Aku dan Huda masih berdiri di teras pondok membahas mengenai pembatalan pertunangan. Wirda masih berdiri di sampingku, tapi gadis itu hanya diam dan menyaksikan pembicaraanku dengan Huda.
Aku masih menunggu tanggapan dari Huda. Aku sudah menegaskan pada Huda kalau aku tidak ingin dilamar olehnya apalagi menikah dengan dirinya. Huda bener-bener jauh dari tipe pria idamanku, dan aku yakin aku juga berbeda jauh dari tipe wanita yang diimpikan oleh Huda.
"Jadi gimana, Mas? Aku ke sini cuma buat ngomongin itu. Daripada aku dan Mas lanjut dengan terpaksa dan bikin kedua orang tua kita kecewa, mendingan kita berhenti di sini aja sebelum semuanya jadi rumit!" ucapku.
"Allahuakbar ... Allahuakbar ...."
Belum sempat Huda mengatakan apa pun, tiba-tiba saja adzan ashar berkumandang kencang dari masjid. Huda tersenyum padaku dan sepertinya pria itu sudah bersiap-siap untuk pergi.
"Sudah adzan. Saya mau pamit salat ashar dulu," ujar Huda.
"Suraunya nggak jauh dari sini. Ayo kita ke surau sama-sama untuk salat berjamaah!" ajak Huda.
Kirain dia mau pergi sendiri. Kenapa dia pakai ngajak-ngajak segala?
"Nggak perlu, deh. Kalau Mas mau pergi, silakan pergi aja!" tukasku.
"Jangan gitu, Rin! Udah masuk waktu salat. Mendingan kita ikut salat di surau sini aja," bujuk Wirda padaku. Sekilas aku melihat pipi Wirda yang memerah. Apa aku cuma salah lihat, ya? Kenapa tiba-tiba wajah Wirda jadi merah gitu?
"Ayo, Arin!" ajak Huda lagi padaku dan juga Wirda.
Dengan wajah kesal, akhirnya aku pun mengikuti Huda yang sudah melangkahkan kaki terlebih dulu menuju surau. Kami pun melaksanakan salat ashar berjamaah di sana.
Selepas salat, aku berniat untuk melanjutkan kembali perbincanganku dengan Huda. Tapi sepertinya pria itu menolak dan justru sibuk sendiri dengan kegiatannya.
"Mas, kita bisa lanjutin yang tadi, kan?" tanyaku pada Huda.
"Maaf ya, Arin? Saya masih ada kegiatan di pondok. Hari juga udah sore. Gimana kalau kamu pulang aja sekarang?" seru Huda padaku.
Pulang gimana? Aku belum mendapatkan hasil apa pun! Aku udah susah payah datang ke pondok pesantren ini, dan dia seenaknya nyuruh aku pulang tanpa hasil?
"Tapi Mas, aku belum selesai ngomong! Gimana aku bisa pulang?"
"Maaf, Arin. Saya masih ada kegiatan di pondok yang gak bisa ditinggal," ucap Huda. "Sebentar lagi juga gelap. Sebaiknya kamu pulang saja."
Hari ini benar-benar hari yang melelahkan sekaligus menyebalkan. Dengan terpaksa, akhirnya aku dan Wirda pun harus segera pulang dari pondok pesantren.
Meski menolak melanjutkan obrolan denganku dan menyuruhku pulang, tapi Huda masih saja tetap bersikap ramah padaku dan berbicara dengan lembut. Tapi sikap ramahnya lama-lama cuma bikin aku kesel! Tampang Huda kaya nggak ada rasa bersalah banget waktu nyuruh aku pulang!
"Sekali lagi saya minta maaf ya, Arin. Kamu hati-hati ya di jalan," ujar Huda saat mengantarku hendak pergi.
Saking kesalnya, aku tidak ingin lagi menanggapi apa pun perkataan Huda. Untungnya masih ada Wirda yang mau menjawab perkataan Huda, untuk sekedar menjaga sopan santun.
Tiba-tiba saja, pria itu menyodorkan sesuatu padaku saat aku hendak menyalakan mesin motorku. "Ini saya bawakan jaket buat kamu. Udah mau gelap gini, udaranya dingin. Kamu pakai ini biar kamu nggak kedinginan di perjalanan," sahut Huda sembari memberikan jaket tebal miliknya padaku.
Buat apa juga Huda sok baik pakai ngasih jaket segala? Aku nggak pengen dapetin jaket. Yang aku mau itu pembatalan lamaran!
Udah jauh-jauh ke sini, tapi pulang nggak dapat apa-apa. Sia-sia aja dong usaha aku ke sini.
"Nggak perlu, Mas. Aku tahan dingin!" ucapku dengan nada ketus.
"Kamu yakin nggak mau? Sebentar lagi gelap. Nanti kamu kena angin di jalan, bisa-bisa kamu masuk angin nanti," bujuk Huda agar aku menerima jaket darinya.
"Nggak perlu! Aku nggak akan kedinginan!" tegasku menolak mentah-mentah kebaikan dari Huda.
Huda masih tetap tersenyum meskipun aku menolak jaket pemberiannya. "Ya sudah kalau gitu. Hati-hati di jalan, ya!"
"Aku pulang! Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsalam!"
Aku segera melajukan motorku keluar dari area pesantren. Makin lama, hawa dingin pun makin menusuk ke kulit. Ternyata benar apa kata Huda. Udara di sini langsung berubah jadi dingin. Nyesel aku nggak nerima jaket dari Huda.
"Kamu nggak apa-apa Rin?" tanya Wirda padaku yang nampak menggigil kedinginan.
"Nggak apa-apa, Wir!"
"Kamu kedinginan, ya?" tanya Wirda lagi.
"Nggak, kok!"
Saat hendak melewati tanjakan di Kampung TubanSari, tiba-tiba saja motor yang aku bawa mendadak oleng. Aku langsung memberhentikan motorku dan memeriksa kendaraan roda dua itu.
"Kenapa, Rin?"
"Aku cek dulu, deh!" sahutku, kemudian turun dari motor.
Ternyata banku kempes! Posisi lagi ada di tanjakan kaya gini, tapi motorku malah berulah. Jarak ke rumah juga masih sangat jauh. Saat ini pun aku belum keluar jauh dari area pesantren.
"Bannya kempes, ya?" tanya Wirda.
"Iya nih, Wir! Apes banget, deh! Udah mau gelap gini, bannya pakai kempes segala!" omelku sembari memencet-mencet ban motorku yang kempes.
"Aku coba cari bantuan dulu, deh!" sahut Wirda.
Untungnya tak lama kemudian, ada motor santri yang berpapasan denganku. Tanpa aku minta, santri-santri itu pun berhenti untuk membantuku.
"Motornya kenapa, Mbak?" tanya santri itu padaku dan juga Wirda di tengah jalan.
"Bannya kempes, Mas!" sahutku dengan wajah memelas.
"Sini Mbak, saya dorongin ke atas!" ucap santri tersebut.
Aku dan Wirda benar-benar tertolong. Untung aja ada orang yang lewat. Kalau nggak, nggak tahu aku harus nuntun motor ini sampai ke mana.
"Mbak dari mana?" tanya santri tersebut berbasa-basi padaku dan Wirda saat tengah mendorong motor.
"Kami berdua habis dari pondok pesantren," jawabku.
"Oh, kebetulan banget! Kami santri di pondok pesantren di sini," ucap santri tersebut.
Aku hanya manggut-manggut sembari melempar senyum tipis. Setelah sejak tadi mendapatkan tatapan kurang menyenangkan dari para santri di pondok, untungnya saat kesusahan seperti ini, aku dipertemukan dengan santri baik yang tidak melihat penampilanku yang cukup urakan.
"Kalau boleh tahu, Mbak ada urusan apa ke pondok? Lagi jenguk saudara, ya?" tanya santri tersebut
"Nggak, Mas! Saya nggak punya saudara di sana," sahutku. "Saya ada keperluan aja di sana."
"Oh, gitu!" komentar santri itu. "Jarang-jarang sih Mbak ada orang yang berkunjung ke pesantren kecuali keluarga santri."
"Saya kebetulan ada janji sama orang sana. Ini juga pertama kalinya saya pergi ke pondok pesantren di sini," ungkapku. "Mungkin kalian kenal sama Mas Huda?"
Kedua santri itu terdiam sembari membulatkan mata lebar-lebar. "Mbak datang ke pondok pesantren buat ketemu sama Mas Huda?"
"Iya, Mas. Saya ada perlu sama Mas Huda dan disuruh nemuin dia di sini. Eh, saya malah kena sial di jalan pulang," ujarku.
Sepertinya kedua santri itu tidak menyangka aku datang kemari untuk bertemu dengan putra pemilik pondok pesantren. Dilihat dari penampilanku, aku nggak ada bagus-bagusnya jadi keluarga santri, apalagi sampai kenal dengan pemilik pondok.
"Wah, nggak nyangka kami ketemu sama tamunya Mas Huda."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Raudatul zahra
iiiihh kok ada yang aneh ya sama Huda?? apa perasaan ku aja?? kayaknya santri² yg diajak ngobrol ttg huda respon nya sama
2023-08-26
0