Demetrio jelas tidak heran jika permintaan pernikahan itu langsung mendapat respons kaget dari semua orang. Ibunya malah langsung pingsan di tempat hingga Demetrio harus mengunjungi kamar sang ibu, buat menenangkannya.
"Kamu membuat Mama sakit kepala."
Wanita cantik yang wajahnya lebih terlihat seperti wanita dua puluh lima tahunan itu langsung mengerutkan wajah begitu Demetrio datang.
"Apa maksudnya menikah empat hari? Kamu pikir bisa bercanda seperti ini dengan Mama?"
Demetrio meraih setangkai buah anggur sambil tertawa geli. "Sepertinya Henderson sudah menghubungi semua pihak terkait penataan. Kurasa besok mereka semua akan datang dan mulai memasang dekorasi, Ma."
Artinya : aku serius alias tidak bercanda alias ini kenyataan.
"Hah." Mama menatapnya tak percaya bahkan jika beliau sudah sangat tahu bagaimana watak anak pertamanya itu.
"Mama tidak mengerti kenapa kamu malah seperti dikejar anjing gila. Ada waktu setidaknya seminggu dua minggu dan kamu memilih empat hari?"
Sebenarnya bukan Demetrio yang memilih tapi kalau Mama salah paham, itu tidak terlalu buruk bagi siapa pun.
Toh, Demetrio punya kebebasan dalam memilih.
"Itu tidak seburuk yang Mama pikirkan." Demetrio tersenyum polos memasukkan anggur ke mulut Mama yang terbuka.
Sebagai isyarat diam saja.
"Kita bisa membuat acara lain yang dihadari lebih banyak orang jika Mama mau. Untuk sekarang, dalam waktu empat hari kedepan, acaranya akan berlangsung."
Mama menatap anak sulungnya itu dengan sorot pasrah.
Benar-benar. Dia selalu melakukan sesuatu seenak hatinya jika itu sudah berurusan dengan kesenangan hati.
"Baiklah. Lakukan sesukamu."
"Terima kasih."
"Tapi Mama tidak akan bertanggung jawab atas gosip karena pernikahan buru-buru itu. Kamu yang mengurus semuanya."
"Tentu."
Mama menghela napas lagi mengetahui putranya benar-benar tidak merasa berbuat salah.
"Tapi, Demetrio, dari semua gadis, kenapa harus Larisa lagi? Ada gadis yang lebih baik."
Demetrio tertawa kecil.
Lebih baik, huh? Lebih baik dalam hal apa? Bersikap? Dalam urusan wajah atau kecerdasan?
Semua itu tidak penting. Demetrio tidak pernah peduli mau seorang wanita itu lulusan Oxford ataukah hanya perempuan tanpa pendidikan bahkan tingkat SD.
Kecerdasan, kecantikan, sikap baik, mengapa itu penting bagi Demetrio? Satu-satunya yang menjadi patokan adalah dia menarik atau tidak menarik.
"Kamu tahu harus serius kali ini, kan? Jangan tiba-tiba membatalkannya lagi tiga hari kemudiam."
Meski itu sebenarnya teguran, Demetrio hanya tertawa seolah tak memiliki kesalahan. Menyesal pada keputusannya sendiri hal yang tidak mungkin Demetrio lakukan, jadi perbuatannya dua tahun lalu, Demetrio tidak menyesal.
"Larisa pasti membenciku sekarang, Ma. Sangat membenciku."
"Tentu saja," jawab Mama sambil mengamati bagaimana putranya justru tampak senang. "Kalau Mama adalah Larisa, Mama akan menikahi kamu untuk menuangkan racun di malam pertama. Itu balas dendam yang memuaskan."
Demetrio tergelak geli. "Dan kalau itu terjadi?"
"Itu tidak akan terjadi." Mama menghela napas untuk kesekian kali. Menatap langit-langit kamarnya sambil mengingat bagaimana anak ini tumbuh. "Kamu anak yang seperti itu."
Larisa jelas bukan orang pertama dan satu-satunya yang Demetrio hina seperti dulu. Anak ini, sejak dia masih sangat kecil, segala sesuatu di sekitarnya sudah berputar secara asing.
Dia egois dengan cara yang menakutkan. Padahal dia tidak dibesarkan sambil bermanja-manja, tapi Demetrio sekarang mengendalikan seluruh keluarga sesuai keinginannya.
"Kamu membuat Larisa membencimu hanya agar kamu bisa menjemput kebencian anak itu sebagai permainan baru."
Mama melirik Demetrio yang tersenyum polos.
"Demetrio, Mama hanya akan memberitahu. Akan ada waktu dunia tidak berpihak padamu."
Sebaiknya dia lebih berhati-hati pada permainannya yang tak pernah selesai itu. Karena seseorang bisa saja datang menghancurkan semuanya.
Walau itu juga bukan pekerjaan yang mudah.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments