Sabar Ya

Aku menunggu tante Deswita yang terbaring di ranjang pasien. Dia nampak betul-betul berada di ambang kebingungan yang pelik, susah, semrawut dan chaos. Air mukanya carut-marut, gelisah, marah dan bingung bercampur baur di wajahnya yang masih cantik di usia 50an.

200 juta lebih? Nominal yang lebih dari cukup untuk menggelar pesta pernikahan yang megah di sebuah hotel atau gedung mewah untuk keluarga kami yang berada di ekonomi menengah ke atas dan mahar yang cukup bergengsi. Namun setelah nominal itu mengejutkan Tante Deswita, aku sudah tidak berharap apapun terlebih setelah mas Dhika di perlu melakukan terapi rehab medik dan kontrol lanjutan. Belum lagi gangguan depresi mayor yang akan mengganggu mentalnya. Itu sudah memberatkan hidupnya dan keluarganya. Tetapi menilik dari kelakuan hedonis keluarga mas Dhika, rasa cemasku percuma. Mereka pasti tetap memberi yang terbaik, aku yakin itu.

Aku menghela napas, jam sembilan nanti aku harus kerja di perusahaan berbasis mikro yang mengelola tas rajut lokal yang bersaing dengan produk internasional. Sebagai manager HRD sulit bagiku mengambil hari libur tiba-tiba.

“Risha.”

Suara mama... Aku menoleh, mamaku mencelat dan menyentuh bahuku sambil tersenyum. “Kamu pulang aja gih, keluarga Bu Dewita sudah pada datang tuh.”

“Terus kita harus gimana, Ma?” Tanganku meremas ujung tunik bunga-bunganya. “Aku nggak mungkin ninggalin mas Dhika kan?”

Mama menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang lembut dan hangat. Senyumnya bagai malaikat tanpa sayap yang slalu ajaib menenangkan.

“Itu terus yang kamu pikirkan. Udah, pulang!”

Aku memanyunkan bibir, sementara matahari mulai semakin menghangatkan suasana. Aku mendekap kedua kaki ibuku seraya menyandarkan kepalaku di sana. Aku berharap waktu membawa keberanian untuk berdiri lebih tegak menghadapi hari-hari setelah kejadian ini sebab tidak aku pungkiri ada secuil hatiku yang meragukan pernikahanku dan mas Dhika sesuai ekspektasi.

“Semangat, Risha. Selama kalian masih saling mencintai, semua akan baik-baik saja. Jangan kalah dengan situasi.” ucap mama sembari mengelus kerudungku.

Aku mendongak menatap mama yang tersenyum hangat kepadaku.

“Mama tahu kamu bimbang, tapi Dhika akan lebih lebih terpuruk kalau kamu pasrah seperti ini. Kasih semangat ke dia dong, cinta matimu kan?” seloroh mama dengan senyum jenakanya.

Aku mendadak malu pernah mengungkapkan pada mama kalau mas Dhika cinta matiku dengan bangga, penuh cinta dan berbunga-bunga. Tapi untungnya mas Dhika tidak mati dan tidak betul-betul menjadikannya cinta matiku.

“Mama jangan bercanda lah. Risha lagi kehilangan kepercayaan diri.” Aku setengah merengek sembari menggertakkan kaki.

“Aduh... aduh... udah deh, kita hidup tanpa papa saja kuat, apalagi kehilangan kepercayaan diri. Gampang lah ngebooster-nya.”

Mama berucap santai, meski kedengarannya getir kami berempat—bersama kedua kakakku memang sudah hidup tanpa papa sejak dua tahun lalu. Kami terus berjalan, menapaki kehidupan sehari-hari dengan percaya diri meski kadang lelah membuat kami terjebak di titik terendah. Mungkin ini menjadi jalan baru agar aku kembali belajar tegar, belajar menjadi wanita tangguh. Dan memilih mas Dhika yang tidak lagi sempurna menjadi hal terberat yang harus aku jalani.

“Terus mama gimana, ikut pulang enggak?” tanyaku sembari memberesi barang bawaan mama—termos dan pakaian gantiku— yang harus aku bawa pulang.

“Mama gantiin kamu di sini, kamu santailah. Mama bisa work from anywhere. Beda sama kamu.”

Aku mengangguk. “Kalau gitu aku pamit sama Tante Dewita sama kak Aga dulu, Ma.”

Tante Dewita menatapku dan mama sembari menghela napas. “Ini semua akan ribet, Rani.” ucapnya pada ibuku. Mama bernama Maharani.

“Saya tahu, Dew. Tapi Risha mau pamit, dia harus kerja!”

Aku langsung saja mengutarakan niatku sambil mencium punggung tangan Tante Dewita.

“Aku nanti ke sini lagi Tante, Risha harus ketemu direktur factory untuk bazar di—”

Aku tersentak. Bukan jawaban yang Tante Dewita berikan, tapi pelukan kepasrahan yang mendarat di tubuhku tanpa ragu.

“Tante harap kamu berbesar hati menerima Dhika sekarang, Risha. Kasian banget dia, kasian sekali dan hanya kamu yang slalu membuatnya happy.”

Tante Dewita menarik kepalanya dari tepi wajahku. Dia tersenyum sedih seakan kami benar-benar akan di naungi mendung yang tak berkesudahan.

“Ya sayang? Kamu mantu pertama kesayangan mama.” ucapnya penuh harap.

“Sudah, Dew... Risha sama kayak kamu, dia butuh waktu dan tenaga!” timpal mama dari belakang Tante Dewita. Karakternya yang kuat dan berani slalu bisa mendukung anak-anak yang sering di landa galau karena cinta dan pelengkapnya, menyelamatkanku.

Tante Dewita merangkul lengan mamaku seperti bestie dan menyandarkan kepalanya di bahunya. Dua calon besan itu memang sudah dekat, kami sudah memiliki grup chat keluarga untuk memperlancar komunikasi dan mereka tergabung dalam arisan sosialita wilayah kabupaten.

“Kita pasti usahakan yang terbaik untuk Dhika, Ran. Kita akan berikan dia kaki palsu biar tidak timpang jalannya. Biar Risha nggak malu.”

“Masalah anakku bukan itu, Dew!” kata mama tegas. “Tapi darimana Dhika semalam yang bikin Risha kepikiran.”

“Oke-oke, Aga bakal cari infonya. Ayahnya juga sudah ke kantor polsek sekitar TKP untuk ngurus bangkai mobilnya. Moga-moga aja nggak ada kasus hukum.”

Semoga aja.

Aku memeriksa jam di ponselku. “Ma, Tante. Aku pergi dulu.” kataku sembari menyelipkan ponselku di kantong celana.

Kak Aga yang duduk di kursi tunggu berdiri tiba-tiba. “Aku antar aja, Ris. Aku mau balik rumah ngurus uang pembayaran Dhika.”

“Okelah.” Aku mengiyakan, aku terlampau lelah harus menunggu taksi online dan berlagak baik-baik saja. Dengan kak Aga—anak pertama Tante Dewita—semua terasa lebih mudah bersedu sedan tanpa perlu berpura-pura.

“Cemberut terus aja sih, Ris. Kasian kamu.”

Kak Aga, wanita tiga lima tahun itu, merangkulku sembari berjalan di koridor rumah sakit.

“Dhika pasti syok berat kalo tahu kakinya hilang satu, lebih syok lagi kalau kamu pergi darinya, Ris. Temanin dia ya, aku tahu kamu sayang banget sama dia dan berat menerimanya.”

“Terus gimana sama pernikahan kita kak, aku lebih khawatir sama hal itu.” kataku jujur.

Kak Aga menyunggingkan senyum. Kami sudah di luar gedung rumah sakit, di bawah cahaya matahari dan kesibukan di lahan parkir yang memusingkan.

“Kita bereskan dulu masalah rumah sakit. Habis itu ke pernikahan kalian. Sabar, ya. Aku tahu pernikahan itu akan jadi hal yang mengguncang pikiran kalian. Tapi sabar, ada waktunya."

Bayangkan betapa mudah mengatakan sabar dan menanti, tetapi bagi aku yang akan menjalani seumur hidup bersama mas Dhika kata sabar seperti dijual secara mahal. Tapi mungkin ketika segalanya sudah tenang,aku bisa sedikit lebih kuat.

...-----------...

Terpopuler

Comments

Ersa

Ersa

mama yg ini ngademin, Mama yg Ono ngeselin ih

2023-08-23

1

choowie

choowie

betul itu 😬

2023-07-13

0

CebReT SeMeDi

CebReT SeMeDi

enak bgt punya emak kaya Maharani, moodbaster bgt bisa tempat keluh kesah memberi solusi terbaik

2023-07-01

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!