Married With My Besti
*
*
*
"Gha, kapan kamu pindah?"
Gue melirik bokap gue sekilas lalu beralih pada perempuan yang telah melahirkan gue 31 tahun yang lalu. Nyokap gue langsung menegur beliau, tapi bokap gue jelas nggak peduli. Beliau kembali mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapat jawaban dari gue.
Kalau kalian berpikir maksud bokap gue, kapan gue pindah ke perusahaannya, maka jawaban kalian salah. Karena bokap gue bukan seorang businessman yang punya bisnis di mana-mana, melainkan hanya seorang dokter spesialis obgyn yang kebetulan punya banyak follower di sosmed. For your information, follower bokap gue itu nggak sedikit, bahkan follower gue aja nggak nyampe setengah dari follower beliau.
Usianya mungkin sudah jauh dari kata muda, tapi semangat kampanye tentang kesehatan di sosmed perlu gue akui luar biasa. Popularitas bokap gue nggak main-main sih, apalagi di kalangan ibu-ibu. Mana apesnya bokap gue masih awet muda lagi, padahal bentar lagi udah punya cucu dan usianya pun sudah sangat jauh dari kata muda. Bahkan nggak jarang orang mikir kalau gue ini adek beliau, bukan anaknya. Kampret banget sumpah sih kalau yang ini. Enggak masuk akal banget, keterlaluan.
Terus bokap gue nyuruh pindah ke mana dong?
Jawabannya adalah rumah gue sendiri. Atau minimal beliau pengen gue tinggal di apartemen sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir gue tuh jarang pulang juga ke rumah, karena biasanya gue kalau udah kecapekan abis operasi milih tidur di ruang jaga daripada pulang ke rumah, tapi tetep aja bokap gue bawaannya pengen ngusir gue mulu.
Mengikuti jejak bokap, gue ikutan nyemplung ke dunia kedokteran. Padahal sejak bocah sampai masuk SMA, gue kalau ditanya mau jadi apa, jawaban gue apapun itu kecuali jadi dokter. Tapi giliran lulus SMA dan mau masuk universitas gue malah ambil kedokteran, aneh banget kan? Mana gue ngambil spesialis juga lagi. Padahal bokap gue udah ngewanti-wanti gue buat ambil jurusan lain, tapi ujung-ujungnya gue malah seprofesi sama beliau.
Bokap gue tuh aneh, di saat rekan-rekannya pengen anaknya ngikuti jejak karir mereka sebagai dokter--bahkan ada yang sampai harus maksa anaknya malah--, bokap gue justru sebaliknya. Beliau malah nge-warning supaya gue ambil jurusan yang lain. Katanya sih biar anaknya profesinya beda-beda, karena Kakak gue udah terlanjur masuk fakultas kedokteran juga kala itu. Bokap gue ngebujuk gue dengan berbagai cara supaya gue nggak ambil kedokteran juga, cuma nggak tahu kenapa gue merasa seperti dapet panggilan dan memutuskan untuk ikut ambil kedokteran juga. Alhasil, semua keluarga gue dokter, kecuali nyokap gue sih. Karena ipar gue pun juga seorang dokter, bahkan keluarga ipar gue pun mayoritas dari kalangan keluarga yang berada di lingkup kesehatan.
Sangat tidak sesuai dengan harapan bokap gue.
Gue sama bokap gue masih berharap jodoh gue bukan dokter juga. Eh, gue nggak ikutan deh, itu cuma harapan bokap gue aja. Gue sih mau dokter atau bukan nggak masalah, yang penting dia mau sama gue, itu udah lebih dari cukup.
"Kamu itu udah 31 tahun, masa nggak mampu beli rumah atau apartemen? Apalagi kamu ini udah jadi dokter spesialis, nggak mungkin nggak mampu beli kan?"
Masih dilanjut ternyata gaes. Baiklah, mari kita dengarkan sambil menghabiskan sisa makan malam gue.
"Agha Altair Kalandra, kamu ini dengerin Ayah ngomong nggak sih?" tanya bokap gue dengan wajahnya yang agak kesal.
Berbanding balik sama wajah gue yang tetap santai. "Denger."
Bokap gue jelas langsung ngadu ke istri tercintanya. "Bun, itu loh anaknya."
Dasar tukang ngadu!
Mana nada suaranya jijay banget lagi. Ini kalau gue nggak lagi makan masakan nyokap gue, udah muntah kali ya dengernya.
Bokap gue ini meski usianya sangat jauh dari kata muda, tapi kalau masalah bucin ke istri emang paling juara. Apalagi kalau udah ngadu begitu, sumpah gue sebagai anak kadang suka malu ngakuin kalau beliau itu bokap kandung gue. Orang yang berperan penting lahirnya gue ke dunia ini. Bukan hanya sebagai pendonor ****** saja, tapi udah jelas orang yang ngebantu nyokap gue lahiran pasti bokap gue sendiri.
"Biarin, Yah, lagian Bunda yang ngelarang adek buat pindah. Pindahnya nantinya kalau sudah nikah, soalnya kalau adek pindah nanti rumah jadi makin sepi."
Benar. Kalian tidak salah dengar. Meski usia gue udah masuk kepala tiga, yang katanya udah waktunya jadi Bapak, tapi Bunda tercinta gue masih aja panggil gue 'adek' bahkan bokap gue pun kadang masih manggil gitu juga--kalau moodnya bagus doang, tapi--soalnya bokap gue seringnya sensian kalau sama gue. Padahal ya, kalau dipikir-pikir muka gue nggak sebaby face itu untuk dipanggil 'dek' di usia setua ini. Ya, cuma karena gue si bontot sekeluarga dan kebetulan lagi single, makanya dipanggil begitu.
Oke, mari kita lanjut.
Mendengar jawaban Bunda, Ayah langsung memasang wajah cemberutnya. "Loh, emang Ayah aja nggak cukup buat Bunda?"
Mulai deh, si paling nggak sadar umur.
"Ayah kan sibuk," balas Bunda.
"Loh, memang anak kamu ini nggak sibuk?" balas Ayah gue sambil menunjuk wajah kalem gue menggunakan garpunya.
Buset, udah kayak mau nyolok mata anaknya aja, guys.
"Ya, justru itu, Yah, karena dua-duanya sibuk makanya biarin adek tinggal di sini. Kalau dia udah sibuk terus tinggal sendiri yang ada nanti makin sepi ini rumah, karena adek pasti jarang banget ke sini."
"Tuh, dengerin kalau istri lagi bersabda, Yah," sambung gue ikut-ikutan.
Bokap gue tidak membalas, beliau hanya berdecak sambil melirik gue sinis. Karena dirinya merasa kalah. Selain suka nggak inget umur dan bucinan, bokap gue itu cemburuan, guys. Termasuk sama gue, anaknya sendiri. Sekian.
*
*
*
"Hp terus! Keluar sana, Dek, pacaran kek! Ngapain gitu nyari kegiatan. Jangan hp terus! Sakit mata baru tahu rasa!"
Astaga, baru juga duduk, pegang hp juga belum ada lima menit, udah dibilang hp-an terus? Dasar bokap gue. Kalau masalah nyinyir nomor satu lah. Nyokap gue aja nggak ada apa-apanya.
Malas berdebat, gue memilih diam saja dan membiarkan beliau dengan asumsinya sendiri. Kalau kata gue biar sebahagianya beliau saja lah. Gue diem aja yang penting Ayah gue seneng.
Plak!
Buset, gue diam aja masih salah? Pake acara mukul kepala gue segala lagi, ya Tuhan boleh tidak sih gue mengundurkan diri sebagai putra bungsu Randu Kalandra? Sengaja nggak masukin title karena males kepanjangan.
"Kalau ada orangtua ngomong itu direspon, jangan diem mulu. Itu mulut gunanya buat ngomong, dek, bukan cuma buat tukeran ludah doang."
Astaga, mulutnya Ayah gue.
Bokap gue kemudian duduk di sebelah gue sambil mencolek pundak gue. "Udah pernah belum, dek?" tanyanya sambil menyilangkan sebelah kakinya. Kedua alisnya naik turun dan bibirnya sedikit menahan senyum.
Gue langsung menaikkan sebelah alis gue heran. Ini bokap gue harus banget ya nanyain beginian? Kepo banget sama urusan anaknya.
"Apaan?" tanya gue pura-pura memasang wajah bego gue.
Ayah gue tiba-tiba tertawa. "Ya ampun, anak gue malu."
Emang terkadang bokap gue serandom ini. Jadi kalau nanti kalau kalian melihat beberapa kerandoman gue, itu karena randomnya gue diturunkan langsung dari bokap gue ya.
"Enggak papa, Gha, Ayah pernah muda juga, nggak usah malu. Ayah punya pemikiran terbuka, nggak kolot kayak Bunda-mu." Tentu saja Ayah langsung berbisik saat menyebut istri tercintanya, "Ayah nggak masalah, asal kamu tahu batasan dan yang paling penting jangan sampai keblabasan macem Pakdhe Lingga. Udah kebobolan sama bocah lagi. Kamu awas ya kalau sampai begitu. Ayah potong ***** kamu pake pisau bedah. Paham?"
"Paham, Ayahku yang paling ganteng."
"Nggak usah sok muji, Ayah nggak punya warisan buat dibagi-bagi."
Gue langsung terbahak saat mendengarnya.
"Nikah, Dek," ucap Ayah tiba-tiba.
Gue langsung menatap beliau dengan tatapan shock gue. "Hah?"
Ini bokap gue kenapa deh? Kok tiba-tiba banget? Tumbenan. Padahal biasanya selow banget soal ginian.
"Jangan hah-heh doang. Kasih Ayah menantu, nggak bosen kamu, kerjaannya ngurusin pasien terus? Nggak pengen gantian diurusin gitu? Spesialisasi kamu kan udah beres, jadi udah saatnya cari pendamping. Nggak kasian kamu sama Bunda-mu, udah tua tapi masih harus ngurusin kamu juga? Itu Ayah perhatiin si Mala boleh juga jadi mantu Ayah. Lamar, yuk, minggu depan."
Buset.
"Astaga, sembarang banget sih, Yah, main lamar-lamar aja. Lagian si Mala itu udah punya pacar, dia konsultan perusahaan gede. Ya kali mau dijadiin menantu Ayah."
"Ya, nggak papa, baru pacar kan? Orang pacaran masih bisa putus kali, Dek."
Astaga, ini bokap gue nggak lagi ngedoain Mala putus sama cowoknya secara nggak langsung kan? Maksud beliau bercanda doang kan ini?
"Lagian Ayah perhatiin kalian lebih cocok tahu."
Gue hanya mampu geleng-geleng kepala tanda tidak habis pikir. Cocok bagian mananya sih, perasaan gue sama dia kalau ketemu ribut mulu deh. Kalau nggak adu mulut ya physical attack.
"Dia kerjanya di mana sih?" tanya Ayah kepo.
"Rumah sakit."
"Dokter juga?"
Gue langsung mengangguk untuk membenarkan.
"Dokter apa?"
"Anestesi."
"Tuh, cocok sama-sama dokter. Yang satu dokter bedah yang satu dokter anestesi." Detik berikutnya Ayah gue menyadari sesuatu, "eh, dokter juga? Jangan deh kalau gitu, Ayah nggak mau mantu dokter lagi. Cari yang lain, Dek, pokoknya usahakan jangan dokter lagi. Oke?" Bokap gue kemudian berdiri sambil menepuk pundak gue lalu pergi begitu saja.
Lah, ngelawak bokap gue barusan?
Tbc,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 198 Episodes
Comments
MARLINA DJAILANI
akhirnya ketemu lg sama novel Lin_iin. Dah lama gak pernah baca lagi karyanya.
salam kenal lagi Lin_iin
2024-09-24
0
chika anaya
marathon bacanya, baru selesai baca cerita emaknya...
2024-02-02
0
Alea
semoga aku nggak dibilang kampret sama anakku.
karena orang orang juga sering bilang kami adik kakak 😁
2023-11-08
0