"Lin!! Kamu sudah lihat kelas sebelah belum sih?!"
Amaline yang sedang memegang keranjang sampah itu pun terkejut mendengar Diana berteriak. Siapa yang tidak terkejut, padahal masih istirahat pertama setalah upacara hari Senin. Hari menyebalkan dengan nasib buruk Amaline harus piket bersama satu manusia tidak tahu diri ini.
"Kamu balikin pel kekelas sebelah Aku harus lihat gitu? Yaelah Din, Kamu kocak banget sumpah" ucap Amaline dengan raut mengejek Senari mengembalikan keranjang sampah tepat di pojok kelas.
Satu rahasia umum yang belum diketahui Amaline hari ini. Padahal dari semua jurusan IPA, IPS, dan Bahasa semua sudah mendengar kabar besar dan dibuat heboh dengan hal ini.
Apalagi jika bukan seorang manusia yang biasa mereka sebut dengan cogan?
"Ayo!!" Diana menarik lengan Amaline dan menyeretnya keluar.
Amaline yang tidak tahu akan hal apapun hari hanya bisa diam dan mengikutinya keluar.
Lin sudah biasa dengan Diana. Mereka selalu keluar dan tertawa bersama hingga seluruh angkatan dapat mendengar hebohnya suara mereka disepanjang jalan.
Apa yang memisahkan mereka? Bahkan mereka beruntung mendapatkan kelas peminatan yang sama saat kenaikan kelas dua. Mungkin hanya nilai dan rumah saja yang dapat memisahkan mereka.
Tapi entah mengapa hari ini, hari yang dapat membuat semua orang ikut penasaran hanya dengan melihat gestur orang lain. Menyatukan semua orang dengan trending topik utama. Tidak menggoyahkan perasaan Amaline sedikitpun.
Bahkan ketika sahabat nya sendiri pun yang menunjukkannya, Amaline terlihat tidak tertarik sedikitpun untuknya.
"Mengapa biasanya hal yang selalu kita bagi. Kali ini Aku tidak tertarik sama sekali?" itulah yang dirasakan Amaline sekarang.
Kelas MIPA 2 menuju MIPA 1 hanyalah sebatas tembok pemisah saja. Namun, ini terasa menyusuri ruang dan waktu menuju masa lalu yang sangat jauh dan tidak ingin Dia lewati. Perasaan lelah dan bosan menyelimuti pikiran Amaline dengan sendirinya.
"Lihatlah!" ucap Diana menunjuk seorang siswa baru yang duduk di bangku paling depan kelas itu.
Kulitnya putih dan bersih. Porsi tulang dan ototnya juga terlihat seimbang dan pas. Matanya bening dan bibirnya tipis manis. Sangat tinggi, mungkin saat berdiri itu bisa sampai 176 cm atau mungkin lebih.
Dan jika dilihat lagi, sepertinya Dia putra keluarga berada dengan kualitas didik yang bagus.
Harus diakui, sekolah pelosok yang rata-rata isinya penuh dengan anak-anak badung. Yang jika dilihat dari dalam seperti macan yang baru saja keluar dari kandangnya.
Jika ditanya, tentu sangat kekurangan pria tampan beradab seperti ini. Jika ada, itu adalah mereka yang hanya bisa membual dengan kata-kata basi yang keluar dari mulut busuknya.
Biasanya disebut buaya kan? Amaline sendiri sudah muak dengan dialog mereka sehari-hari yang tidak pernah mengalami perkembangan.
Senyum dan cara bicaranya, seolah tahu bahwa orang-orang disekitarnya sangat tertarik dan kagum akan apa yang ada pada dirinya.
Namun, hal lain membuat pikiran Amaline terlihat penuh. Dia terdiam dan menunduk tidak berani menatapnya dengan sangat lama. Tidak! Sedetik pun Amaline tidak berani. Bukan tidak berani, ataukah Amaline malu menghadapi dirinya sendiri? Seperti nya Amaline kesal dan lelah dengan dirinya sendiri saat ini.
"Lin! Kamu kenapa? Kamu kenal?" Dinda khawatir melihat reaksi Amaline. Sekarang gadis polos itu khawatir jika karenanya sekarang Amaline menjadi sedih. Walaupun tidak tahu dan tidak membicarakannya. Bukankah teman akan seperti ini?
"Nggak Din, Aku kayaknya cuma capek deh hari ini" jawab Amaline menenangkan temannya yang terlihat merasa bersalah itu.
"Beneran?" Tanya Dinda kembali.
"Kamu kebagian tugas piket terlalu banyak ya? Maaf banget gara-gara Aku heboh sendiri" lanjut Dinda yang begitu telat menyadari kesalahannya selama ini.
"Nggak Din, beneran lagi males aja" jawab Amaline tersenyum lebar seperti biasanya. Benar-benar lonjakan energi dan ekspresi yang dapat mengubah emosi orang-orang yang melihatnya. Dan lalu seketika percaya dengan apapun bahwa masalah ataupun hal-hal lain itu tidaklah penting.
"SMA itu kan bagus, kenapa Kamu pindah?" ucap satu orang dalam gerombolan kecil yang berisi empat orang itu keluar.
"Aku hanya mengikuti perintah ayah dan keluarga ku" ucap pria yang saat ini menjadi sorotan satu sekolah menuju keluar.
"Ah Dia!!" Dinda berbalik dan mengikuti langkah mereka untuk mendapatkan wajah itu.
Amaline yang melihat sedari tiba-tiba saja terus menatapnya dengan tatapan kosong setelah melihat sikapnya.
Mereka berdua sangat paham akan kehadiran satu sama lain. Tidak ada yang tahu bahwa adalah orang yang tidak asing yang sama-sama mengasingkan.
Dia menatap Amaline sekolah lalu membuangnya dan acuh begitu saja. Dengan senyum tipis disudut bibirnya seolah sedang menunjukkan harganya didepan Amaline.
Amaline tentu sadar akan hal itu. Terus saja melihat dan menilai nya dengan jelas.
"Apa tatapan sombong itu? Aku bahkan tidak tertarik padamu!" umpat Amaline dalam hati.
"Hei! Kamu bilang rumahmu dekat SMP harapan bangsa?" jawab laki-laki disebelahnya.
"Amaline! Bukankah Kamu dari daerah sana juga? Kamu bahkan alumni sekolah itu. Hei! Kenapa kalian tidak saling menyapa" lanjut pria itu membuat Amaline geram ingin menyutup mulut itu rapat-rapat.
Padahal suasana asing tadi sudah sangat damai dan sesuai yang diharapkan Amaline. Tapi, orang ini merusak suasana dan mengacaukannya begitu saja.
"Lin, Kamu kok nggak bilang dari tadi sih? " Dinda terheran-heran bagaimana temannya yang seperti Amaline ini bisa mendapatkan kenalan pria sesempurna yang dihadapannya saat ini.
"Mungkin, siapa namamu? sudah lama sepertinya Aku benar-benar melupakanmu" entah mengapa Amaline melihatnya seperti sedang bersandiwara untuk menjatuhkan harga dirinya.
"Amel? Iya bukan?" Lanjutnya tanpa menunjukkan rasa menyesal sedikit pun atas Kenyataan bahwa Dia telah melupakan nama dari orang yang dikenalnya ini.
"Eh! Panggilannya Amel? Haha terlalu lucu nggak sih? Panggilan Lin aja terlalu bagus tuh" tiba-tiba saja ketiga orang didepan mereka memekik dan tertawa kencang. Yang tidak diduga, Dia anak baru ini ikut tersenyum sedikit sambil melirik Amaline.
Dinda yang melihat reaksi keduanya merasa tidak enak dengan atmosfer sekitarnya.
"Ayo Lin Pak Gatot udah masuk kelas" ucap Dinda dengan menarik lengan Amaline mengajaknya pergi.
"Apakah si Gal! Dasar Galang galon!" jawab Amaline memukul punggung Galang karena kesal .
"Ih! Sakit tau Lin!" pria yang tinggi dengan tubuh sedikit besar itupun diam dari tawanya ketakutan melihat Amaline yang masih mengancam mereka dengan tatapan itu.
Sudah biasa bagi mereka, yah memanglah mereka satu ekstrakurikuler Yang sama jadi sangat kenal dan akrab. Namun hal berbeda terlihat dari wajah anak baru ini.
Senyumnya masih belum padam dan semakin menjadi. Seolah tidak suka dan jijik pada cara Amaline berinteraksi dengan teman-teman barunya itu.
Terus melirik dan menatap Amaline yang sudah mulai abai dan membalikkan badan dari wajahnya.
Entah apa perasaan yang saat ini berkobar dalam hati pria muda ini. Seperti perasaan tidak puas dan kurang.
"Apa Aku salah? Tidak bisakah Kamu bersikap biasa saja seperti sebelum semua ini terjadi?" Amaline tidak bisa berbohong kepada dirinya sendiri. Kenyataan bahwa Dia sedih atas dirinya sendiri. Kesalahannya dimasa lalu bahkan bisa membuat orang yang dikenalnya berusah padanya.
"Bukankah Aku sangat menyedihkan menurutmu Ditya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments