Sampai di basecamp, Rafa keluar lebih dulu dan membanting kencang pintu kendaraan. Tiga orang masih tertahan di dalam city car putih tersebut, beriringan mengangkat kedua pundak kaget. Biji mata ketiganya bergeser pelan mengikuti kepergian Rafa dengan langkah kaki lebar, mereka pun sama-sama menelan saliva paksa dalam tenggorokan menciut.
"Aku gak ikut-ikutan, atasi aja sendiri!" Vino keluar dari mobil, meninggalkan dua orang di barikan belakang yang kini saling menatap.
"Al ...."
"Udah, hadapin aja. Master juga kalau marah gitu-gitu doang!"
"Bukan itu ... aku laper. Perutku udah kayak nenek-nenek ini, keriput."
"Ampun, Van!" Alya melebarkan mata. "Aku juga laper."
"Hahaha, buruan masuk terus bikin makanan!" Vanya bergegas turun, disusul oleh Alya yang turut menyumbangkan senyum lebar.
Keduanya saling bergandengan, wajah cerita terpasang mengiringi langkah menuju pintu utama. Cacing salam perut memang sudah berteriak meminta tolong, tak mampu lagi bernapas di dalam perut terus mengecil.
Namun, keinginan dua perempuan sama-sama memakai jaket jeans itu tertahan sementara, tatkala mata menatap adanya Rafa berdiri di dekat pintu utama ingin diterobos. Tatapan menyeramkan diberikan oleh Rafa—lelaki yang sekarang memegang sebotol minuman beralkohol berwarna hitam di tangan.
"Duduk!" tegas Rafa, mengarahkan mata pada sofa panjang ruang tamu.
"Hehehe, boleh ke kamar dulu gak, Master? Kerjaan di kamar masih banyak nih, nanti kita harus ke proyek, kan? Pagi-pagi pasti atasan video call deh buat minta laporan. Kan gak enak kalau kita gak ngasih laporannya." Vanya cengengesan, menunjuk berulang anak tangga di sisi kanan.
"Hehehe, bener loh kata Vanya. Atasan kan kalau marah udah kayak singa, Master. Jadi, kita izin ke atas buat lanjutin kerja, ya?" timpal Alya.
"DUDUK!" bentak Rafa, membekukan Rafa seketika.
Namun, itu tak berlaku bagi kedua perempuan yang justru saling mendorong tangan, agar didahului untuk menuruti titah kencang disuarakan. Rafa melihat pergerakan tangan saling menggandeng di depannya, helaan napas kasar pun dihembuskan.
"Hehehe, iya. Ini mau duduk." Vanya dan Alya beriringan, cukup mengerti alur lanjutan dari sebuah napas kasar wakil atasan mereka berdua.
Bergeser kaki menuju sofa, berjalan layaknya kepiting menyamping. Rafa menggeleng dan sekali lagi harus menghela napas, sedikit memberi kelonggaran pada dada tertimbun sesak oleh amarah serta rasa kesal.
Rafa meletakkan botol dibawanya ke atas meja, lalu berdiri menyilangkan tangan di depan dada, menelisik dua wajah sengaja dipasang layaknya anak kecil tanpa dosa. Vanya bahkan ingin meraih botol masih tersegel di meja, beruntung Vino segera menghampiri dan memukul punggung tangannya.
"Sakit, loh!" protes Vanya, dipelototi oleh lelaki yang menggeser minuman dan memindahkan ke lantai samping meja. "Lah kan masih baru, dijual laku itu." Vanya menambahkan lirih, bibir dikerucutkan olehnya.
"Hahaha, lumayan bisa makan ke kafe besok. Gajian masih lama ini, kan?" sambung Alya.
"Iya juga. Kuota juga habis buat main game seharian. Aku telfon temen dulu, biasanya nyari beginian dia." Vino menyetujui, meraih botol dan diangkat mengamati.
"Nah, kan! Buruan telfon, entar aku yang bungkus biar cantik, harganya bisa kita up dikit. Kan lumayan, tuh?"
"Kita keluar ongkos beli bahan bungkus dong, Van?"
"Gak usah. Di kamar banyak majalah lama, kita pakai itu aja. Tenang, dikit sentuhan juga bakal aesthetic!"
"Kamu yang ngerjain, aku yang promosi!"
"Oke, setuju! Tapi up dua apa tiga ratus, ya? Aku butuh beli sabun juga."
"Kalau kemasannya aesthetic sih, kita up setengah harga masih bisa laku. Tenang aja, aku tau orang apes yang bakalan beli nih barang! Bentar, aku hubungin orangnya!"
"Aku bantu yakini—" terpotong perkataan semangat Vanya, meja ditendang kencang oleh lelaki yang sedari tadi mendengarkan sembari memijat kening.
Tiga orang bergabung di sofa panjang seketika menegakkan tubuh, memundurkan posisi duduk hingga punggung membentur sandaran sofa. Ketiganya tertunduk, namun jari saling mencolek pada satu sama lain.
Rafa melemparkan napas sangat kasar, wajahnya merah padam dengan hati memanas tak karuan. Terlebih, saat ketiga orang di depannya saling berbisik samar, menunjuk siapa yang akan berbicara lebih dulu untuk memberi penjelasan atau sekedar rayuan memelas seperti biasa.
"Emang gak ada gunanya ya kalian bertiga! Kemasi barang kalian, keluar dari sini malam ini juga!" berang Rafa. Meja ditendang sekali lagi, dan kali ini refleks Vanya, Vino dan Alya terlalu bagus, mengangkat kaki bersamaan demi melindungi lutut dari kerasnya kayu terdorong ke arah mereka.
"Aduh ... untung aja ini kaki masih aman!" seru ketiganya, sama-sama mengusap lutut.
"Lima menit! Aku gak mau liat kalian bertiga mulai malam ini!" teriak Rafa, berjalan ke dapur.
"Master!" seru Vanya, berdiri diiringi perhatian dua temannya. "Ini udah pagi, bukan malem. Lagian, kita laper sekarang. Boleh makan dulu sebelum pergi entar malem, gak?" wajah Vanya terpasang harap dengan senyum terpasang, seketika kunci mobil melayang ke arahnya dari lelaki yang telah ditambah geram. Alya dan Vino bergerak menghindar ke samping, demi menghindar dari lemparan tak pernah salah sasaran.
"Kenapa dilempar, sih?!" Salahku di mana? Kan emang bener ini udah pagi."
"TERSERAH!" meledak suara Rafa, melanjutkan langkah pergi.
"Ini udah pagi, kan? Kita diminta pergi malem, berarti entar malem, dong? Emang aku salah?" Vanya menoleh pada dua temannya.
"Bodo amat!" Vino dan Alya pergi, usai seruan kencang diciptakan bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
🌱mas Bie🌱
wkwk mereka masih sempat2nya kompak untuk angkat kaki
2023-06-15
0
Nastiti Nurhayati
inilah bentuk ujian kerja dalam 1 team, beda beda karakter yang bikin keki dan emosi. buat Rafa sing sabar Yo mas 🤘
2023-06-05
1
alfa
sabar mas Rafa bisa darting entar marah marah Mulu🤣🤣ngadepin Vanya butuh kesabaran extra kayaknya,itu enteng banget jawabnya🤣
2023-06-04
1