"Siniin ponselku!" aku mulai geram karena di permainkan oleh pria muda di hadapanku, memanfaatkan tubuhnya yang tinggi membuatku kesulitan menjangkau benda pipih kesayanganku.
"Masa gini doang gak nyempe sih, Tante. Usaha dong!"
Ucapan pria itu berhasil menyulit emosiku, memang apa salahnya kalau aku pendek? Mengapa dia sepertinya mencelaku, padahal aku tipe ideal, dianya saja yang tinggi seperti tiang listrik.
"Siniin ponselku, gak sopan banget nih bocil." Aku sangat kesal selalu dipermainkan olehnya, beruntung otakku encer di saat darurat. Ya, aku menginjak kakinya dengan sangat kuat dan mengambil kesempatan mengambil ponsel di saat dia lengah.
"Ah, curang nih Tante."
"Biarin." Aku melangkah pergi, namun menoleh saat beberapa detik. "Oh ya, aku bukan Tantemu karena tidak pernah merasa menikah dengan Pamanmu." Aku menatapnya kesal, mencibir bocah itu. "Apa aku setua itu? Sampai dia memanggilku tante." Pikirku. "Semoga aku tidak di pertemukan dengan bocah tengil."
Kepergian Iren membuat kesan pertama di hati pria muda, terlihat dari kedua sudut bibirnya yang di tarik ke atas.
"Menarik, pertemuan kedua kita aku anggap sebagai jodoh." Gumamnya di dalam hati, berlalu pergi meninggalkan tempat itu.
****
Aku yang hendak membuka pintu membuatku terheran saat pintu tidak di kunci. "Eh, perasaan aku mengunci pintu tadi. Apa aku sudah pikun?" monolog ku, timbul kecemasan dan garis halus di pipi membuatku semakin khawatir, tentu saja menolak tua.
Aku masuk ke dalam dengan perlahan, ku edarkan pandangan dan melihat sesosok gadis yang bersantai di sofa sedang menonton televisi. Aku menghela nafas lega, itu berarti aku tidak lupa mengunci pintu. Tapi, seseorang masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuanku.
"Ehem, enak ya … bersantai di rumah orang." Sindirku sengaja berdehem.
Tatapan kami saling bertemu, aku menatapnya datar, sedangkan dia cengengesan membuat wajahnya s-eimut mungkin agar aku tak memarahinya.
"Kak Iren, aku suntuk di rumah. Untuk sementara aku tinggal di sini ya," bujuknya dengan seribu alasan, padahal Biru sudah membawanya ikut pergi bersama ke Paris tapi dia malah menolaknya.
Sekali lagi aku menghela nafas, bisa-bisanya aku mempunyai dua adik yang membuatku kesal. Aku, Biru dan Putih adalah saudara satu ayah, hubungan kami sekarang cukup baik.
"Pulang sana, aku mau sendiri." Usirku ketus, karena tak khayal kalau Putih hanya bisa menghilangkan kedamaian di rumahku.
"Tega ya sama adik sendiri."
"Biarin."
"Oh iya Kak, besok pagi kita ke rumah sakit yuk! Jenguk ayah."
Dua manik matanya berbinar cerah, aku terpaksa mengangguk karena sesungguhnya tak tega menolak. Walaupun aku terlihat keras di luar, tapi hatiku sangat mudah tersentuh.
"Dua hari."
"Apanya yang dua hari Kak?"
Aku menepuk kening karena lupa kalau adik bungsuku itu sangat lambat berpikir. "Dua hari kamu harus pergi dari rumahku, kalau perlu kamu ikut Biru ke Paris."
"Gak ah Kak, aku lebih suka tinggal di sini."
Aku menyerngitkan dahi saat membaca ekspresi Putih yang bersemu merah, aku mengerti kalau ada sesuatu yang diincar olehnya.
"Oho, jadi ada seseorang yang kamu incar ya." Godaku semakin membuat kedua pipinya merah seperti tomat.
"Iya Kak, makanya aku gak mau ke Paris. Mau cari pria Indo aja, lebih top."
"Terserah." Aku memutuskan untuk pergi menuju kamar, membaringkan tubuhku di atas ranjang empuk sembari bermain ponsel.
Kedua alisku bersatu saat melihat nomor tak di kenal menghubungiku lewat pesan singkat di aplikasi hijau.
["Hai Tante, I miss you."]
"Dasar bocah tengil." Umpat ku kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Evi
lah dapat nmr dari mna??
perasaan td blm buka hp a si Tante deh??
2023-07-15
1
Dwi Winarni Wina
sibocil tengil lagi kgn makanya menghubungi tante,,,,
2023-07-15
0