Pernikahan Indah Tak Sempurna
Tak tahan menunggu sedetik lebih lama. Aku melangkah keluar dari dalam taksi, mengabaikan uang kembalian yang terulur dari pak sopir.
“Untuk bonus, Pak!” seruku kemudian sembari menatap gedung rumah sakit tak jauh dari jalan arteri.
Aku yakin mas Dhika baik-baik saja, aku yakin.
Langkahku gegas menyusuri halaman rumah sakit dengan benak yang tak keruan menahan rasa panik di bawah pekatnya malam yang lengang dan sejuk.
Aku menggigit bibir bawahku dan menggenggam tanganku yang gemetar di balik saku jaket. Napasku tak beraturan nyaris ngos-ngosan.
Satu jam lalu aku mendapati telepon dari seseorang yang mengatasnamakan penolong mas Dhika yang kecelakaan. Namanya mas Andi.
“Assalamualaikum. Apa betul ini ayang Risha, pacar pengemudi mobil Brio hitam dengan KTP atas nama Dhika Wahyudin?
Dengan sungguh-sungguh aku mengiyakan dengan suara parau habis tidur.
“Maaf tapi ini siapa?” tanyaku heran sembari menyingkirkan selimut.
Kenapa ada orang lain yang menghubungiku dengan ponsel mas Dhika, padahal aku saja tidak pernah berani mengusik ponselnya jika itu tidak penting-penting amat.
“Maaf Mbak, saya dengan berat hati menyampaikan kabar duka kalau pacar Mbak kecelakaan tunggal di jalan Daendels, pantai selatan Jawa.” katanya terburu-buru dengan nada panik.
Sekilas aku mendengar sirene ambulans dan keriuhan yang sukar aku cerna sebelum sambungan telepon berakhir tanpa kejelasan yang pasti.
Mula-mula kupikir itu hanya bercandanya saja untuk menarik perhatianku atau bahasa bekennya ngeprank. Tetapi itu sama sekali bukan prank apalagi menarik perhatian. Mas Dhika benar-benar kecelakaan, mobilnya ringsek di bagian depan menubruk pohon jati berdiameter besar, pas betul di posisi pengemudi ketika dua foto di area tempat kejadian perkara di kirim mas Andi padaku berserta lokasi rumah sakit yang di tuju.
Bagai tersambar petir tanpa suara aku bersiap-siap tanpa aba-aba, pergilah aku ke rumah sakit daerah yang membutuhkan sejam perjalanan dengan kegelisahan yang hampir rata di sekujur tubuhku.
Beban yang kupikul terus selama itu menggembung di dalam diriku, mematik setiap sel tubuhku begitu aku memasuki gedung rumah sakit dan menanyakan kedatangan pasien kecelakaan bernama Dhika Wahyudin. Kekasihku yang sebulan lagi akan meminangku di masjid islamic center UAD, Yogyakarta.
Petugas jaga merespon kepanikanku dengan senyuman getir.
“Saya calon istrinya, saya dihubungi mas Andi. Orang yang menolongnya ke sini.” imbuhku menjelaskan.
Petugas jaga berusia sekitar lima puluhan dengan rambut setengah beruban itu langsung mengantarku ke ruang gawat darurat.
Aroma anyir dari darah yang menetes belum dibersihkan membuatku setengah mual. Tapi itu darah mas Dhika. Ya Allah...
Aku terduduk lemas di kursi tunggu. Tak lama setelah atensi di berikan perawat, seorang dokter menyibak tirai pembatas berwarna coklat tua.
Didahului senyum formal, dokter itu bergerak mendekat. “Selamat malam. Dengan keluarga pasien korban kecelakaan?”
“Saya calon istrinya, Dok.” ucapku gugup sambil menoleh ke arah ruangan mas Dhika.
“Bagaimana keadaan mas Dhika, Dok?”
“Kondisi pasien dalam keadaan urgent, Kak. Kakinya terjepit dan—” Dokter laki-laki seumuran papa menatap sekilas cincin di jari manisku dan ekspresiku dengan pertimbangan. Suaranya penuh kekhawatiran sementara dari ruang yang mas Dhika tempati, dokter jaga dan perawat terdengar sibuk memberi penanganan pertama untuk mas Dhika.
Mataku menghangat, dadaku sakit. Barulah setelah beberapa menit berlalu aku menyadari keputusan ada di tanganku malam ini untuk keselamatan mas Dhika.
“Katakan saja, Dok. Biar tunanganku segera bisa di tangani.” kataku bergetar namun dengan kesungguhan hati.
Dokter segera menjelaskan. Pelan namun sangat mengejutkan.
“Kondisi kaki kiri cukup rusak. Dari pergelangan kaki hingga jemarinya maaf... Kakak sudah bisa mengiranya. Kondisi seperti itu hanya bisa dilakukan satu penanganan. Amputasi demi mencegah pendarahan semakin berisiko tinggi!”
Petir kedua menyambarku tanpa ampun. Aku tersentak tanpa bisa menyembunyikan ekspresiku yang carut marut kepada dokter itu.
Mas Dhika harus di amputasi? Allahu Akbar.
Ujian macam apa ini Ya Allah... Pernikahan sudah di depan mata, undangan sedang di cetak. Gaun pengantin sudah di pesan. Mahar dan seserahan baru kita usahakan untuk mengumpulkannya. Tapi mengapa Engkau memberi ujian terdahsyat di hubungan kami yang ingin mengumpulkan pahala berumah tangga setragis ini?
Aku menatap dokter itu dengan wajah bersimbah air mata dan kekhawatiran. Tanganku gemetar, situasi seperti ini belum pernah aku bayangkan. Aku kesulitan mencari jawaban final namun di saat aku menatapnya gelisah dokter itu langsung memberiku keputusan mengiyakan.
“Jika kakak setuju, kami akan mempersiapkan ambulan untuk pindah ke rumah pusat yang lebih memadai untuk operasi besar.”
“Lakukan yang terbaik sebisa mungkin, Dok. Dia harus selamat!”
Selang setengah jam aku menunggu para dokter melakukan penanganan pertama untuk mas Dhika, tirai tersibak. Kondisi mas Dhika yang sangat memprihatinkan terpampang di wajahku. Laki-laki yang mencintaiku sejak kami duduk di bangku SMA menatapku dengan tatapan sedih yang semakin menyayat hati.
“Kamu bertahan ya mas, plis. Aku belum siap kehilanganmu. Aku nggak siap. Tolong.” Aku menggapai tangannya berbarengan dengan ranjang pasien yang di dorong keluar oleh dua dokter.
“Sebaiknya Mbak tenang, jangan sampai kekhawatiran Mbak mempengaruhi keadaan pasien.” kata dokter perempuan yang naik ke dalam ambulans.
Aku mengangguk, aku usahakan tetapi mana mungkin... Usia hubungan kami sudah cukup lama, namun baru kali ini kami mengalami situasi yang benar-benar menaklukkan keinginan-keinginan duniawi dan menikam emosi hingga sepanjang perjalanan menuju rumah sakit pusat yang berada di kota. Aku hanya bisa menggenggam tangannya sembari menangis tersedu-sedu.
Tak bisa di pungkiri bahwa aku pastilah memiliki kekhawatiran yang berlipat ganda saat ini. Batinku menolak bujuk rayu duniawi yang ditawarkan dokter perempuan bernama Rahma yang ikut ke rumah sakit pusat di kota.
“Apa tidak ada solusi selain di amputasi, Dok?” kataku lemah ditengah mas Dhika yang merintih kesakitan di atas ranjang pasien yang di dorong petugas jaga rumah ke ruang operasi.
Dokter Rahma menggeleng. “Syaraf-syaraf di kaki pasien sudah rusak. Kakak berdoa saja yang terbaik untuk pasangan kakak saat ini. Para dokter pasti mengusahakan yang terbaik dan teraman untuk pasien.” Ia menyentuh bahuku dengan ekspresi simpati.
Tiba di depan ruang operasi. Dua pintu kaca di dorong oleh satu perawat pria sembari memberitahukan bahwa aku harus menunggu di luar ruang operasi demi kenyamanan dan etika profesi.
Aku mencium punggung tangan mas Dhika yang lecet dengan lembut sebelum ia lenyap dari pandangan mata. Mataku yang sembab dan terus berdera air mata karena keharuan yang teramat dalam.
Mas Dhika...
Aku menundukkan kepala sambil mengepalkan tanganku. Hanyut pada satu-satunya harapan yang bisa aku lakukan sekarang, berdoa. Aku yakin situasi yang menimpa kami adalah cara Tuhan mengingatkan kami untuk bisa berpasrah diri pada ketentuan takdir. Cara Tuhan agar kami yang telah berpaling dari-Nya tidak lagi berharap pada dunia melainkan kembali memalingkan wajah kepada-Nya, Zat Yang Maha Kuasa.
Dengan memberikan cobaan ini aku pun yakin, Tuhan tahu apa yang lebih baik untuk diri kita sebab apa yang menurut kita baik untuk saat ini, belum tentu baik juga di masa depan.
Dan malam ini aku hanya menginginkan ma'unah dari Tuhan agar operasi amputasi lancar walau hatiku terasa sangat bertalu-talu.
Aku membayangkan bagaimana hubungan kami setelah malam ini? Masihkah indah seperti awal kita jumpa di perpustakaan sekolah hingga berujung dengan pertemuan-pertemuan lanjutan di luar gedung sekolah? Masihkah romantis seperti saat kita merayakan ulang tahun hari jadi kita di rumah makan fried chicken yang ramah di kantong pelajar seperti kami?
Aku menundukkan kepala. Tergugu seorang diri di kursi tunggu besi aku mencoba menghubungi Tante Dewita—ibunda mas Dhika yang tak kunjung terhubung.
Aku mengeram. Mengecek jam di ponsel tanganku mengeratkan genggaman di sana.
“Baru jam duaan, masih dua jam lagi ke subuh. Lagipula aku penasaran kenapa mas Dhika bisa sampai jalan Daendels. Darimana dia? Bukannya tadi ngakunya cuma nongkrong di warung kopi dekat rumah?” gumamku sembari mencoba mengingat-ingat ada rencana apa dia minggu-minggu ini.
Rupanya aku menemukan sekat yang menghalangi jawaban itu. Mas Dhika hanya memiliki cuti dua h- pernikahan dan dua h+ pernikahan. Dua hari lagi kita prewedding di salah satu tempat wisata kebudayaan. Terus kenapa dia membohongiku?
Di cengkeraman rasa penasaran dan tidak tenang aku memandangi suasana rumah sakit yang sepi dan terlihat wingit. Tak bohong, sebagai anak rumahan berada di rumah sakit jam segini seorang diri membuatku bergidik takut.
Aku menundukkan kepala. Air mataku sudah berhenti menetes tetapi bola mataku masih berkaca-kaca. Dengan sepenuh daya aku berusaha kembali merapal doa, semoga tiada halangan di dalam ruang operasi di dalam hati. Tetapi atensi yang disajikan semesta di tempat ini membuatku beranjak.
Dengan langkah sedikit gontai aku berjalan menyelusuri koridor rumah sakit. Sejenak aku mengamati petunjuk menuju musholla di plat yang berdekatan dengan loket pelayanan. Aku akan beristirahat di sana sembari mengirim pesan untuk keluarga dan salat malam.
...***...
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
App Putri Chinar
jangan sampai kejadian pranata Ter ulang disini.
2023-07-23
0
App Putri Chinar
jangan² ada yang ga bener
2023-07-23
0
App Putri Chinar
teka teki nih
2023-07-23
0