Masygul hati

Mimpi buruk tumpang tindih berlayar di kepalaku. Dalam balutan mukena yang menyamankan tidurku di musala, keringat dingin terasa mengalir di ragaku yang terbenam dalam cengkeraman keresahan.

Tentang gaun pengantin yang teronggok, tentang pernikahan kami yang menjadi samar, tentang mas Dhika yang tak lagi sama, tentang usahaku agar terlihat baik-baik saja atas perasaan masygul ini.

Tidak lama lagi aku bisa melihat keadaan mas Dhika dan menemaninya. Tidak lama lagi kenyataan pahit itu menghampirinya. Sanggupkah ia menerima?

Mas Dhika, sosok pria rupawan dan periang, rajin bekerja namun banyak juga yang menyukainya.

Sebagai cinta pertama aku merasa senang, kami saling memiliki saat semua masih apa adanya. Jangankan memakai gincu dan bedak, SMA, jilbab saja masih kupakai tanpa gaya. Begitu juga mas Dhika, lelaki yang memiliki selisih usia satu tahun denganku itu bermodal pas-pasan. Masih urakan. Pergi-pergi saja bensin patungan. Kendati begitu, memasuki masa kuliah kami sama-sama bekerja freelance di kafe-kafe yang berjamuran di pusat kota. Isi dompet kami membaik tetapi mas Dhika yang digandrungi oleh remaja-remaja tanggung membuatku cemburu.

Ya Tuhan, aku berjengit dari mimpi mendengar teriakan yang memanggil namaku. Tatapanku yang buram dan kantuk yang masih kentara di pelupuk mata kemudian bertumbukan dengan orang yang sedang mengamatiku lekat-lekat.

“Mama...” Kedua tanganku langsung terjulur untuk memeluknya. Wanita yang kuhubungi setiap kali kegusaran melandaku akhirnya datang menenangkan. “Mama... Risha Takut”

“Ya Allah Risha, akhirnya kamu sadar juga, Nak. Mama sampai bingung gimana cara bangunin kamu tadi.” Mama membalas pelukanku.

Aku mendekapnya semakin erat, menyerap kasih ibu yang terpancar dari hangatnya pelukan sementara tubuhku bergetar.

Selama beberapa saat pelukan ini terbiarkan menelan waktu sebelum mama menjauhkan tubuhnya dariku, kembali ia menatap mataku yang bengkak dengan matanya yang bening dan hangat.

“Aku takut banget, Ma. Mas Dhika, kakinya di amputasi!” kataku dengan tenggorokan yang tersekat.

Mama mengangguk tanpa mengomentari kecemasanku.

“Mama bawakan baju ganti dan air panas. Kamu mandi dulu terus salat subuh. Ngadu sama Allah!”

Aku memejamkan mata untuk menepis buliran air mata yang hendak meluncur di pipiku seraya mengangguk.

“Aku harus gimana, Ma?” tanyaku gusar. “Mas Dhika...”

“Pastinya nanti ada musyawarah lanjutan, Sha. Kamu jangan gegabah ambil keputusan. Ngadu sana sama Allah, jangan sama mama mulu.” omel Mama seraya menyunggingkan senyum, ia mengulurkan tas belanja besar dan berbobot.

Akhirnya aku melaksanakan semua yang di katakan mama tanpa protes walau aku cukup heran bisa-bisanya mama kepikiran membawa termos dari rumah. Apa di luar sana banyak ibu-ibu yang begini? Suka berpikir jauh?

Setelah merasa kondisiku jauh lebih tenang, aku melepas mukena seraya pergi ke kantin yang berada di samping rumah sakit. Kondisinya sepi. Hawanya pun makin dingin. Mama mengeluarkan bekal dari rumah yang berisi nasi hangat dan tumis jamur merang, lauknya telur mata sapi.

“Yang sabar, ujian pra pernikahan menguatkan kamu menjalani fase pernikahan nanti. Makan gih. Jangan sampai galau jadi tipes.” gurau mama sembari mengelus punggungku dengan lembut.

Aku mengunyah sembari mengangguk.

“Habis ini kita ke ruang pasca operasi. Mau lihat mama si begajulan itu kayak apa sekarang. Masih bisa kemaki gak tuh?”

Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk patuh, tiada daya untuk memprotes ajakan mama. Lagipula mas Dhika seorang diri, dia pasti nelangsa sekali tiada yang menemani.

...Ruang pasca operasi....

Sesuai peraturan yang tertulis di papan pengumuman rumah sakit hanya satu perwakilan pasien yang diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Mama mengizinkan ku lebih dulu untuk menjenguknya sementara ia berbaur dengan keluarga pasien yang lain menunggu di luar ruangan.

Aku melepas alas kaki seraya menangkap keberadaan mas Dhika di ranjang pasien posisi paling ujung. Beberapa pasien pasca operasi terlihat berbaring lemas tetapi tak ada yang lebih mengkhawatirkan seperti mas Dhika. Beberapa di antaranya adalah ibu hamil yang menjalani operasi sesar, terlihat dari pakaian operasi khusus berwarna merah muda dan memiliki bordiran gambar ibu dan bayi di bagaian kiri atas.

Aku menyeret langkahku yang gontai menuju tempat mas Dhika yang terlelap karena pengaruh obat bius total, sampai pagi harinya sekitar jam delapan aku bergantian menunggu dengan mama.

Mas Dhika mengedip-edipkan matanya di bawah terangnya lampu. Nampaknya ia mulai terjaga dari anestesi yang bekerja saat operasi berlangsung.

“Mas.” panggilku dengan lembut. Dia menolehkan kepala tanpa ekspresi. Entah sedih, bimbang atau belum mengerti kenyataannya dia hanya menantapku diam. Sementara di tangannya terpasang infus dan transfusi darah yang terhubung dengan infus pump.

Aku maklum. Dengan sikap perhatian aku mengusap kepalanya.

”Semuanya akan baik-baik saja mas. Serius, aku menyayangimu.”

Mas Dhika menatapku nanar sembari mengedip-edipkan matanya.

“Kalau udah buang angin bilang ya. Nanti boleh minum.”

Aku memeriksa ponselku, satu pesan dari mama yang pamit pulang sebentar membuatku menghela napas. Mama berpesan agar aku tidak gegabah dan menangis di depan mas Dhika.

Mas Dhika menyentuh lenganku. “Risha.” katanya serak dibarengi dengan bau hidrogen sulfida yang kuendus beberapa detik kemudian.

“Mas udah buang angin?” tanyaku lembut setelah kami hanya terdiam dan perawat yang kupanggil untuk memeriksa keadaan mas Dhika selesai mengecek kondisi suhu tubuh, tensi, dan detak jantungnya sekaligus rembesan darah di perbannya.

Mas Dhika berdehem sembari memejamkan mata. “Aku kenapa, Risha?”

“Minum dulu mas. Biar dokter nanti yang jawab.”

Dia membuka mulutnya perlahan-lahan, meneguk air putih sampai beberapa tegukan sebelum membuka mata lebih lebar dan menghirup napas dalam-dalam.

“Kakiku kebas. Kesemutan, sakit.”

“Tenang dulu mas... Nanti pasti membaik.” Aku meyakinkannya sembari tersenyum sedih.

Kamu cacat sekarang mas, sebentar lagi kamu tahu. Semoga kamu tabah. Aku yakin ini berat buat kamu.

Kutolehkan tatapanku ke selimut yang menutupi kaki dan badannya.

“Mas istirahat aja, aku tunggu sampai...”

Lengkingan suara perempuan yang panik tak terperikan terdengar dari ambang pintu. Langkahnya tergesa menuju kami, Tante Dewita mendorongku dari samping mas Dhika dengan emosi seorang ibu yang bertalu-talu menahan sendu.

“Kok bisa kamu kayak gini, Dhik. Ya Tuhan. Darimana kalian berdua?”

Aku diam di posisiku, menanti mas Dhika menjawabnya. Tetapi wajah itu nampak memikir sesuatu dengan keras.

“Darimana kamu, Dhika?”

Mas Dhika terbelenggu. Darimana dia?

...***...

Terpopuler

Comments

Ersa

Ersa

ada yg disembunyikan oleh dhika

2023-08-23

0

App Putri Chinar

App Putri Chinar

kayaknya ga suka sama calon mantu

2023-07-23

0

choowie

choowie

Tante rempong jgn seenaknya nyalahin Risha ya😡

2023-07-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!