Tubuh semampai Lucy dibalut dengan gaun hitam tanpa lengan. Kulit seputih susunya tampak bersinar, membuat siapa pun yang berpapasan dengan Lucy akan berdecak kagum.
Selain dikaruniai wajah yang cantik, proporsi yang sering diidam-idamkan banyak kaum hawa, profesi Lucy juga cukup mentereng dengan menjadi seorang fashion desainer populer. Serangkaian karya yang dilahirkan Lucy, banyak dikenakan oleh artis ternama. Mulai dari artis di negara sendiri, hingga sampai ke luar negeri.
Pasangan itu tampaknya sangat bahagia sekali. Sepanjang mereka makan malam romantis, Lucy dan Kevin banyak bicara dan tertawa.
"Ada hal yang ingin aku sampaikan sama kamu, Vin." Lucy menarik tangannya dari genggaman tangan Kevin.
"Aku juga," sahut Kevin masih mengembangkan senyum.
Sebelum Lucy mengungkapkan berita bahagianya kepada Kevin, pria itu tahu-tahu beranjak dari tempat duduknya. Ia merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru warna merah.
Lucy termenung. Ia membatu di tempatnya duduk. Tiba-tiba beberapa orang masuk membawa biola, memainkan musik romantis sebagai pengiring di saat Kevin berlutut di hadapannya.
Secara otomatis Lucy mendorong kursinya ke belakang lalu ikut beranjak. Lucy akui ia terkejut. Tapi daripada senang Kevin menyodorkan sebuah cincin berlian di hadapannya, Lucy lebih terkejut karena Kevin melamar dirinya di saat yang tidak tepat.
"Aku tidak mau buang-buang waktu lagi. Malam ini, aku ingin melamar dirimu. Lucy, maukah kamu menjadi istriku?" Kevin mengangkat cincin di hadapan Lucy. Matanya penuh binar. Sorot matanya menjelaskan kalau ia sangat berharap Lucy akan menjadi pelabuhan terakhirnya.
Namun, terkadang Kevin lupa jika realita sering tidak sejalan dengan ekspetasi. Berharap ia mendengar Lucy berkata, "Ya, aku mau." Kevin justru mendengar jawaban yang sebaliknya.
"Maaf, Vin. Aku belum siap untuk menikah." Air muka Kevin berubah. Musik mendadak diberhentikan. "Aku mendapatkan kesempatan memamerkan karyaku di gelaran bergensi Paris fashion week. Untuk sementara waktu aku akan menetap di sana."
Walau berat, Lucy tetap menyampaikannya. Kevin menggeleng, ia menelan ludah kecewa. "Kamu lebih memilih pergi ke sana, daripada berada di sini denganku, Lucy?" desis Kevin. "Tidak. Aku tidak akan mengizinkan kamu pergi."
"Sekali lagi maaf, Vin." Lucy menambahkan, "Jika kamu tidak memberiku izin, atau tidak bisa mendukungku. Maka aku putuskan untuk berpisah darimu ..."
Suasana romantis, serta hangat di ruangan itu mendadak berubah sunyi, canggung, ditambah lagi jawaban Lucy yang benar-benar membuat suasana hati Kevin berubah buruk.
Tanpa perasaan, tanpa memikirkan posisi Kevin, dengan seenaknya Lucy meninggalkan restoran tempat mereka makan malam romantis.
***
Rama berpikir suasana di kantor akan menjadi lebih ceria setelah atasannya mengatakan akan melamar sang kekasih.
Bukankah di saat seseorang tengah berbahagia, orang itu akan menularkan kebahagiaannya kepada orang-orang terdekatnya? Begitu pun dengan Kevin. Rama sudah membayangkan bahwa pekerjaannya hari ini jauh lebih ringan. Namun, Rama dihancurkan oleh ekspetasinya sendiri.
Suasana kantor suram. Mengerikan. Bahkan Kevin sudah berada di ruangannya—sebelum Rama tiba. Bisa dibayangkan apa yang terjadi selanjutnya? Rama terkena amukan Kevin. Padahal Rama berangkat seperti biasanya. Tidak lebih, tidak juga kurang.
"Ganti! Saya tidak mau minum kopi ini." Dengan kasar Kevin mendorong cangkir kopi di hadapannya. "Ini bukan kopi. Tapi ini air gula! Kamu ingin membuat saya terkena diabetes di usia muda?!" tuduh Kevin.
Ini sudah tiga kali OB mengirim kopi ke ruangan Kevin, dan berakhir dimarahi. Entah karena kopinya terlalu banyak gula, kurang panas, terlalu panas. Ada saja kesalahan OB di mata Kevin.
"Pak Kevin kenapa, sih? Apa lamarannya tidak berhasil?" gumam Rama setengah menebak. "Kalau berhasil kan, Pak Kevin tidak perlu marah-marah. Aku pikir dia bakalan bagi-bagi uang. Tidak tahunya malah membuat suasana kantor mengerikan," komentar Rama mengangkat kedua bahunya.
Di hari kedua setelah acara lamaran pun, Kevin masih saja datang ke kantor dengan hati yang suram. Namun kali ini agak berbeda. Kevin cenderung lebih pendiam, daripada menjadi tukang marah-marah seperti kemarin.
"Panggil Rama kemari," perintah Kevin lewat telepon.
"Baik, Pak."
Tidak menunggu lama, Kevin mendengar suara pintunya diketuk dari luar. "Masuk!" Pintu pun dibuka, sosok Rama muncul di balik pintu.
"Bapak panggil saya?" Rama menunjuk dirinya.
"Ya." Kevin mengangguk.
"Ada apa, Pak?" Rama berdiri canggung. Tapi ia juga penasaran kenapa Kevin memintanya datang.
"Saya ingin meminta pendapat kamu." Rama harap-harap cemas. "Kamu ... punya pacar, tidak?"
"Ya?" Rama membeo. "Punya ... Pak, kenapa ya?" Ini adalah kali pertama Kevin menanyakan sesuatu di luar pekerjaan. Apa lagi soal pacar. Rama hampir tidak percaya atasannya yang dingin menanyakan hal begini.
"Kalau tiba-tiba pacar kamu mendapatkan kesempatan mengembangkan karir sampai harus tinggal di luar negeri, kamu akan memberi reaksi apa?" tanya Kevin serius. "Kamu akan tetap menunggu, atau setuju untuk menyudahi hubungan kalian?"
Kevin menatap Rama di hadapannya dengan seksama. Sementara Rama yang mendapat pertanyaan seperti itu malah bingung sendiri.
"Kenapa harus putus kalau masih sayang?" Kevin mengerjapkan matanya. "Menurut saya, selama itu bisa membuat pasangan saya senang, saya akan tetap dukung. Kalau pun sementara harus pisah, bukan berarti kita tidak bisa ketemu lagi, kan? Selama ada waktu luang, saya bisa pergi menjenguk pacar saya di luar negeri. Karena saya yakin, pacar saya menaruh harapan besar kepada saya. Dia ingin saya sebagai orang terdekatnya mendukung untuk meraih cita-citanya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments