Berbincang

Menjelang petang...

Semburat merah itu kulihat di langit yang jauh di sana. Tidak salah lagi jika petang akan segera tiba. Nenek Amar pun mulai menghidupkan lampu-lampu di rumahnya. Tapi bukan lampu listrik seperti di bumiku. Melainkan lampu minyak yang penerangannya tidak seberapa.

Tadi aku sudah bercerita kepada nenek Amar. Dan nenek Amar tampak tak percaya dengan siapa diriku. Tapi aku jujur saja menceritakan padanya jika berasal dari negeri yang kaya rempah. Dan kini aku sedang membantunya mengadonkan bahan kue. Mungkin besok pagi akan dijual ke pasar.

"Gantilah pakainmu dengan pakaian penduduk di sini agar mereka tidak mencurigaimu sebagai orang asing." Nenek Amar datang dengan membawakan gaun seperti sari India pada umumnya.

Aku mengangguk. "Nanti kupakai, Nek."

Aku pun bersedia memakainya walau kutahu pasti pakaiannya terbuka. Ya, nenek Amar saja mengenakan sari seperti penduduk India yang kulihat di film-film itu. Tapi lebih sopan gaunnya karena menutupi tubuhnya semua. Mungkin berbeda dengan yang masih gadis atau baru berumah tangga.

"Kehidupan di sini masih kuno sekali. Hanya bagian istana kerajaan saja yang lebih maju dari sekitarnya. Di sana mereka sudah menggunakan listrik dari tenaga air. Sehingga istana akan lebih terang dari keadaan sekitarnya." Nenek Amar memberi tahuku.

"Apakah penduduk asli sini bisa ke istana, Nek?" tanyaku ingin tahu.

Nenek Amar mulai menyajikan adona kue ini ke dalam daun pisang lalu membungkusnya. Mungkin mirip kue yang ada di negeriku. Seperti lambang sari, bugis atau lemet pisang. Namun, aku tidak tahu bagaimana rasanya. Aku tidak berani mencicipinya.

"Bisa. Istana selalu membuka pintunya untuk para penduduk yang ingin mengadukan masalahnya. Hanya saja tidak setiap hari. Hanya pada hari-hari tertentu saja," kata nenek lagi.

"Hari-hari tertentu?" Aku pun memikirkannya.

"Ya. Seperti tiga hari di awal bulan, tiga hari di pertengahan bulan, dan tiga hari di akhir bulan. Mereka membuka pintu pengaduan untuk para penduduk Hastinapura." Nenek menjelaskan.

"Oh ...." Aku pun mengangguk-angguk.

"Jangan khawatir. Penduduk di sini semuanya baik asal kita dapat menjaga sopan santun dan tata krama bicara. Jika dirasa kurang mengerti, lebih baik bertanya saja." Nenek berpesan padaku.

"Baik, Nek." Aku pun mengiyakannya.

"Baiklah. Sekarang beristirahat. Besok Amar akan menemanimu berjalan-jalan ke pasar sambil menjual kue ini. Semoga kau bisa beradaptasi dengan cepat nantinya," turut nenek lagi.

Nenek Amar ini bernama Priyaka. Dia berusia sekitar lima puluh sampai enam puluh tahun. Aku juga tidak tahu berapa persisnya. Tapi yang jelas sebagian rambutnya sudah memutih dan kulitnya juga sudah berkeriput. Dan Amar hanya tinggal berdua bersama neneknya di gubuk ini. Sedang orang tuanya belum kutanyakan ada di mana. Aku tak enak jika dia tidak bercerita sendiri.

Lantas aku pun lekas-lekas membantu nenek untuk mengadon semua bahan kue yang disiapkan. Lalu setelahnya makan sebentar sebelum tidur malam ini. Aku mencoba menerima takdir penjelajahan waktuku.

Semoga saja akan ada hikmah nantinya. Karena tidak ada hal lain yang bisa kuharapkan. Dan ya, berserah diri kepada Sang Pencipta lebih baik dari hanya sekedar mengegerutu saja. Jadi mari nikmati jalan kehidupan ini sekalipun sulit sekali. Yakinlah di depan ada jalan lapang untuk dilalui. Kita semua pasti bisa melewatinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!