*
*
*
Weekend indah gue kali ini harus kembali lenyap karena sebuah telfon dari Kakak gue. Padahal hari ini gue sudah menyusun agenda seapik mungkin agar gue bisa menikmati me time.
Jalan-jalan keliling ibukota sendirian naik kendaraan umum, sambil menenteng salah satu kamera koleksi gue dan memotret sepuasnya. Semenjak gue memutuskan jadi residen, hobi memotret gue harus secara terpaksa gue tinggalkan demi segera lulus spesialis. Percayalah, dulu gue nyaris menyerah dan berpikir untuk tidak melanjutkan residen gue, bahkan bokap gue pun langsung menyetujuinya.
Beliau bahkan menyarankan gue untuk alih profesi jadi fotografer saja, karena kebetulan hobi gue yang satu ini lumayan diakui banyak orang. Tak tanggung-tanggung, bokap gue bahkan siap memodali gue kalau seandainya gue pengen menggelar pameran.
Bokap gue pernah bilang begini. "Kan udah Ayah bilangin, Dek, jadi dokter itu susah. Kerjaannya pasti belajar mulu, kamu kalau emang nggak kuat, mending nyerah aja deh. Nggak papa kok, kamu sampai jadi residen aja udah keren kok. Salah ambil jurusan itu wajar, meski salahnya kamu agak keblabasan."
Percayalah, gue pas digituin bokap rasanya kayak pengen marah, cuma takut dosa. Maksud gue gini, gue kan posisinya lagi down, lagi capek, lagi butuh dukungan gitu loh, bukannya dikasih semangat malah dijatuhin begini. Ya, wajar dong kalau gue kesel?
Gue tahu sih maksud beliau itu cuma pengen gue semakin yakin dengan jalan yang udah gue pilih, tapi masa iya harus banget pake cara itu?
Beruntung gue punya Mala. Dia nggak pernah kendor kasih gue semangat dan juga dukungan biar gue nggak nyerah gitu aja. Dan hasilnya ya, sampai lah gue pada titik ini.
Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa gue nggak bisa marah sama dia, meski pun senyebelin apapun Mala. Karena bagaimanapun juga dia salah satu motivasi gue untuk tetap melanjutkan apa yang sudah gue mulai.
Oke, mari kita lanjut bahas tentang Kakak gue.
Jadi ceritanya gini, gue udah siap otw nih, tinggal nunggu ojol gue dateng. Tapi dengan secara tidak sopan, Kakak gue tiba-tiba nelfon dan minta gue ke sana. Gue awalnya langsung nolak lah, enak aja, tapi saat dia bilang suaminya lagi ada seminar di luar kota. Gue dengan jiwa-jiwa tidak enakan gue secara terpaksa mengiyakan. Ya kali, gue tega sama Kakak gue sendiri yang lagi hamil besar dan ditinggal suaminya ke luar kota? Enggak mungkin lah.
Maka dari itu, di sini lah gue sekarang. Bersandar pada sofa ruang tamu yang ada di rumah Kakak gue sambil memainkan kunci mobil dengan wajah cemberut. Mood gue saat ini benar-benar kacau. Nungguin sang nyonya rumah yang katanya lagi touch up.
"Yuk, gue udah siap nih," ucap Kak Ale begitu sampe di ruang tamu.
"Mau ke mana?" tanya gue masih dengan wajah ogah-ogahan. Sumpah, rasanya gue masih nggak rela jatah libur gue digangguin Kakak sendiri.
"Nurutin ponakan lo. Ngidam nih gue," balasnya sambil mengelus perut besarnya.
Anjir, hamil tua yang HPL-nya tinggal minggu depan emang masih bisa ngidam, ya?
"Ngidam apaan emang?"
Sebagai Om yang baik, gue jelas nggak rela kalau ntar ponakan gue ileran cuma gegara ngidamnya tidak dituruti kan? Ya, meski gue sendiri nggak tahu pasti, kalau ngidam yang tidak dituruti bisa bikin anak ileran itu mitos atau fakta.
"Stroller," balas Kak Ale santai.
Gue langsung menatapnya datar. "Lo khawatir banget ya, Kak, kalau duit gue nggak kepake?"
Sambil tertawa jumawa, Kak Ale mengangguk dan membenarkan. "Iyes banget adikku yang paling ganteng. Gue tuh khawatir banget sama lo, lo kan udah kerja keras bagai kuda siang dan malem, masa nggak dimanfaatin sih uangnya? Kan mubazir, Dek, jadi gue dan ponakan lo di sini posisinya ngebantuin lo. Udah gitu aja, baik kan kita?" ucapnya tanpa beban dan kembali mengelus perut besarnya.
Gue hanya mampu merespon dengan dengusan tidak percaya dan memilih untuk langsung keluar dari rumahnya.
"Kursi rodanya di garasi, Dek," ucap Kak Ale saat tangan gue hendak menyentuh handle pintu.
"Maksudnya?"
"Ya, ada di garasi, lo ambil dulu baru masuk mobil."
"Maksud gue buat apa kursi roda segala, Kak?"
Gue tidak habis pikir, kan dia minta dibeliin stroller bayi, ngapain bawa-bawa kursi roda segala?
"Heh, lo nggak lihat perut gue segede apa? Lo nggak merhatiin gimana gue jalan? Udah susah kali, Gha, ya kali lo masih minta gue keliling mall? Udah gila lo?"
"Lah, kalau udah sadar perutnya segede apa dan jalannya juga sesusah apa, ngapain musti repot-repot ke mall sih, Kak? Jangan kayak orang susah deh, olshop diciptain buat apa coba? Ya, buat kaum-kaum yang males keliling mall buat beli barang kan?" Emosi gue kembali naik.
Kak Ale menggeleng tegas. "Gue nggak suka belanja online, Dek. Udah deh, lo nggak usah banyak protes, buruan ambil kursi rodanya terus masukin mobil biar kita bisa langsung berangkat. Ribet banget jadi cowok," gerutu Kak Ale sambil membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalam setelahnya.
Seketika gue langsung mengumpat kesal. Kenapa sih perempuan di sekeliling gue perasaan kerjaannya ngerepotin semua kecuali Bunda?
*
*
*
Judulnya sih minta dibeliin stroller bayi, tapi endingnya merembet kemana-mana. Siapa lagi kalau bukan Kakak gue?
Gila sih, hampir setengah hari gue menemani dia keliling mall, sudah lebih dari 5 kali gue menggesek debit card gue demi bayarin dia shopping ini dan itu. Mana tiap sekali gesek nominalnya bisa buat kasih makan anak yatim dua bulan.
Gila? Emang segila ini Kakak gue kalau belanja.
Sekarang yang capek nggak cuma fisik gue karena harus dorong bumil keliling mall, tapi capek hati juga karena Kak Ale seolah memiliki misi menguras saldo rekening gue.
Pengen marah tapi ucapan Kak Ale terngiang 'nggak papa, kan demi keponakan'. 'sama ponakan nggak boleh perhitungan'
Anjir, padahal gue nggak cuma belanjain calon ponakan gue doang, tapi Emaknya juga.
"Lo laper nggak sih, Gha?"
"Enggak," ketus gue kesal.
"Gue laper nih, cari makan dulu, yuk. Sushi tei enak deh kayaknya."
Gue langsung memasang wajah memelas. "Kak, gue rasanya udah nggak sanggup dorong lo, nggak bisa ya kita pulang sekarang?"
"Makan dulu lah, Dek, biar jadi kuat. Yuk, kali ini gue yang traktir deh."
Gue mendengus. "Halah, setelah berhasil morotin gue baru mau bilang traktir lo, Kak?"
Kak Ale berdecak sambil menoleh ke arah gue dengan wajah yang sedikit kesal. "Intinya lo mau nggak sih, Gha?"
"Emang kalau gue bilang nggak mau, kita bisa langsung pulang?"
"Oh, tentu tidak," balas Kak Ale santai.
"Kalau gitu ngapain pake segala nanya?"
"Ya, namanya juga basa-basi. Kita asli Indonesia dan tinggal di Indonesia, Gha, jadi perlu lah basa-basi sedikit, meski sama sodara sendiri. Paham?"
"Bodo amat," ketus gue kesal. Tangan gue kemudian kembali mendorong kursi rodanya menuju restoran yang diinginkan Kak Ale.
*
*
*
Gue langsung merebahkan tubuh gue pada sofa ruang tamu rumah Kak Ale, setelah meletakkan barang belanjaan Kak Ale di lantai atas. Kenapa langsung gue taroh di sana, ya tentu saja karena atas perintah sang pemilik rumah lah. Gila aja inisiatif gue sendiri.
"Mau langsung pulang atau mau ngelanjut rencana awal, Dek?" tanya Kak Ale setelah dari dapur sambil menyerahkan sebotol air mineral untuk gue.
Gue memilih untuk tidak langsung menjawab dan memilih untuk meneguk air mineral yang dikasih Kak Ale lebih dulu. "Kak, lo nggak lihat kondisi gue sekarang gimana? Dan lo masih nanya begituan?"
Dengan wajah tidak bersalahnya, Kak Ale tertawa lalu duduk di sebelah gue. "Ya, kan biasa kalau urusan hunting foto lo semangat banget, Dek, mau secapek apapun lo. Kali aja sekarang juga."
"Itu dulu, sekarang enggak," ketus gue judes.
"Sekarang udah tua ya?" ledek Kak Ale kembali terbahak, "udah tua kenapa nggak nikah-nikah deh? Enggak kasian lo sama Mala?"
"Lah, apa hubungannya sama Mala?"
Kak Ale mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.
"Ngaco!"
"Lo sadar nggak sih, kenapa Mala sampai umur segini belum nikah?"
Gue langsung memasang wajah cuek gue. "Ya, mana gue tahu. Gue aja umur segini belum nikah juga."
"Ya, karena lo nggak cepet-cepet ngelamar dia, dodol! Udah deh, Gha, saran gue mending lo segera lamar Mala. Karena kalian itu udah kelamaan buang-buang waktu. Kalian itu udah sama-sama nyaman satu sama lain, tapi begonya masih nyari yang lain. Ya, ujungnya begini, kalian nggak kawin-kawin. Percaya deh sama gue, endingnya kalian tuh pasti bakalan nikah. Ngapain nunggu nanti-nanti kalau orangnya udah jelas-jelas di depan mata? Mending langsung gas lah."
"Ayah nggak bakal setuju."
"Kenapa?"
"Karena Mala dokter dan kedua orangtuanya dokter juga, Kak."
"Bentar, ini kalau semisal Mala bukan dari kalangan kedokteran. Lo bakal langsung lamar dia gitu?"
"Ya, enggak gitu juga kali, Kak," elak gue.
"Terus?"
"Ya, enggak ada terusannya."
"Kalian berdua itu aneh tahu nggak?" Kak Ale geleng-geleng kepala tidak habis pikir, "bodo amat lah, pusing gue ngurusin kalian. Nggak jelas," gerutunya langsung berdiri.
"Dih, siapa juga yang minta lo ikut ngurusin kita? Enggak ada kan?"
Kak Ale langsung berbalik sambil melotot ke arah gue. "Adek laknat lo!"
"Bodo. Sana lo pergi! Gue mau tidur bentar, jangan lo gangguin gue. Kalau Mala nelfon, bilang aja gue lagi nggak bisa diganggu."
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 198 Episodes
Comments
Nunuk Bunda Elma
kak Ale suka bener dech ngocehnya
emang dasar sagha ajah yg gak peka
2023-06-02
1