Sedari tadi rasanya Kara benar-benar tidak fokus pada pekerjaannya, ada saja kesalahan yang dia buat, bahkan Kara harus mendapat teguran dari manager cafenya.
'Aahh... ini gara-gara Zaden si boss gangster itu." gerutunya, mungkin itu kata yang akan sering kara sebutkan karena saking kesalnya pada Zaden si ketua ZACKS.
Bodohnya Kara, seharusnya dia meluruskan apa yang sudah terjadi dan bukannya langsung kabur menghindari Zaden, kan jadinya begini? Dia terus terngiang-ngiang ucapan lelaki angkuh tersebut apalagi kalau mengingat ciuman yang dia berikan walau itu cuma di pipinya, tapi tetap saja membuat wajah Kara memanas.
"Muka mu kenapa memerah gitu, kamu sakit?" tegur kak Nisa, salah satu pegawai Cafe. "Kalau memang kamu sakit ya sudah izin pulang saja, dari pada kamu dapat komplain lagi dari pengunjung."
Kara menyentuh wajahnya, "Tidak kok, kak Nisa. Beneran aku baik saja, janji kali ini tidak akan melakukan kesalahan lagi." sahut Kara cengengesan.
"Ya sudah." Nisa cuma mengedikkan kedua bahunya cuek dan meninggalkan Kara sendirian yang kini sudah mengipas wajahnya yang memanas dengan kedua tangannya hanya gara-gara mengingat perlakuan Zaden padanya hari ini.
"Lupakan-lupakan-lupakan... dan konsentrasi." ucapnya bagai mantra, dan kembali melanjutkan pekerjaannya hari ini.
****
Pukul 20.00 malam pekerjaan Kara dan Zia telah selesai, kini mereka sudah bersiap-siap untuk pulang. Kara setiap harinya memang ikut nebeng pulang dengan Zia, karena temannya itu bawa motor sendiri.
"Kar, kita ke toko buku bentar dulu yuk, ada buku yang ingin aku cari." ujar Zia, dari tadi Zia memang selalu membahas buku itu, buku tambahan yang katanya sangat bagus untuk mata kuliahnya.
"Oke, tapi aku ngikut aja ya? Nggak mau beli apa-apa." sahut Kara, dia harus berhemat untuk saat ini apalagi uang beasiswanya belum keluar dan gajinya juga masih lama, harus pintar-pintar ngirit. Beda dengan Zia, meski Zia juga tergolong kurang mampu tapi setidaknya masih ada kedua orang tua yang dua-duanya masih bekerja berbanding terbalik dengannya.
Kara memang masih memiliki seorang Ayah di kampung halamannya, tapi Ayahnya itu selalu menentang keinginan Kara yang ingin berkuliah ke kota besar, alasannya Ayahnya cuma takut kalau putri sulungnya tersebut malah terpengaruh hidup dan pergaulan bebas, malah saat itu Ayahnya ingin segera menikahkan Kara dengan seseorang yang dia pilih. Tentu saja Kara menolak mati-matian bahkan mengancam Ayahnya kalau dia akan kabur kalau terus dipaksa menikah, Ayahnya terpaksa menyetujui kemauan Kara untuk kuliah di kota dengan catatan Kara akan membayar sendiri uang bulanannya tanpa bantuan ayahnya tersebut.
Tentu saja itu adalah taktik ayahnya, Ayahnya yakin anaknya itu tidak akan bisa tahan dengan kerasnya hidup di kota dan pasti akan secepatnya menyerah dan kembali pulang, tapi nyatanya Kara itu sama dengan alm. Ibunya yang keras kepala dan berkemauan kuat.
Walau Ayahnya cuma berkebun sayur dan buah tapi hasil panennya cukuplah untuk keluarga mereka.
"Oke." sahut Zia, teman berkacamatanya yang lumayan manis kalau seandainya dia mau memperhatikan dandanannya itu. Dan untungnya tidak pernah ada yang mencoba membully Zia, karena tau sendirilah, Zia itu galaknya melebihi emak-emak yang lagi PMS.
Namun saat mereka berada di parkiran tiba-tiba tangan Kara ditarik oleh tangan seorang lelaki yang rasa-rasanya familiar untuk Kara.
"Kamu ikut mobilku hari ini!"
"Hah...?" Kara sedikit kaget dengan kehadiran lelaki itu lagi. "Kenapa aku harus ikut denganmu, lepasin nggak?" Kara berusaha melepaskan tangannya yang kini ada di genggaman tangan Zaden.
Tapi semakin dia berusaha lepas semakin tangannya terasa sakit, mungkin sebentar lagi tangannya akan terlihat memerah dan ini seperti dejavu. Zaden pernah menggenggam tangannya keras juga waktu itu dan menimbulkan kiss mark, oh iya... itu sebutan dari Meira.
"Zaden lepasin nggak!" ulangnya sekali lagi, berontak.
"Oh, kurasa aku suka mendengarmu memanggil namaku." puji Zaden tersenyum menggoda, mungkin ini pertama kali dia mendengar gadis itu mengucapkan namanya.
"Itu temanku, mau kamu apain?" tanya Zia, sedikit kesal tapi mengingat yang di depannya adalah seorang Zaden, Zia jadi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sayang, kau lupa memberi tau temanmu itu kalau kita sudah jadian hari ini?"
"Hah...?" Kara sedikit kaget, dia tidak sungguh-sungguh soal itu.
"Itu benaran Kara?" tanya Zia sedikit penasaran.
"Enggak." gelengnya cepat.
"Oh nama kamu Kara? Pantes Meira selalu memanggil kamu santan." sekarang Zaden mengerti asal muasal panggilan santan yang diciptakan oleh Meira.
"Ya sudah deh, kalian urusi masalah kalian dulu." Zia seperti mengerti situasi, mungkin mereka berdua memerlukan waktu bersama, pikir Zia. "Kara, besok jangan lupa cerita sama aku." bisiknya kemudian." dan berlalu meninggalkan Kara dan Zaden.
"Hei... Zia!" panggilnya, namun sayang tangan Kara masih dipegang oleh makhluk jahat di depannya namun tidak bisa dipungkiri dia juga makhluk paling menawan, dan justru itulah Kara sangat takut. Takut kalau dirinya akan tergoda dan malah menjadi seorang bucin seperti Meira pada Alando, Kara hanya takut tidak bisa menjaga dirinya dengan baik karena buta akan cinta nantinya.
"Sudah, ikut aku! Kamu tidak mau kan kamu dan temanmu itu terusir dari kampus." ancam Zaden dengan tatapan tajamnya.
Setelah dirasanya Kara mulai tenang dan tidak berontak lagi barulah Zaden menarik gadis itu masuk ke mobilnya dan segera menutup pintu mobilnya.
"Apa sih maumu?" tanya Kara setelah mereka ada dalam mobil. "Jangan coba macam-macam padaku ya!" panik Kara dan menutupi dadanya dengan tas yang dia bawa.
Zaden dengan santainya tetap menjalankan mobilnya keluar parkiran cafe, "Memangnya kenapa, bukannya kita sudah pacaran?" Zaden cuma menakut-nakuti Kara, dia juga tau batas antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah meski pemahaman agamanya terbilang masih cetek.
"Pacaran bukan berarti kamu boleh macam-macam padaku ya?" ingatkan Kara, seolah-olah dia mengakui kalau hubungan mereka berdua memang sepasang kekasih.
"Oke, kalau begitu satu macam saja." sahutnya cepat. Tanpa menoleh ke arah Kara dan terus menyetir mobilnya dan fokus pada jalan.
"Hah...?" antara kaget dan bingung, dia tidak menyangka semuanya akan jadi seperti ini.
Kara memang ingin memiliki seorang kekasih tapi bukan Zaden yang terlalu sempurna atau malah Zaden adalah iblis yang akan menggodanya dan membawanya pada kegelapan.
'Hah, apa karena candaannya yang kemaren ketika membahas CEO-CEO seperti dalam novel. Oh Tuhan itu kan cuma sekedar candaannya doang' batin Kara ingin menangis.
"Kamu sendiri yang bilang kalau kita pacaran, jadi ya sudah terima saja resikonya." Zaden memberikan senyum mengejek pada Kara, tapi jujur dia mulai menikmati hari-harinya menggoda Kara.
Setiap melihat Kara ada saja ucapan-ucapan mengejek yang ingin dia lontarkan dan pemandangan ekspresi wajah Kara lah yang selalu dia tunggu.
Meski awalnya Zaden melihat Kara seperti gadis pansos karena melihat pertemanan serta perlakuan Olivia dan Rena yang tidak selayaknya disebut teman atau ketika melihat Kara diantar dengan mobil mewah oleh pria dewasa yang sudah berumur itu justru membuat Zaden ingin lebih mengetahui kehidupan Kara. Mungkin lain kali dia bisa bertanya langsung pada gadis ini tapi tentu ini bukan waktu yang tepat.
"Apa tidak bisa aku membatalkan kata-kataku tadi?" kini Kara mencoba bernegosiasi, dia terus menatap Zaden yang masih serius menyetir mobilnya, dan itu adalah kesalahan.
Kara bahkan rasanya sulit memalingkan pandangannya saat ini, lelaki itu benar-benar iblis penggoda dalam hidup Kara. Zaden terlalu tampan dengan setelan jas yang masih dia pakai, dengan rambut yang sedikit berantakan, jangan lupakan juga wangi dari tubuh Zaden yang membuatnya berhalusinasi saat ini.
"Tidak akan ada pembatalan dari kata-katamu itu tanpa seizinku!" tegas Zaden yang kemudian menoleh pada Kara yang diam mematung menatapnya seolah jiwanya entah hilang ke mana. "Hei Santan...!" teriak Zaden, karena Kara seperti orang tanpa nyawa.
"Oh Tuhan." Kara sepertinya benar-benar kehilangan akal, kalau tidak ada gertakan dari Zaden mungkin saat ini dia masih berhalusinasi liar. "Bodoh-bodoh." gerutu Kara sambil membenturkan kepalanya pelan pada kaca jendela mobil tersebut.
"Kalau kau mau bunuh diri jangan di mobilku, tunggu sampai aku mengantarmu ke rumah." sindir Zaden. Zaden tidak marah melihat tingkah Kara, dia justru menikmati tontonan itu.
"Ke rumah? Rumah siapa?" kagetnya, Kara pikir Zaden cuma akan mengajaknya ke suatu tempat agar mereka bisa bicara dan membahas tentang kejadian hari ini.
"Memang kau mau ke rumahku?" sahut Zaden, masih fokus pada jalan sambil sesekali mencuri pandang pada gadis cantik di sampingnya. Gayanya sih sederhana, cuma memakai celana jeans serta hoodie berwarna hitam rambut diikat asal-asalan namun tetap saja dia terlihat cantik di mata Zaden meski begitu Zaden tidak akan mengakuinya terang-terangan semudah itu.
"Jangan." sahut Kara setengah teriak. Gawat, kalau Zaden sampai mengetahui tempat tinggalnya. Bukannya dia malu, hanya saja Kara tidak mau si boss besar itu sampai menggangu kehidupan pribadinya. Di dalam kampus atau di tempat kerjanya, itu sudah cukup meropotkan buat Kara.
"Ya sudah tunjukan jalan rumahmu!" perintah Zaden.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Tunjukkan atau kau memang ingin menginap di rumahku, kita bisa tinggal dalam satu kamar." goda Zaden sedikit melirik ke arah Kara.
"Lurus saja, terus ada perempatan belok kiri." potong Kara cepat, dia tidak mau mengambil resiko untuk kedua kalinya. Sepertinya Zaden adalah seseorang yang memang akan selalu melakukan ancamannya.
"Nah, begitu dong sayang! Menurut kan lebih baik." sindir Zaden sekaligus menggoda Kara yang dari tadi cuma menekuk wajahnya sedemikian rupa.
Kara cuma memalingkan wajahnya ke arah samping jalan dari pada harus menatap ke arah Zaden apalagi sampai menanggapi omongannya, karena itu percuma. Zaden justru akan tambah menggodanya dan berharap saja Zaden tidak menyadari wajahnya yang kini memerah entah karena malu atau marah.
"Stop di depan yang ada pohonnya." pinta Kara, menunjuk rumah kontrakan kecil berwarna putih serta pohon yang ada di halamannya tersebut.
Mobil itu akhirnya berhenti di depan rumah yang kelihatan seperti rumah kontrakan, karena memiliki banyak pintu yang cuma disekat kecil.
"Kau tinggal di sini?" Zaden merasa tempat itu jauh dari kata nyaman dan aman, untuk ukuran dirinya bahkan itu bukan tempat tinggal yang layak.
"Iya, aku tinggal di kontrakan ini." sahut Kara santai, berharap setelah melihat keadaannya seperti ini Zaden mulai menjauhinya. "Terima kasih tumpangannya, aku..."
"Cupp..." Zaden memberikan ciuman singkat di bibir Kara. "Jangan pernah mencoba untuk menghindar dariku." tekannya.
Kara tidak tau harus melakukan apa, yang pasti dia malu dan tanpa permisi langsung keluar dari mobil tersebut dan bergegas masuk kontrakannya tanpa mau repot-repot memandang Zaden si iblis tampan penggoda itu dan segera mengunci pintu rumahnya.
"Oh Tuhan, maafkan aku." Kara cuma bisa terduduk di depan pintu dengan jantung yang berdetak cepat, wajah yang memanas dan tentu saja dia menyembunyikan wajahnya di telapak tangannya yang kecil, dia malu! sangat malu."
Tidak lama setelah itu terdengarlah suara mesin mobil yang perlahan semakin menjauh, yang artinya Zaden sudah pergi dari depan rumah kontrakannya.
"Haah..." Kara menghembuskan napasnya beberapa kali.
***
Vote, like dan koment ya. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Atikah'na Anggit
wweeehh zaden langsung nyosor aja ya 😂😂😂
2021-06-12
1
♏pi Mυɳҽҽყ☪️☀️
si zaden maen nyosorrr ae😙😚😙
2021-04-16
0
maura shi
jd inget masa muda ama suami,g ada kata nembak qt jalan aja merasa nyaman saat jalan bersama tp g kyk kara kyk kucing ma tikus ana zaden,bedanya
2020-12-20
1