Hidup Candice yang Semrawut

Baru saja pulang dari sekolah, Candice sudah mendapat tamparan keras dari Lusiana—ibu kandungnya—sampai pipinya menjadi memerah. Namun sebagai gadis kuat, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan rasa nyeri akibat dari tamparan itu. Tak ada satu pun kalimat aduh kesakitan. Reaksinya terhadap sikap ibunya justru tampak jelas di wajahnya yang kebule-bulean tersebut. Reaksi kesal dan juga malas.

"Sudah Ibu bilang, jangan ikut-ikutan tawuran lagi! Wali kelasmu lagi-lagi hubungin Ibu. Dan sekarang berita geger tawuran lagi muncul di televisi. Candice, jangan bikin Ibu malu lagi dong, Nak! Ibu kerja keras dari pagi sampai pagi lagi, biar kamu bisa tetep sekolah, kok ya malah tingkahmu makin seperti itu, sih?!" omel Lusiana saking kesalnya.

Candice mendecapkan lidah tanpa mau bersuara. Bahkan setelah itu ia langsung memaksa masuk ke dalam rumah lantai dua minimalis yang ia huni bersama ibunya tersebut. Semua ucapan ibunya masuk ke telinga kanan keluar telinga kiri. Bagi Candice, tak ada yang lebih penting daripada segera melesakkan diri ke dalam kamar dan merebahkan badan.

"Candice! Sekali lagi kamu melangkah dan enggak mau mendengarkan Ibu, jangan harap Ibu bakal kasih kamu uang jajan lagi, Nak!" ancam Lusiana yang sudah memutar tubuhnya untuk menatap anak perempuannya yang nakal itu.

Candice menggertakkan gigi kemudian berbalik badan lagi. Ia menatap ibunya dengan sangat nanar. "Ibu udah enggak punya uang buat aku? Apa Om Tua itu udah enggak kasih Ibu tips kencan lagi? Apa Ibu udah enggak sesuai seleranya lagi?" balasnya bertanya.

Lusiana menelan saliva, di saat sepasang matanya tengah mengerjap-ngerjap sekarang. Selalu seperti ini. Anaknya tak bisa menerima kenyataan tentang dirinya yang tengah menjalin hubungan dengan seorang pria tua. Yah, wajar saja. Karena pria tua itu memang sudah beristri. Dan kenyataan itulah yang membuat Lusiana tak bisa langsung berdalih. Ia cukup malu dan tahu diri. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menyudahi hubungan yang telah ia mulai sejak satu tahun yang lalu.

Tanpa pria tua itu, mungkin Lusiana tidak akan sanggup menyekolahkan Candice sampai ke jenjang SMA. Apalagi zaman sekarang, mencari pekerjaan bagi dirinya yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun sangatlah sulit. Terakhir ia bekerja di sebagai staff di sebuah perusahaan kecil, tetapi kemudian malah di-PHK karena pandemi. Beruntung, parasnya masih cantik sehingga tak sulit baginya menarik minat pria tua yang kaya-raya, yang ia temui di bar.

"Jangan bersikap kurang ajar pada Ibu, Candice. Ibu terpaksa ngelakuin hal itu buat kamu! Ibu sampai harus menghilangkan harga diri, ya semuanya demi kamu!" ucap Lusiana.

Candice menyeringai. "Kalau begitu, Ibu juga harus nerima kenyataan kalau anak yang Ibu besarin dengan uang dari Tua Bangka suami orang itu, sekarang jadi gadis pembangkang sekaligus nakal! Inilah hasil dari pekerjaan Ibu yang kotor!" tukasnya pedas. "Udahlah! Berisik tahu! Aku capek. Kalau emang udah enggak mau kasih uang jajan, ya udah! Aku bisa nyopet! Gampang, 'kan?! Sekalian aja Ibu keluarin aku dari sekolah, biar Ibu bisa nikmatin uang haram pemberian tua bangka itu sendirian!"

Candice mendesis, kemudian mengumpat pelan. Dengan sikap kurang ajarnya itu, ia mengabaikan ibunya yang memberikan reaksi begitu menyedihkan. Namun Candice tidak peduli. Ia sudah membenci apa pun di rumah ini, bahkan termasuk ibunya yang membuat keputusan bodoh dengan memacari pria berusia lima puluhan tahun yang masih memiliki istri sekaligus sudah memiliki tiga orang anak dewasa. Sayangnya, di waktu bersamaan, ia tidak bisa meninggalkan rumah itu karena di balik rasa bencinya, ia tetap menyayangi ibunya.

Entahlah. Candice merasa hidupnya sudah terlalu cacat untuk diperbaiki. Di masa kecilnya, ia sempat dibully karena tak punya ayah sekaligus karena memiliki paras yang berbeda dengan warga lokal. Rambutnya pirang, matanya biru kehijauan, dan kulitnya dianggap terlalu putih. Di masa itu, ia dianggap aneh. Meski sekarang kebanyakan orang menilainya sangat cantik, akibat trauma dari masa kecil, ia tetap tak mampu menerima dirinya sendiri dengan baik.

Selain itu, pria yang Candice ketahui bernama Ferguz Louse, selaku ayah kandungnya malah kabur setelah menikahi ibunya yang kala itu mengandung dirinya di usia masih cukup muda. Melelahkan. Candice merasa hidup segan mati tak mau.

Setelah Candice sudah naik ke lantai dua dan memasuki kamar, Lusiana yang masih berada di lantai pertama hanya mampu menghela napas. Wajahnya yang masih cantik itu tampak lebih pucat. Candice yang sulit diatur membuatnya kerap sesak napas. Tidak hanya sekali dua kali ia mendapatkan teguran dari wali kelas karena putrinya kerap terlibat tawuran atau berbagai masalah yang sangat merugikan. Masih beruntung, Candice tidak dikeluarkan, tetapi semakin lama mengapa Candice semakin urakan?

Lusiana kini duduk di salah satu kursi di sofa ruang tamu rumahnya. Ia menekan keningnya yang teramat pening. Lelah sekali. Dan malam ini ia harus datang ke pertemuannya dengan Tony Dharmendra, kekasih tuanya.

"Andaikan kamu enggak kabur, Fer! Aku pasti enggak akan berakhir kayak ini, Sialan! Ugh ...." Lusiana meratap, menyalahkan mantan suaminya yang entah ke mana. Bahkan sebelum Ferguz pergi pun, tak ada gugatan cerai sama sekali dari pria itu. Entah apa dan mengapa. Sampai pria yang berasal dari Inggris itu sampai meninggalkan Lusiana yang sedang hamil enam bulan.

Mungkinkah kala itu, Ferguz hanya memanfaatkan Lusiana untuk bisa membangun usaha di Indonesia? Lalu ketika gagal, Ferguz langsung memutuskan menghilang?

"Seenggaknya kasihani anakmu, Ferguz!"

Sementara itu, Candice terduduk muram di atas ranjangnya. Ia merasa hampa ketika sudah di rumah. Tak ada kehangatan, yang ada hanyalah berbagai kemarahan. Lebih baik berada di luar, tetapi bukan di sekolah. Di pinggir jalan, membuat keonaran, dan keramaian pun bisa ia dapatkan.

"Nyebelin!" ucap Candice kesal. "Apa gue bakar aja salah satu rumah warga biar lebih seru, biar nggak suntuk begini?"

"Aaaah! Sial! Gue benci, kenapa di dunia ini ada hukum sih?!" pekik Candice kesal. "Dan kenapa harus ada yang namanya manusia? Gue bahkan enggak bisa nerima kalau gue ini lahir jadi manusia. Kenapa juga sih gue enggak terlahir jadi alien aja, hah?!"

Detik berikutnya, gadis yang sebentar lagi akan berusia tujuh belas tahun itu langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang full hitamnya tanpa berkenan berganti pakaian terlebih dahulu. Ia menatap langit-langit kamarnya. Berpikir mengapa usia remajanya sudah terasa sangat melelahkan. Mengapa pula, ia tidak digugurkan ketika Lusiana ditinggalkan oleh Ferguz? Seandainya ia tidak pernah lahir, bukankah ibunya tidak akan pernah semenderita saat ini? Ibunya itu juga tak harus menjadi simpanan seorang pria lanjut usia, dan tidak akan pernah bekerja keras sampai sulit untuk ditemui oleh siapa pun termasuk dirinya.

"Ck, pokoknya nyebelin! Rasanya enggak ingin hidup lagi, tapi gue juga masih takut mati. Gimana dooong?! Kenapa juga si Wali Kelas songong itu malah telepon Ibu coba? Dia enggak peduliin ancaman gue ya? Awas aja!"

Candice mengumpat sampai beberapa kali sembari memukul ranjangnya sendiri. Ah, bukan hal asing lagi rumahnya memang membuatnya kian semrawut. Tak ada tempat pulang yang menyenangkan, jalanan jauh lebih membuatnya tersenyum tenang.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!