*
*
*
...Geng Bujang...
Ohim :
woi, Gha
Anda :
ape?
Abbas :
wissh, tumben fast respon. lgi gabut lu, Gha?
Ohim :
emang ada dokter gabut?
Abbas :
🤷
Anda :
kebetulan lagi pegang hp, baru keluar ruangan operasi gue. tapi bentar lagi visit pasien
Ohim :
bentar, jangan off dulu. gue mau nanya
Abbas :
kebanyakan intro lo
Anda :
taukk, udah tau gue orangnya sibuk
Ohim :
emang lo doang yang sibuk?
Abbas :
lo juga him?
Ohim :
kaga sih, B ana. gue mah kaga sibuk tapi rekening tetep 🤑
Abbas :
iye, percaya yg old money. pejuang receh macem kita bisa apa ya, Gha☹️
Anda :
ya, begini kerja kerads bagai kuda😢
Ohim :
gk usah sok ngerendah lu berdua, taikkk, gue gibeng juga lu lama2
Anda :
udah buruan lu nanya apaan tadi? ini gue beneran sibuk bukan cuma sok sibuk doang
Ohim :
oh iya, hampir lupa
Abbas :
tua sih
Ohim :
kita seumuran kali, kalau gue tua ya lo tua juga
Anda:
silahkan waktu dan tempat dipersilahkan kalau mau ribut, gue mau visit pasien. bye! jangan ganggu gue!
Karena malas meladeni kegabutan eksekutif muda yang berparas bak Oppa Korea ini, gue memutuskan untuk menutup room chat dan segera mengganti scrub suit gue dengan kemeja. Biar kelar visit gue langsung cabut, soalnya ada janji jemput nyokap.
Namun, belum selesai gue mengancingkan kemeja. Ponsel gue terlihat kembali menyala, bukan pesan masuk melainkan panggilan telfon. Dan saat gue cek, ternyata nyokap gue. Cepat-cepat gue langsung menjawabnya.
"Ya, halo, assalamualaikum, Bun. Mau dijemput sekarang?"
"Wa'allaikumsalam. Belum, Dek. Ini acaranya belum selesai kok. Bunda cuma mastiin aja, kamu beneran bisa jemput Bunda nggak? Kalau sekiranya nggak bisa, biar Bunda langsung pesen taksi online nantinya."
Gue tersenyum sembari menyelesaikan kancing kemeja gue yang belum terkancing sempurna tadinya. "Jadi, Bun, bisa kok. Nggak usah pesen taksi online, ya, tungguin aja anak gantengnya ini."
"Emang beneran bisa? Nanti kamunya jadi repot nggak sih, Dek? Apa nggak usah ya? Biar Bunda naik taksi aja lah, kamu nanti langsung pulang aja, nggak usah jemput Bunda."
Astaga, nyokap gue, masa sama anaknya sendiri tapi masih bisa-bisanya kepikiran ngerepotin? Padahal kan gue sebagai anak lebih ngerepotin lagi.
"Astagfirullah, Bun, enggak, sama sekali nggak repot kok. Ini juga bentar lagi selesai kerjaan Agha, cuma tinggal visit pasien doang terus pulang. Sama anak sendiri kok masa ngerepotin?" Gue bertanya dengan nada pura-pura kesal, "udah lah, nanti langsung kabarin aja ya, Bun, kalau udah selesai."
"Iya, nanti Bunda telfon kalau acaranya udah selesai. Sekarang kamu lanjutin dulu pekerjaan kamu, nanti kalau beres baru jemput Bunda."
"Siap, Bun."
"Assalamualaikum."
"Wa'allaikumsalam."
Sambungan telfon kemudian terputus. Gue segera bersiap-siap untuk visit karena sudah dipanggil oleh perawat.
Setelah semua pekerjaan gue selesai gue langsung menghubungi nyokap untuk menanyakan keberadaan beliau.
"Halo, Bun, assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam. Udah sampe mana, Dek?"
"Bunda belum share loc, ini Agha harus jemput ke mana ya?"
"Oalah, Bunda lupa, Dek. Bentar, Bunda share loc dulu. Kerjaan kamu sudah selesai?"
"Udah, Bun, ini udah di parkiran. Otw jemput Bunda."
"Ya udah, matiin dulu telfonnya. Biar Bunda langsung share loc."
"Oke, Bun. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah mengakhiri obrolan kami, gue langsung mematikan sambungan telfon dan menunggu chat yang nyokap gue kirimkan.
Tok Tok Tok
Gue langsung menurunkan kaca mobil saat mendengar ada yang mengetuknya. Dan ternyata si pelaku adalah Mala.
"Balik?"
Gue langsung mengangguk untuk mengiyakan. Perempuan itu tidak berkata apa-apa setelahnya, langsung masuk ke dalam mobil begitu saja dan memakai seatbeltnya.
"Tapi gue mau jemput nyokap gue, anjir."
"Ya, terus?"
Gue berdecak gemas. Percayalah orang pintar itu tidak selamanya dapat berpikir cepat apalagi peka.
"Ya, itu artinya gue nggak bisa nganter lo lah, pake segala nanya," balas gue sewot.
"Kenapa nggak bisa? Emang lo mau jemput Tante Ayu ke mana?"
Gue kemudian langsung membaca chat yang Bunda gue kirimkan. Dengan tidak sopannya perempuan itu malah mengintip ke layar ponsel gue dan merebutnya begitu saja.
"Lah, ini searah, Gha. Deket apartemen gue lagi, berarti lo nggak punya alesan buat bilang nggak bisa anterin gue. Dah lah, kuy, gas berangkat! Kasian Tante Ayu ntar kelamaan nungguin."
Gue sebenarnya masih belum terlalu rela untuk menyetujuinya. "Tapi ntar lo nunggu di mobil aja, ya?"
"Kenapa?" tanya Mala dengan wajah sok polosnya.
Gue langsung menatapnya sinis. "Ya, menurut lo?"
Perempuan itu langsung terbahak. "Iya, iya, ntar gue tetep di mobil nggak bakal ikut turun. Takut banget."
Ya, iya lah. Nyokap gue mungkin tipe ibu yang tenang kalem gitu, tapi temen-temennya, duh, ampun deh. Tiap lihat gue hobinya ngeceng-cengin mulu. Godain gue udah punya pacar apa belum. Nah, kalau ini perempuan ngikut, pasti mereka bakal mikir kalau Mala cewek gue. Gue heran deh, kok nyokap gue mau-maunya temenan sama mereka?
*
*
*
Ohim :
bro
bray
woe
jangan lupa hari ini nongkrong di tempat gue!
Hampir saja gue lupa. Untung diingetin, kalau tidak gue pasti udah ngiyain ajakan Mala tadi deh. Untung saja Ohim ngingetin.
Gue kemudian segera bersiap-siap. Rasanya udah lama juga gue nggak kumpul bareng. Kangen juga gue sama bacotan mereka, wkwk. Entah lah sudah berapa lama kita tidak ngumpul bareng dalam formasi lengkap. Karena biasanya paling Abas dan Ohim saja, atau kalau enggak gue dengan salah satu dari mereka, tapi kalau bener-bener kumpul bertiga udah lumayan lama, karena kesibukan kami masing-masing.
Gue yang sibuk ngurusin pasien, Abas yang sibuk ngurusin artisnya dan Ohim sibuk ngurusin perusahaan bokapnya.
"Wishhhh, cakep banget nih anak bontotnya Ayah. Mau ke mana nih? Pacaran?" goda bokap gue saat melihat gue keluar dari rumah sambil memainkan kunci mobil. Beliau sedang membantu istrinya menyiram tanaman kesayangan nyokap gue, "anak mana, Dek?"
"Apaan sih? Enggak ada, orang cuma mau main ke rumah Ohim doang."
Ayah gue langsung mencibir. "Dih, ngapain cuma mau main ke rumah Ohim aja ngapain dandan cakep segala?"
"Ya, gimana Agha kan udah cakep dari sananya, Yah. Susah kalau disuruh jadi jelek," balas gue santai.
Bokap gue langsung mematikan kran dan berbalik menatap gue sinis. "Nggak usah sok kecakepan kalau kalau cakepmu nggak guna, mubazir doang."
Waduh, kok gue tersinggung?
"Maksudnya gimana tuh?" Gue masih pura-pura memasang wajah selow gue.
"Ya, buat apa kalau muka cakep tapi nggak ada yang memiliki? Mubazir dong?"
Anjirr
"Mending muka pas-pasan tapi laku," lanjutnya kemudian.
Reflek pengen ngumpat gue. Tapi jangan deh, tahan diri. Tetep stay cool itu wajib.
"Yah," panggil gue tiba-tiba, "Agha mau nanya deh."
Bokap gue langsung menoleh ke arah gue. "Apa?"
"Dulu Ayah nikah umur berapa?"
Wajah bokap gue berubah gugup. "Lah, kenapa jadi Ayah?"
Gue menggeleng dengan wajah santai. "Enggak, nanya aja."
Beliau langsung berdecih lalu melanjutkan kegiatan menyiram tanaman yang tadi sempat tertunda. "Nggak usah kepo kamu, sana pergi, katanya mau main," usirnya kemudian, "nggak usah pulang sekalian. Sesekali tuh kalau main lupa pulang, jangan kalau ngurusin pasien doang sampai lupa pulang."
"Ya, itu namanya dedikasi, Yah."
"Halah, kebanyakan gaya kamu," cibir Ayah.
Gue hanya tertawa sebagai respon, lalu pamit dan langsung masuk ke dalam mobil.
Gue memang nyaris nggak pernah main ke rumah temen sampai nggak inget pulang. Biasanya gue selalu memilih untuk tetap pulang meski sudah dini hari sekalipun. Karena apa ya, gue lebih nyaman tidur di kamar sendiri ketimbang tidur di rumah orang sih.
*
*
*
"Lah, Abas belum ke sini?" tanya gue sembari celingukan mencari keberadaan Abas yang sedari tadi belum menampakkan batang hidungnya. Kalau diingat-ingat lagi, kayaknya gue juga belum melihat mobilnya tadi, "nggak jadi ke sini dia?"
"Jadi," balas Ohim sambil membawa berbagai jenis junkfood dan minuman soda, "tahu, lagi ngurusin skandal artisnya kali," sambungnya asal.
Gue berdecak saat melihat apa yang dia bawa. Emang paling salah sih kalau nongkrong di rumah Ohim, meski jelas-jelas di rumah pria itu ada ART pasti ujung-ujungnya sajiannya junkfood. Bukan sok sehat atau bagaimana, cuma masalahnya kemarin gue udah makan junkfood sama Mala. Itu perempuan nyusahain lagi, pesennya nggak ukuran, yang ngabisin gue. Kan sialan.
Ohim yang paham decakan gue langsung terkekeh. "Nggak papa Pak dokter, sesekali makan junkfood dua hari berturut-turut nggak dosa kok."
Lah, kok dia tahu gue kemarin abis makan junkfood?
Ohim kembali tertawa saat melihat wajah kaget gue. Pria itu kembali terkekeh.
"Mata-mata gue banyak, bray, nggak usah sok kaget." Ohim kemudian duduk di sebelah gue, "btw, si Mala beneran putus ya sama cowoknya yang posesif itu?"
Gue hanya mengangguk sebagai tanda jawaban. Meski sedikit kesal dengan hidangan yang disajikan Ohim, gue tetap memakannya.
"Batal kawin dong?"
Gue mengangkat kedua bahu, tanda tidak tahu. "Kemungkinan iya."
"Asik, bisa dong gue pepet?"
Sambil berdecak, gue langsung melempar bekas kentang goreng gigitan gue. "Jangan macem-macem lo!"
Pria itu jelas langsung misuh-misuh. "Dih, lo siapa? Nggak usah sok posesifin si Mala deh, pacar bukan, sodara bukan, sok-sokan posesif. Malu, woe!"
"Heh! Gue nggak posesifin dia kapas cotton bud! Maksud gue, lo kan punya Vika, ngapain pengen ngegebet Mala?"
Gue perhatikan raut wajah Ohim terlihat sedikit berubah. Pria itu kemudian mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Gue udah nggak sama dia."
"Lah, anjir? Nggak sama dia gimana?" tanya gue tidak paham.
Ohim langsung berdecak. "Kenapa sih orang pinter kalau disuruh mikir selain pelajaran lemot banget? Masa gitu aja nggak paham? Udah nggak sama dia, ya, artinya putus. The end. Lagian perasaan kemarin Abas udah bahas ini deh di grup."
"Masa sih? Kok bisa? Kok gue nggak inget?" tanya gue masih shock setengah tidak percaya.
Mereka berdua tuh pasangan paling selow, jarang berantem nyerempet ke nggak pernah berantem. Paling akur, paling nggak cemburuan, dan paling pengertian. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba putus?
"Lah, lo sama Karin kenapa bisa putus? Bukannya mikir dikawinin malah diputusin," balasnya tidak mau kalah.
Dalam kasus gue jelas beda lah. Gue tidak bisa mentoleransi yang namanya perselingkuhan, bagi gue kalau seseorang sudah menghancurkan kepercayaan yang gue kasih, maka jangan harap gue bakal percaya lagi.
"Vika main belakang?" tebak gue ragu-ragu.
Ohim terlihat terkejut dan menggeleng tegas, bahkan tangannya secara reflek langsung memukul gue. "Anjir, kaga lah. Sehambar- hambarnya hubungan gue sama dia, nggak ada istilah orang ketiga. Amit-amit!"
"Oh, kirain gitu juga."
"Hah? Apa lo bilang?" Ohim langsung memasang wajah kagetnya.
"Yang mana?" Gue balik bertanya.
"Yang barusan. Gituan juga itu maksudnya apa, woe?!" seru Ohim heboh, "anjir, jangan bilang kalau Karin main belakang?"
Gue tidak membalas dan hanya memasang senyum. Dan itu sukses membuat gue mendapat lemparan bantal sofa dengan cukup keras.
"Bangsat! Bisa-bisanya lo masih senyum setelah diselingkuhi?"
Seketika gue langsung terbahak. "Ya, lo maunya gue gimana, bangsat?"
Maafkan mulut kami yang tidak ada filternya ini, guys.
"Minimal pasang wajah melas kek. Seolah tersakiti atau gimana gitu kek."
"Udah lewat fasenya, bro," balas gue santai.
"Anjir, kok bisa-bisanya sih lo diselingkuhi? Tai banget si Karin, berani-beraninya nyelingkuhi sohib gue, kek berasa sok cakep banget dia," gerutu Ohim dengan wajah kesalnya.
Gue kemudian langsung menyahut, "Dia emang cakep kali."
"Ini nih, masalahnya, macarin anak orang gegara cakep. Ya, begini endingnya, diselingkuhi kan lo?"
Gue awalnya mau membalas ucapan Ohim, mendadak urung karena kedatangan Abas dan kalimat sarkasnya.
"Ngaca, woe! Lo dulu gitu juga, anjir, sama Vika. Lo pikir lo mau sama dia gegara apa, kampret?"
Ohim langsung menatap Abas yang baru saja tiba dengan tatapan sinisnya. "Halah, jones bertahun-tahun diem aja lo, ngerti apaan lo? Tahunya suka sama orang kejebak friendzone, udah, tai!" Secara tidak terduga, ia tiba-tiba menoleh ke arah gue, "lo juga. Kenapa sih lo berdua seneng banget kejebak friendzone? Heran gue."
"Lah, kenapa gue kena lagi, anjir? Udah gue bilang, gue sama Mala itu beneran temen. Dia itu udah gue anggep kayak adek gue sendiri juga, njir, ya kali mau lebih. Suka ngada-ngada lo!"
"Oh, kaka adek zone nih ceritanya?" sindir Abas tiba-tiba.
"Lah, kenapa lo ikut-ikutan, njir?" protes gue kesal.
"Ya, gimana ya, Gha, persahabatan antara cewek dan cowok tuh nggak ada yang murni, pasti salah satunya ada yang naksir, atau minimal pernah ada yang naksir."
"Kayak lo," sahut Ohim cepat, "sumpah ya, Bas, lo mau sampai kapan sih kejebak friendzone gini? Nggak capek apa? Gue aja yang jadi penonton capek loh."
Jujur, gue juga capek lihatnya. Karena apa, ya, Abas dan Alisa itu udah temenan sejak duduk di bangku SMP, lalu saat SMA kita berempat ketemu pas MOS, kuliahnya pun mereka berdua satu universitas, bahkan kerja pun sekarang bareng, karena agensi modeling milik Abas didirikan bareng Alisa. Tapi Abasnya payah banget nggak pernah berani confess ke Alisa.
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 198 Episodes
Comments
Nunuk Bunda Elma
asekkk punya temen bar bar dan ceplas ceplos bikin rame dan kangenin kalo kumpul² gini
2023-06-02
1
tetesan embun 🌛
keren bingit
2023-06-02
0