Aku duduk termenung sembari memandangi ponsel dengan tatapan kosong. Bayangan wajah pemuda bernama Huda masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Rasanya masih syok. Terkejut. Kaget. Pokoknya campur aduk, sampai bikin aku nggak bisa fokus.
"Mendingan aku pergi aja deh dari rumah! Suntuk banget!" Aku segera menghubungi sahabatku Wirda, dan mengajak temanku itu untuk bertemu. Disaat-saat seperti ini, pada siapa lagi aku bisa berkeluh kesah kalau bukan pada teman baikku, Wirda?
"Wirda, kamu sibuk, nggak? Aku ke rumah kamu sekarang, ya?" ujarku pada Wirda melalui sambungan telepon.
"Kamu mau ke rumah sekarang? Boleh-boleh aja!" sahut Wirda.
"Aku ke sana sekarang!"
Tak lama kemudian, akhirnya aku pun tiba di rumah Wirda dan berjumpa dengan teman baikku itu. Aku dan Wirda pun segera mencari tempat yang nyaman untuk berbincang bersama dan mencurahkan isi hatiku mengenai lamaran yang baru saja datang untukku.
"Aku hari ini lagi kesel banget, deh!" ucapku pada Wirda. "Harusnya hari ini jadi hari yang paling nyenengin buat kita. Tapi Bapak sama Ibu aku justru bikin aku kesel!"
"Kesal kenapa sih?"
"Kalau kamu dengar ini, kamu pasti bakal kaget banget sih!" sahutku.
Nampaknya Wirda mulai penasaran usai mendengar perkataanku. "Ada apa, sih? Bukan kabar buruk, kan?"
"Kamu tahu nggak, tadi aku ...."
"Aku apa?" tanya Wirda mulai tidak sabaran.
Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum mengungkapkan berita mencengangkan pada Wirda. "Aku ... DILAMAR!"
Wirda membelakakan mata. Wajar aja sih kalau dia kaget. Aku sendiri aja kaget.
"Dilamar? Dilamar apa maksudnya? Dilamar sama siapa? Kamu punya pacar? Sejak kapan kamu punya calon suami?" tanya Wirda beruntun padaku.
"Aku juga nggak kenal sama orangnya. Waktu aku pulang, tiba-tiba di rumah udah rame. Dan tahu-tahu ada cowok namanya Huda ngelamar aku. Padahal aku nggak kenal sama dia. Aku nggak tahu siapa dia. Tiba-tiba dia datang ke rumah dan minta aku buat jadi istrinya," jelasku pada Wirda.
Wirda manggut-manggut dan mendengarkan ceritaku sampai akhir. Dilihat dari ekspresi Wilda, tampaknya Wirda juga prihatin sama nasibku sekarang ini.
"Aku beneran nggak tahu harus ngapain. Aku beneran kaget banget. Aku juga pengen nolak dan udah bilang ke Ibu aku kalau aku nggak mau nikah sama orang itu. Tapi Ibu aku nggak mau dengar. Sekarang kedua orang tua aku udah nerima lamaran mereka. Dan mereka minta aku buat mulai kenalan sama cowok yang namanya Huda itu," ujarku.
"Jadi kamu tanpa tahu apa pun, tiba-tiba dilamar gitu aja sama cowok yang namanya Huda itu?"
Aku menganggukkan kepala. "Ibu terus membujuk aku buat nerima lamarannya. Kata Ibu, mereka dari keluarga terpandang. Dan ayahnya Huda ini dipanggil ustadz sama Bapak aku. Dengar-denger sih, beliau punya pondok pesantren," ungkapku.
"Jadi kamu mau dinikahin sama anak ustadz?"
Aku hanya diam sembari menghela napas pasrah. "Jangan ngomong gitu, deh! Aku nggak bilang kalau aku mau nikah sama cowok itu! Sekarang mungkin aku nggak bisa bilang apa-apa ke orang tua aku. Tapi aku bakal cari cara buat gagalin lamaran ini!" ucapku dengan penuh semangat.
"Kamu beneran nggak mau nyoba ngenal cowok itu dulu?" tanya Wirda.
"Nggak perlu! Aku nggak mau nikah sama dia! Pokoknya aku pengen pernikahan ini gagal!"
*****
"Wirda!" Aku melambaikan tangan pada Wirda begitu temanku itu keluar dari rumah dan menghampiriku.
Hari ini, aku berencana untuk menyambangi tempat tinggal Huda. Tujuan utamanya, tentu saja untuk membujuk pria agar merubah pikirannya. Ada banyak wanita Sholihah yang pantas bersanding dengannya dari pada aku. Kenapa pulak dia harus memilihku. Kan aneh. Berhubung aku tidak mau menemui Huda sendirian, jadi aku mengajak Wirda untuk mencari Huda di pondok pesantren tersebut. Aku sendiri juga nggak tahu di mana tempatnya pondok pesantren itu berada.
"Kita pergi sekarang?"
"Iya dong, nggak mungkin besok kan, kalau aku udah ada di sini sekarang!" ucapku pada Wirda."lucu banget deh kamu Wirda." gemasku mencubit pipi gembulnya.
Wirda melempar senyum tipis padaku. "Aaaww,, sakit, Arin. Mau ngapain sih ke sana?"
"Hiihh, penasaran, ya kamu?" Godaku menunjuk wajahnya."Kan udah kubilang semalam, aku mau menggagalkan lamaran ini. Aku nggak mau nikah sama dia. Jadi, aku mau nemui dia untuk memprotes."
Wirda menatapku aneh sambil menggeleng, hmm, cukup cantik juga dia Hari ini. Enggak biasanya, apa dia dandan ya?
Aku dan Wirda pun memulai perjalanan kami menuju ke pondok pesantren milik keluarga Ustadz Wahab. Jalan yang kami lalui menuju ke pondok pesantren itu pun cukup berliku. Ada banyak tanjakan dan turunan, ditambah lagi bangunan pondok juga berada di pelosok desa. Hal ini pun membuatku semakin yakin untuk membatalkan pernikahan dengan Huda. Pokoknya aku nggak mau nikah sama cowok itu, apalagi sampai balik lagi ke pondok pesantren ini!
"Pondoknya jauh banget sih!" gerutuku kesal sembari menyeka keringat yang sudah mengucur di dahiku.
"Jalannya juga jelek banget lagi!" omelku tak henti-hentinya menggerutu sepanjang perjalanan menuju ke pondok pesantren.
Wirda hanya tersenyum dan membiarkanku mengomel sesuka hati. Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya kami pun sampai juga di wilayah pesantren keluarga Ustadz Wahab.
"Di sini kan ya tempatnya?" gumamku sembari celingukan mencari putra Ustadz Wahab.
"Kamu yakin di sini tempatnya? Kita coba tanya sama anak-anak di sini gimana?" saran Wirda.
Aku menghampiri salah seorang santri yang kebetulan berpapasan denganku. "Dek, tunggu sebentar!"
"Kamu tahu orang yang namanya Huda nggak? Anaknya Ustadz Wahab? Orangnya ada di sini nggak?" tanyaku pada salah satu santri.
Santri dengan hijab besar itu menatapku dengan tatapan yang membuatku risih. Apa yang salah sama aku? Aku cuma nanya di mana Huda, tapi kenapa dia lihatin aku gitu banget?
"Maaf, Kak. Saya nggak tahu."
Tak hanya bertanya pada satu santri, aku kembali menghentikan santri-santri lain yang berjalan melewatiku untuk bertanya tentang Huda. Tapi anehnya, kenapa nggak ada satu pun dari mereka yang tahu?
"Sial! Mana sih cowok itu? Dari tadi nggak nongol-nongol!" umpatku mulai jengkel karena tak juga berhasil berjumpa dengan Huda.
"Sabar, Arin. Kita coba tunggu di pondok aja gimana?" ajak Wirda padaku.
Meskipun sejak tadi aku terus mengomel, menggerutu dan mengumpat, tapi Wirda hanya diam dan tidak banyak mengoceh seperti aku yang tidak sabaran ini. Untung aja ada Wirda yang nemenin aku. Jadi aku nggak mencak-mencak sendirian kayak orang gila di lingkungan pesantren seperti sekarang ini.
"Ya udah, deh! Kita ke pondok aja!"
Aku dan Wirda pun duduk di teras pondok sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling area pesantren itu. Siapa tahu sebentar lagi Huda lewat sini.
Sejak tadi, aku merasa seperti ada yang memperhatikan. Setiap kali aku menatap seorang santri, santri tersebut pasti melihatku dengan tatapan yang tidak menyenangkan. Apa mungkin karena aku nggak pakai hijab? Secara, semua perempuan di lingkungan pesantren ini pasti pakai hijab. Apa mungkin mereka nggak suka sama baju yang aku pakai? Saat ini aku cuma pakai kaos sama celana jeans yang sobek di bagian lutut.
Tapi aku nggak peduli, sih. Terserah kalau mereka mau lihatin aku. Aku juga nggak gangguin mereka.
Tapi kayaknya Wirda yang risih dilihatin mulu. Apalagi aku sama Wirda duduk di teras pondok cukup lama. Mungkin orang-orang pesantren bingung melihat orang asing yang duduk di wilayah pesantren tanpa ngapa-ngapain dari tadi.
"Duh lama banget sih!" omelku mulai tidak sabar menunggu Huda muncul.
Tak lama kemudian, akhirnya orang yang aku tunggu-tunggu pun menampakan batang hidung. "Itu dia orangnya!" gerutuku sembari menatap Huda dengan wajah kesal.
Aku sudah siap untuk melancarkan aksi protes! Gara-gara Huda, aku harus melewati perjalanan yang tidak menyenangkan selama menuju ke pondok pesantren.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
masih nyimak,
2023-07-13
0