"Papah Jem jahat! Aku benci!" Suara teriakan itu terdengar memekakkan telinga seorang pria tampan yang berusaha membuka pintu kamar mandi. Dimana di dalamnya ada Kania yang menangis histeris mendapati tubuhnya sudah tak lagi suci. Rasa benci kian tumbuh besar di benaknya. Bagaimana bisa seorang pria yang selama ini ia panggil dengan sebutan Papah justru tega berbuat hal demikian padanya.
"Kania, buka pintunya! Kania, dengar dulu ayo buka pintunya kita akan bicara." Jemi di luar sana berteriak sembari menggedor pintu.
Lama ia terus berteriak hingga akhirnya pintu terbuka ketika Kania mendengar pria itu mengancam akan mendobrak pintu. Dengan mata sembab dan tangan gemetar ketakutan Kania berdiri menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Kania. Maaf." lirih suara pria itu terdengar. Tubuh kekarnya memeluk erat tubuh langsing Kania yang terasa sangat dingin.
Jemi kehilangan akal ketika bertahun-tahun ia menunggu waktu yang tepat.
"Aku sudah jatuh cinta sejak awal denganmu, Kania. Itu sebabnya aku sangat menjagamu selama ini." Tak ada yang Kania lakukan saat ini selain diam. Berbicara percuma untuknya. Tidak akan bisa mengembalikan semuanya. Air matanya terus berjatuhan tanpa henti.
Jemi melepas pelukan saat sadar wanita yang ia peluk tak menunjukkan respon sama sekali. Di rapikan anak rambut Kania yang menutup wajahnya. Di kecup dalam kening berkeringat itu.
"Ayo kita ganti baju dulu." tangannya menarik tangan Kania untuk di tuntun ke tempat koper mereka berada.
Kania hanya patuh ketika Jemi mengambil pakaian untuknya. Barulah setelah itu Jemi keluar dari kamar memberikan waktu Kania untuk berganti baju. Selang beberapa menit kemudian akhirnya ia kembali datang dengan nampan yang berisi makanan.
"Nia, ayo makan dulu." Jemi tak menyangka jika perbuatannya justru akan membuat Kania seperti ini.
Selembut apa pun ia memperlakukan Kania saat menyentuhnya, nyatanya gadis itu tak lagi respect padanya. Hanya ada rasa benci yang Kania rasakan saat ini.
Berusaha membujuk untuk makan bahkan Jemi sampai menyuapi Kania makan, namun mulut gadis itu tak kunjung mau terbuka. Ia hanya bebaring membelakangi Jemi dengan air mata yang berjatuhan.
Hingga malam pun tiba Jemi semakin cemas kala tak mendapati perubahan dari Kania. Sudah dua kali waktu makan ia lewatkan. Kania hanya berbaring. Saat ini pun tepat pada pukul sepuluh malam, dimana Jemi berniat tidur di kamar yang sama namun di sofa tepatnya ia membaringkan tubuh.
Setelah pertama kali menyentuh tubuh Kania, Jemi merasa bersalah. Meski rasa cinta itu jauh lebih mendominasi di hatinya. Tentu paksaan yang berujung kesedihan untuk Kania turut ia rasakan.
"Dimana orangtuaku?" pertanyaan yang tiba-tiba saja terlontar dari bibir Kania membuat Jemi urung untuk berbaring. Pria itu menatap Kania dari kejauhan.
"Kania, apa maksudmu bertanya demikian?" tanya Jemi yang sedikit meninggikan suaranya.
"Dimana orangtuaku? Aku ingin kembali pada mereka." Kepala Jemi menggeleng mendengar ucapan Kania yang pertama kalinya terdengar oleh Jemi.
Bukan tanpa alasan, selama ini Kania selalu bahagia dengan kasih sayang yang Jemi berikan. Itu sebabnya ia tak pernah mau mengungkit masalah orangtuanya yang mungkin akan membuatnya sedih dan tentu juga Jemi.
Sayangnya, keputusan Jemi yang terlalu cepat membuat sebuah kesalahan fatal yang berakhir Kania ingin pergi dari hidupnya.
"Nia, jangan pernah menanyakan hal itu lagi." ujar Jemi tegas.
Kania menoleh menatanya. "Kenapa memangnya? Apa kau menculik ku dari kedua orangtuaku?" Jemi menatap dalam kedua manik mata Kania. Untuk pertama kalinya gadis cantik ini menyebut Jemi dengan 'Kau'.
Saat itu Kania berdecih melihat tatapan mata Jemi. Ia sudah menduga jika pria ini tak akan mau mengembalikan Kania kepada orangtuanya yang entah masih ada atau sudah tak ada lagi.
Di waktu subuh ketika Kania terbangun dari tidurnya, ia melihat wajah tampan itu berbaring di sofa dengan mata terpejam. Tak bisa di pungkiri pesona Jemi sebagai duda tanpa anak masih sangat mempesona. Tak jarang para teman-teman Kania di sekolah menanyakan tentang Papah Jem yang di kenal penyayang itu.
Namun, semua sudah berubah. Kania tak lagi bisa menyebutnya sebagai Papah Jem sejak tahu tabiat asli pria tampan itu.
"Aku harus pergi," gumam Kania perlahan beranjak dari tempat tidurnya. Ia bergegas keluar kamar dengan langkah kaki sangat pelan. Kania tidak ingin hidup bersama pria yang sudah menghancurkan hidupnya. Masa depan yang ia impikan selama ini tak tahu apakah masih bisa di raihnya atau tidak.
Berlari tanpa arah tanpa membawa apa pun di pulau yang terkenal banyak sekali pengunjungnya, Kania bingung. Di usia mudanya saat ini, ini adalah pertama kalinya ia pergi dari rumah tanpa pengawasan Papah Jem. Bingung dan takut tentu saja bisa ia rasakan. Tak tahu harus kemana pergi saat ini.
Di waktu yang masih cukup gelap dimana para wisatawan mulai ramai berjalan ke arah pantai.
"Kemana aku harus pergi?" batin Kania bingung sekali.
Ingin kembali ke rumah, tapi itu adalah rumah milik Jemi yang ingin ia hindari. Tidak mungkin jika Kania harus kembali ke rumah itu lagi.
Kania terus menyusuri jalanan di kota itu meski mentari di atas sana pun mulai terlihat. Ketakutan tentu juga ia rasakan jika sampai sang papah angkatnya bisa menemukan kembali dirinya. Meski selama ini Jemi tak pernah marah sedikit pun pada Kania tapi tetap saja Kania takut jika bertemu kembali. Mungkin hal yang baru terjadi pada mereka bisa saja terulang kembali.
Ingatan tentang kejadian itu tiba-tiba saja membuat dada Kania sesak sekali. Bagai mimpi buruk yang tak pernah ia sangka-sangka kejadiannya.
"Kania!" seruan dari arah yang tak jauh tiba-tiba saja terdenga. Kania membuka lebar mulutnya mendengar suara itu memanggil namanya. Segera ia menolehkan kepala mencari sosok yang memanggil namanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
🌸ReeN🌸
jangan2 pengawalnya papa jemi
2023-06-15
0