"Mira enggak buat apa apa bang, tadi tuh Mira petik daun pepaya sebentar di belakang. Dan Ciya udah kebangun nangis, setelah itu Mira beri susu dia tidur. Abang ga percaya sama istri sendiri?" teriak Mira, yang kala itu menatap kesal pada suaminya.
"Abang percaya dik! Maaf, cuma kalau ada sesuatu bilang sama abang ya! maafin abang." kecup manis Jari.
"Abang dapat duit berapa?"
Deg.
Arka bahkan sudah mencoba lembut, ia masih bersabar sikap Mira yang kian tambah hari berbeda, ingin sekali membawa Mira konsultasi ke dokter. Entah pikiran Arka adalah, apakah menemui ibunya, meminjam sedikit uang untuk membawa Mira checkup.
"Abang cuma punya sedikit rejeki, Sejuta dua puluh lima ribu dik, tapi tadi membawa ke klinik sebesar 350rb. Sisanya hanya ini, maafin abang ya dik! Besok abang akan berusaha lagi." senyumnya.
"Kalau perlu lebih pagi bang, kali aja kan pagi pagi ada yang minta kerjaan numpuk." cetusnya, kala itu Mira menggendong Ciya dan menggantikan pampers.
"Hah, uang segini beli beras, telur dan pampers habis. Bahkan aku ga punya sepeserpun emas loh bang, cincin nikah aja masih digadai buat usaha cucian motor abang kan."
"Sabar ya dik! Insyallah semua ini ujian."
Mira sendiri hanya memutar mata kesal, entah kenapa kehidupannya berubah terbalik. Hal ini membuat Mira semakin kesal menatap bayi Ciya, apakah karena kehadiran bayi ini membuat kehidupannya berubah drastis. Seharusnya bayi ini tidak hadir, jika kehidupan berubah total. Bahkan bang Arka, tidak punya pekerjaan dan proyek seperti dulu.
Eaaaak ... Tangisan Ciya, sudah kembali bersuara.
Arka yang sudah selesai shalat isya, ia melipat sajadah dan memohon ampunan berkali kali, apa kesalahannya sehingga membuat dirinya tidak bisa memenuhi kebutuhan tercukupi untuk istri dan anaknya yang baru berusia delapan bulan.
"Alhamdulillah nak, allah menjawab doa bunda dan abie, kamu sembuh. Ayo nak! Peluk sama abie."
Mira melihat bang Arka sedang menggendong Ciya, hal itu membuat Mira masih masam melipat pakaian baju bayi, pakaian yang terlihat usang. Bahkan mesin cuci pun tidak ada, bahkan jika hujan lembab dan dinginnya cucian, membuat Mira benar benar lelah.
'Ibu, harusnya Mira aja yang pergi, bukan ibu. Mira benar benar enggak kuat hadapin ini semua.' batin Mira kala itu, masih menatap Arka yang masih menimang Ciya mengajak bermain hingga lelah, memberikan susu.
Mira yang selesai melipat baju, melihat Arka sudah menaruh bayi Ciya di kasur bayi, memasang pelindung agar Ciya tidak mudah jatuh.
"Dik, Ciya sudah tidur..." kode Arka, yang saat itu duduk di belakang Mira.
"Mira mandi dulu ya bang! Sehabis ini kita makan, Mira benar benar capek, kayaknya harus mandi dulu biar seger."
Mira melepas pegangan Arka yang sudah berada di gundukannya. Bukan tanpa alasan, rasa sakit Mira sehabis melahirkan dan air yang mengucur ngalir di sebuah PD, membuatnya amat terasa menyakitkan. Apalagi jika ia kembali hamil, Mira merasa ketakutan yang membuat dirinya tidak bisa berbuat apa apa.
'Adanya bayi membuat Mira terbelenggu, benar benar tidak bisa bergerak kemanapun.' batin Mira, yang saat itu berendam sesaat mengguyur tubuhnya yang lengket.
Arka sendiri kembali membantu menyiapkan makanan, bahkan membeli tempe orek dan semur ayam ia hangatkan. Kali ini ia melihat Mira yang memasak daun hijau ia buntal, maka Arka berinisiatif membantu Mira menyiapkan di dapur.
"Abang tahu sayur ini bagus untuk busui dik."
"Iya bang, rasanya enak kok. Abang pasti suka." balasnya, dan Mira menitipkan karena akan ke kamar mandi sebentar.
Bahkan saat ini Mira sudah keluar dari kamar, ia yang sudah wangi sabun membuat Arka senyum padanya.
"Ayo dik kita makan!"
"Wah makasih ya bang, udah bantu siapin semuanya."
Mereka pun makan bersama, hingga beberapa saat Arka turut membantu mencuci piring, lama mereka duduk setelah makan bersantai, menonton televisi. Arka mendekat ke sofa, menatap Mira yang kala itu, Mira sendiri bersandar pada suaminya.
"Dik, apa kita .. bisa .. ?"
"Abang lagi pengen ya .., abang udah shalat isya?"
"Udah .."
Arka pun merapatkan dalam, hingga akan membuat penyatuan pemanasan, dimana Mira sendiri ketakutan!
"Tunggu bang .. maaf! Mira rasa, jangan sekarang!"
Mira yang masih ketakutan, meminum air segelas dengan kepanikan. Hal itu membuat Arka membuatkan susu untuk Mira, ditambah seruas jahe.
"Minum dulu dik!"
"Iy bang, makasih. Maafin Mira tadi .."
"Gak apa abang mengerti dik."
Setelah di rasa cukup membaik, tiba saja Ciya terbangun dan menangis. Hal itu membuat Mira menoleh, dan meminta Arka menunggunya.
"Bang, Mira temenin Ciya dulu ya." di anggukan Arka, yang saat itu membuat secangkir teh jahe, dan menonton televisi.
Beberapa jam kemudian, Mira sendiri sempat tertidur, hingga dimana ia melihat suaminya. Dan Arka sudah terlihat tertidur di sofa, dengan selimut dan televisi masih menyala. Mira tak enak untuk membangunkan, lagi pula hasrat tadi sudah berubah dan berbeda, mengingat Mira tak membangunkan Arka karena masih ketakutan melayani suaminya.
"Maafkan Mira ya bang!" menyelimuti rapat Arka.
Mira merasa terpana akan sebuah ponsel, dimana notif email yang membuat Mira penasaran. Hingga perlahan Mira memberanikan diri, membukanya.
Mira merasa ingin marah, meletakkan kembali ponsel seperti semula, melihat Arka masih sangat mencintai istri pertamanya.
'Kenapa abang tega sama Mira.' batinnya memendam emosi.
Mira beranjak, dimana kakinya terbentur meja, hingga Arka terbangun, yang melihat Mira langsung meraihnya.
"Dik, maaf abang tertidur."
"Gpp bang, abang tidur aja dengan tenang. Mira ingin tidur sendiri dengan Ciya di kamar. Mira butuh waktu bang!"
Deg.
Arka terdiam, dimana Mira kembali berkata sedikit kasar, ia mencoba hampiri Mira, tapi alasannya adalah tidak jelas, Mira tiba saja menutup pintu kamar dengan kencang dan menguncinya.
Duar.
Eaaak .. Eaaak. Membuat Ciya ang tidur terbangun.
"Dik, buka pintunya dik! Kasih tahu abang jika abang salah, abang minta maaf!"
Mira memeluk Ciya entah kenapa ke ibuannya ketika bersedih pada Arka yang tega, membuat Mira merasa tidak adil baginya.
Tapi kali ini Ciya seolah tahu, jika bundanya sedang tidak enak hati. Sehingga dalam dekapan Mira, bayi mungil itu ikut terdiam dan tenang ketika Mira menangis, masih memegang botol susu hasil perah.
Arka sendiri kali ini terdiam, ia mencoba melihat apakah dirinya salah. Terlihat history percakapan pengacara Aril yang kala itu dirinya menjawab tidak akan menceraikan Diyan, terbuka dan mungkin Mira membuka pesannya.
"Ya allah dik, bukankah kita sepakat untuk tidak membahas ini. Bagaimanapun Diyan itu masih istri abang, dalam keadaan apapun abang tidak akan meninggalkan dia dik. Dik buka pintunya, kita bicara!" ketuk Arka, mencoba membuat Mira tenang, karena masih terdengar jika Mira menangis di dalam sana.
'Abang tidak adil, bahkan mbak Diyan ingin bercerai karena aku juga tidak sanggup di madu, bahkan aku juga ingin mbak Diyan bisa bahagia dengan jalannya sendiri, kenapa abang lakukan seperti ini pada Mira.' batin, ingin sekali menjawab tapi mulutnya tertutup bergetar.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments