayudia.

Ayudia sudah jauh berlari ke luar sekolah. Ia langsung naik angkot untuk pulang tanpa menghiraukan seruan memanggil dari David dan Elvira. Sungguh, ia tak kuasa menahan lelehan air mata di pipinya. Ia bahkan harus menahan malu di depan David yang sebenarnya menempati tempat di sudut hatinya. Meski ia menyimpan perasaan itu begitu rapatnya hingga tak ada seorang pun yang tahu soal hal itu.

“Kenapa ya Dia?” David bertanya kepada Elvira yang menggelengkan kepalanya tak paham juga.

“Kasihan sih dia itu sebenarnya masih hancur banget karena gagal masuk di seleksi beasiswa full UI,” kata Elvira mengutarakan dugaannya.

“Karena itu dia udah nggak mau berurusan lagi dengan sekolah dan bahkan nggak mau lagi datang ke acara perpisahan. Harusnya kan dia nggak sampai segitunya, ya? Kayaknya dia itu kan emang nggak pernah merasakan yang namanya kegagalan sebelumnya, jadi kegagalan kali ini sungguh membuatnya down banget,” lanjut Elvira prihatin.

David mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba mengerti. Ia memang belum pernah melihat Ayudia mengalami kegagalan di bidang prestasi. Maka tentu bagi Ayudia bukan hal mudah untuk bangkit dan mengacuhkan pikiran negatif nya tentang pendapat orang soal dirinya yang tak lulus seleksi beasiswa.

“Gitu amat ya, cewek. Kalau cowok mah mau gagal berapa kali pun biasa aja, nggak sampai sebaper itu.” David berkomentar tak habis pikir dengan sikap Ayudia yang menurutnya sangat berlebihan.

“Ya kan tipe mental orang bisa beda-beda, Vid.” Elvira yang bijak selalu saja bisa menemukan sisi baik dari setiap orang. Dia supel dan bisa berkawan dengan siapa saja karena ia bisa memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Elvira termasuk tipe orang yang lebih mengedepankan apa yang terjadi pasti ada yang mengatur.

David memandang kagum kepada ElvIra. Gadis itu memang seringkali membuatnya terkagum-kagum bahkan dengan sikapnya yang biasa saja. Ya, David memang ternyata semenjak dulu menympan rasanya terhadap Elvira, sahabat terdekat Ayudia. Entah akan bagaimana nanti perasaan Ayudia kala ia tahu mengenai hal itu. Akan lebih hancur dari sebelumnya kah? Atau akan ikut bahagia dengan kebahagiaan sang sahabat?

Bahkan David juga sudah fix mendaftar kuliah di Universitas yang sama dengan Elvira. Tidak susah baginya karena ia juga lumayan berprestasi dan keuangan keluarga pun mumpuni. Tampaknya hubungan mereka berdua seolah semesta merestui. Meskipun berbeda fakultas, tapi kalau masih satu universitas kan masih bisa sering bertemu.

“Kamu aja yang jadi pembicara, El. Kamu idola anak-anak kelas 3,” pungkas David akhirnya.

“Hah? Idola apa! Sialan! Nyindir ya kamu?” Elvira terkejut mendengar perkataan dari David barusan.

“Ish! Jangan merendah. Memang kamu nggak sementereng Ayudia prestasinya, tapi soal sifat kamu sama temen, kamu menang banyak. Lihat aja siapa yang punya lebih banyak teman antara kamu dan Ayudia? Kamu kan? Dia mana pernah punya temen lain selain kamu, sih?” ungkap David lagi.

Dan itu memang benar. Ayudia terlalu angkuh kepada teman lain yang dianggapnya lebih rendah darinya. Ia suka pilih-pilih teman dan hanya Elvira saja yang snaggup bertahan berteman dekat dnegannya. Itu pun karena Elvira kasihan karena melihat Ayudia yang selalu tampak sendirian saja, tidak seperti kawan-kawan cewek yang lain yang seringnya bergerombol ketika jam istirahat aqtau jam pulang.

Akhirnya diputuskan Elvira lah yang menggantikan Ayudia nanti sebagai pembicara di acara perpisahan kelas 3. Meski sudah berkeras menjemput Ayudia sampai ke rumah, ternyata dia tetap tidak mau hadir di acara tersebut. Ayudia terlalu berlebihan menanggapi kegagalannya, seolah hidupnya seketika juga berakhir hanya karena itu.

Kini akibatnya dia jadi semakin tak punya teman, semakin kehilangan kesempatan yang bisa saja datang dari banyak arah lain selain apa yang diincarnya tadi. Misalnya yang terjadi pada temannya yang terus menerus mengecek pengumuman di ruang Bimbingan Konseling, mencari celah beasiswa lain yang bisa ditembusnya, karena pasti tidak hanya tersedia hanya satu saja jalan kan?

Ayudia tak mau berusaha lagi karena ia sudah patah hati sejak pertama kali. Ia merasa dipermainkan oleh takdir padahal itu hanya sebuah kerikil ujian yang menerpa justru untuk membuatnya semakin kuat dan tangguh asal dia mau bertahan tetap berdiri tegak dan berjuang.

Sayangnya Ayudia memilih berhenti dan menangisi satu pintu yang tertutup tersebut, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya banyak pintu kesempatan lain yang terbuka untuk dimasukinya. Sungguh kerugian yang berlipat. Saat ia sudah bangkit dari tangisan pilunya, semua sudah terlambat. Hanya tinggal jalan terjal yang susah digapai karena harus bersaing dnegan ribuan murid lain yang bisa saja jauh lebih cerdas darinya, jauh lebih besar tirakatnya kepada Rabb-Nya.

Yah, hidup memang sejatinya adalah sebuah perjuangan. Dan pemenangnya adalah mereka yang tak pernah berhenti melangkah meskipun hanya setapak demi setapak. Tak perlu berlari cepat kalau akhirnya hanya akan kelelahan dan menghabiskan waktu jauh lebih lama untuk beristirahat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!