Candice sengaja duduk di sebuah kursi di luar ruang kelas tempatnya melangsungkan ujian. Hari ini memang hari terakhir ujiannya, yang artinya saat ini semuanya sudah selesai dan tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun yang membuat Candice heran adalah ketika setiap hari, Hans hampir selalu menjadi pengawas di ruang kelasnya. Mungkin para siswi yang ada di kelas itu merasa senang karena bisa melihat Hans yang tampan, tetapi tidak dengan Candice yang semakin hari semakin merasa tertekan. Apalagi belakangan ini, Candice mengetahui bahwa selain di kelasnya, Hans kerap menjadi pengawas di kelas di mana Rusdy melaksanakan ujian.
Bagaimana bisa seorang guru baru yang bahkan belum mulai mengajar, malah sudah dijadikan seorang pengawas ujian yang hanya di dua kelas saja? Apakah ini masuk akal? Kendati Hans memang guru di sekolah tersebut, yang mana sekolah itu tidak menggunakan sistem tukar guru dengan sekolah lain, tetap saja terasa tidak wajar!
Candice harus tahu alasannya, daripada dirinya harus dibuai rasa penasaran secara terus-terusan. Alasannya masih tetap berada di depan kelas ketika semua siswa dan siswi sudah pulang untuk menyambut libur panjang adalah untuk menghardik Hans yang menyebalkan. Sementara guru baru yang tampan itu masih saja berada di dalam kelas.
"Hei, Candice!" Seseorang menyerukan nama Candice. Adalah Rusdy yang sudah berjalan cepat menuju sang gadis bar-bar alias rekan tawurannya.
"Kamu benar-benar akan melabraknya?" lanjut Rusdy dalam bertanya setelah sampai di samping Candice.
Candice menghela napas, kemudian mengangguk mantap. "Ya, aku harus tahu alasannya," jawabnya.
"Tentu saja dia sedang mengincar kita. Memangnya apa lagi?"
"Aku ingin dengar dari mulutnya sendiri, Rusdy!"
"Kamu hanya ingin melampiaskan kekesalanmu, aku rasa begitu."
Candice melirik Rusdy dengan tajam, lalu menghela napas. "Akhir ujian. Anhar bilang anak-anak itu masih menantang kita setelah ujian berakhir. Mau di mana? Jalan kampung sebelah? Atau sekitar sini. Anak-anak itu bakal menjebak kita. Mereka kalah pintar dalam strategi. Mereka mengirim tantangan untuk membuat kita terkecoh."
Rusdy menghela napas. "Kamu enggak usah ikut. Urus saja guru itu. Biar aku saja, sekalian geng motor. Sebelum terjebak, aku yakin mereka sudah merasa takut. Bulan lalu, tim basket mereka kalah dengan tim basket sekolah kita, di mana aku juga menjadi salah satu pemainnya. Mereka enggak terima, dan masih saja menantang padahal sudah kalah. Kalau polisi-polisi itu enggak datang, kita sudah pasti menang waktu, Ndice!"
"Aku suntuk, aku butuh pelampiasan. Berangkatlah lebih awal. Panggil Anhar dan kumpulkan anak-anak motor. Aku akan menyusul setelah selesai dengan guru sialan itu."
"Okeee! Aku berharap kamu datang lebih lama."
Candice menyeringai. "Jangan sok menjadi pahlawan bagiku, Rusdy. Tanpaku, mungkin kamu bakal kalah telak."
"Hahaha! Sialan! Memangnya aku selemah itu? Kita lihat saja, Candice. Aku akan menang untukmu."
Rusdy melakukan gerakan hormat, seolah ia sedang menghormati sang kapten tentara. Namun sikapnya malah dibalas dengan ekspresi judes dan perasaan geli oleh Candice.
Rusdy mengambil sikap untuk segera merealisasikan rencana pertarungan sesuai undangan dari sekolah lain yang masih saja tidak terima atas kekalahan tim basket. Bersama Anhar yang juga tergabung di dalam sebuah geng motor, Rusdy akan membunyikan genderang perang.
Di dalam ruang kelas, dekat dengan pintu, Hans tersenyum. Meski terkenal garang dan banyak ditakuti siswa-siswi lainnya, rupanya Candice dan Rusdy tetap anak polos dan kurang berhati-hati. Bisa-bisanya mereka memperbincangkan rencana tawuran ketika Hans bisa saja mendadak muncul. Yang akhirnya hal itu membuat Hans bisa langsung menghubungi salah satu temannya yang bekerja di kepolisian untuk mengawasi gerak-gerik para siswa dari SMA tempatnya bekerja. Meskipun para petugas keamanan itu masih harus mencari lokasi yang akan dijadikan sebagai arena pertarungan liar.
Setelah itu, Hans benar-benar keluar dari ruang kelas. Kemunculannya disambut tatapan mata yang tajam, ekspresi wajah cantik yang judes, sekaligus rasa benci yang terpatri jelas pada sosok Candice terhadap dirinya. Hanya berkisar beberapa detik saja, gadis blasteran itu langsung bangkit dari duduknya serta berjalan menghampiri Hans.
"Ada apa, Candice? Sengaja menunggu saya ya? Atau ingin memohon agar saya membantumu untuk naik kelas?" ucap Hans sarkastik.
"Cih! Enggak tuh!" sahut Candice. Kedua tangannya sudah terlipat ke depan. "Bapak sengaja ingin mengawasi saya ya? Kenapa? Bapak berniat mengincar saya?!"
"Lho, lho? Kok begitu ngomongnya? Kenapa saya harus mengincar kamu?"
"Dua ruang kelas. Saya dan Rusdy. Anak-anak nakal. Kenapa Bapak hanya mengawasi ruang kelas kami saja, jika Bapak enggak mengincar kami, hah?!"
Hans tersenyum. "Seharusnya kamu tahu hal yang sangat penting, Candice. Anak-anak nakal, kamu sendiri yang menyebut dirimu dan temanmu itu begitu. Itu artinya kalian juga tahu jika semua guru di sekolah ini paling ingin menghindari kalian. Sebagai guru baru dan masih muda, saya enggak bisa melakukan apa pun selain mengalah dan menuruti permintaan mereka yang enggak ingin menghadapi kalian berdua. Daripada mengincar kalian, lebih tepatnya Pak Guru ini harus menanggung sesuatu yang para guru lainnya hindari."
Candice terdiam. Jawaban Hans sungguh masuk akal. Setiap ada ujian, baik Candice maupun Rusdy memang kerap membuat ulah di dalam kelas. Ia dan rekan tawurannya itu kerap mengganggu siswa lain untuk mendapatkan contekan. Diperingati sekeras apa pun, dirinya tidak peduli sama sekali. Diminta untuk keluar kelas pun, tak mau juga. Selain pada Hans yang membuat Candice hampir keluar dari ruang kelas di ujian pertama.
Pertahanan diri Hans yang enggan untuk menyerah membuat Candice cukup kerepotan. Dan dalam waktu satu minggu selama ujian kenaikan kelas ini pun, pergerakan Candice untuk mendapatkan salinan jawaban menjadi gagal total. Hanya tiga hari ketika Hans tak menjadi pengawas saja, Candice baru bisa menganggu siswa lainnya.
"Kalau tahu jika para guru pun segan pada saya, seharusnya Pak Guru juga bersikap seperti itu, 'kan? Percaya enggak percaya, saya ini selalu dilindungi Pak Kepala Sekolah. Jadi, lebih baik Pak Guru juga hati-hati, jika enggak mau mendapatkan masalah dari saya!" tegas Candice.
Hans tersenyum. "Benarkah begitu? Apa kamu sangat berjasa untuk sekolah ini sampai Pak Kepala Sekolah sangat melindungi kamu? Hanya karena dianggap mampu menjadi model cantik untuk menggaet para calon siswa, sampai Pak Kepala Sekolah begitu besarnya memberikan perlindungan? Coba pikirkan, Candice, apa hal itu enggak terlalu mencurigakan?"
Mata Candice langsung mengerjap-ngerjap. "Te-tentu saja masuk akal. Memangnya berapa banyak sekolah yang memilih siswa seorang bule, hah?! Sudah deh, Pak, enggak perlu mencuci otak saya buat menaruh curiga pada siapa pun. Dan stop deh mengawasi saya. Meski jawaban Pak Guru barusan memang masuk akal, saya tetap yakin kalau Bapak memang mengincar siswi nakal ini! Dan saya enggak akan segan-segan membuat Pak Guru enggak nyaman di sekolah ini, kalau Pak Guru sampai membuat saya kesal lagi!"
"Dik, daripada sibuk mengancam Pak Gurumu ini, lebih baik ... kamu memikirkan nasib teman-temanmu yang sudah berangkat tawuran sekarang. Karena saya ... sudah memanggil polisi. Pintarnya kalian membicarakan soal tawuran di depan kelas ini."
Mata Candice langsung melebar. Ia menatap Hans dengan nanar. Lagi-lagi Hans bisa membalikkan keadaan. Guru baru itu sama sekali tidak terintimidasi dengan sikap Candice, seperti saat ia menghadapi guru lainnya. Mungkin bagi Hans, Candice hanya anak kecil yang mudah diatasi. Buktinya ya saat ini. Lagi-lagi, Candice dikalahkan.
"Aaah, shhhiiit!" umpat Candice kesal. "Lihat saja, Pak, saya akan membuat Pak Guru segera angkat kaki dari sekolah ini!"
Candice mengambil langkah cepat untuk menuju tempat tawuran. Dengan menggunakan sepeda motor maticnya, ia akan meninggalkan area sekolah itu. Sementara Hans yang masih berdiri di teras kelas, kini berangsur memasukkan tangan kirinya yang menganggur ke dalam saku celananya. Terlukis sebuah senyumannya di bibirnya yang manis, ketika matanya sibuk menatap Candice yang terus berlari.
"Dia lebih takut jika teman-temannya tertangkap, daripada takut pada sangsi guru?" gumam Hans lalu menghela napas cukup dalam. "Candice ... bagaimana aku harus membuatmu menjadi anak baik di tahun terakhirmu di sekolah ini? Dan apa yang membuatnya enggak bisa dikeluarkan dari sekolah ini?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments