Secara tidak langsung, Abi Hamdan mengajari hal yang tidak benar.
"Ah nggak! Nggak!" Tiba-tiba, pria itu langsung teringat. Jika apa yang dia katakan adalah salah. Kepalanya pun menggeleng. "Mau bagaimana pun masalahnya, membunuh orang itu nggak dibenarkan, Jon. Lagian dosa juga. Ya semoga saja Beni nggak beneran mati. Biar matinya pas dipenjara saja."
"Gimana pun nasibnya, aku nggak peduli, Pak. Tapi disini aku melakukan hal itu karena wajar, karena Beni dengan berani sudah memper ...." Joe cepat-cepat melipat dalam bibirnya dengan rapat, sebab takut sampai keceplosan.
"Sudah berani apa, Jon?" tanya Abi Hamdan penasaran.
"Sudah berani menculik Syifa. Padahal harusnya, aku dan Syifa 'kan malam ini sudah ...." Joe sontak membelalakkan matanya, kala menatap jam dinding yang berada di atas sudah menunjukkan pukul 10 malam. "Ya ampun, ini bahkan sudah lewat dari jam 7. Harusnya aku sudah menikah sekarang, Pak." Joe langsung berdiri dengan keterkejutannya.
Abi Hamdan mengangguk. "Iya, Pak Penghulu dan yang lainnya sebenarnya sudah menunggu kamu dan Syifa sejak tadi, Jon. Tapi berhubung kamu dan Syifa lama ... jadi aku memutuskan untuk membatalkan."
"Membatalkan?!" Joe kembali terbelalak. Dia lantas menoleh ke arah Abi Hamdan. "Bapak membatalkan pernikahanku dengan Syifa? Tapi kenapa, Pak? Apa aku membuat kesalahan?"
"Kan kamu dan Syifanya lama. Sedangkan Pak Penghulunya musti menikahkan calon pengantin lain. Jadi dia memutuskan untuk pergi."
"Aku kebetulan punya teman seorang Penghulu. Nanti biar dia saja yang menikahkan aku dan Syifa." Joe langsung merogoh saku dalam jasnya, kemudian mengambil ponsel dan mencari nomor kontak penghulu yang dia maksud.
"Besok saja, Jon, kamu nikahnya." Abi Hamdan tiba-tiba berdiri dan merebut ponsel Joe.
"Kenapa? Aku nggak mau, Pak!" Joe menggeleng cepat. Dia terlihat seperti orang yang ketakutan. Memang takut, takut jika pernikahannya batal. "Pernikahan ini nggak boleh ditunda! Aku harus menikahnya sekarang!" tambahnya menegaskan.
"Tapi Syifanya 'kan lagi diperiksa, dia juga pasti kecepekan. Ditambah sudah malam, Jon." Memang benar, pernikahan itu lebih cepat dilakukan akan menjadi lebih baik. Tapi kalau sudah jam 10 malam, tidak masalah jika ditunda besok. Nanti pagi-pagi mereka bisa melangsungkan akad.
"Nggak, Pak! Aku nggak mau!" tolak Joe bersikukuh. "Aku tetap ingin menikahnya sekarang." Joe langsung mengambil ponselnya ditangan Abi Hamdan. Lantas melangkah menjauh untuk menghubungi temannya.
Satu panggilan tidak diangkat, dua panggilan, sampai tiga panggilan baru diangkat.
"Halo," ucap seorang pria dari seberang sana. Suaranya serak khas orang yang baru bangun tidur.
"Halo, Dy, Tolong kamu ke Rumah Sakit Sejahtera, ya! Buat nikahin aku!" perintah Joe tanpa basa-basi.
"Menikah?" Pria yang bernama Dylan itu terdiam sesaat. Lantas tak lama bersuara dengan nada mengomel "Kamu gila, ya, Joe? Aku masih normal kali meskipun jomblo. Nggak maulah aku nikah sama kamu. Nggak enak main pedang!"
"Bukan nikah sama kamu. Aku nikahnya sama Syifa, tapi kamu yang nikahin. Kan kamu penghulu, Dy," jelas Joe.
"Tapi 'kan kamu Kristen, gimana, sih? Ya nggak bisalah, kamu minta nikahnya sama aku, Joe," gerutu Dylan yang tak habis pikir.
"Aku jadi mualaf, pas mau akadnya. Cepat kamu siap-siap buat ke sini, ya!" titah Joe.
"Oh. Tapi mahar dan semua berkasnya sudah siap, kan?"
"Sudah." Sebenarnya Joe sendiri tidak tahu. Tapi dia merasa yakin—jika Sandi sudah mengurus semuanya. Saat dia pergi tadi. "Oh ya, Dy. Aku mau tanya dulu sesuatu sama kamu."
"Tanya apa?"
"Aku pernah nonton film, pas adegan orang Islam akad nikah. Tapi di sana hanya cowoknya saja yang mengucapkan janji suci, tapi ceweknya nggak. Memangnya ... seperti itu, ya?" tanya Joe penasaran.
"Mungkin yang kamu maksud ijab kabul," tebak Dylan. "Itu si cowoknya mengucapkan kalimat ijab kabul, Joe. Memang begitu kalau pernikahan Islam."
"Oh ...." Joe mengangguk-nganggukan kepalanya. Dan tiba-tiba saja, ada sebuah ide brilian yang mengisi otaknya. "Itu, sih, Dy ... kalau misalkan pas ijab kabul ceweknya nggak ada gimana? Apa pernikahannya tetap sah?"
"Ceweknya mati, maksudmu?"
"Dih nggak!" Joe menggeleng cepat. "Ceweknya lagi sakit, atau pingsan. Jadi nggak ikut serta pas acara ijab kabul. Apa pernikahannya tetap sah?"
"Oh. Kalau begitu tetap sah. Yang penting dia awalnya sudah mau menikah dan orang tuanya setuju. Paling nanti tinggal tanda tangan dibuku nikahnya saja, setelah ijab kabul selesai, Joe," jelas Dylan panjang lebar.
"Syukurlah ...." Joe bernapas lega. Lebih baik, dia segera melangsungkan ijab kabul. Sebelum Syifa terbangun. Sebab takutnya, gadis itu akan menolak jika diajak menikah. Yang terpenting sekarang, kedua orang tua mereka sudah sama-sama setuju.
"Apa calon istrimu sedang pingsan sekarang? Atau koma?" tanya Dylan.
"Hanya pingsan, dia sedang sakit, Dy."
"Kenapa nggak tunggu dia sadar atau pas sembuh saja, Joe?"
"Ini genting. Akunya udah nggak sabar."
"Nggak sabar mau malam pertama, ya?" goda Dylan dan tak lama terdengar suara gelak tawanya. "Dasar duda! Udah kebelet banget pengen ganti oli, ya?"
"Apaan sih, Dy." Wajah Joe seketika bersemu merah. Dia terlihat malu-malu. Abi Hamdan yang melihatnya dari kejauhan tampak mengerutkan keningnya. "Kalau iya juga nggak apa-apa kali, kan aku udah punya calon. Memangnya kamu?!" cibirnya.
"Iya deh," kekeh Dylan. "Ya sudah, 30 menit lagi mungkin aku akan segera sampai. Nomor kamarnya berapa?"
"Nanti aku kirim lewat chat. Takutnya kamu lupa," sahut Joe. Kemudian memutuskan panggilan.
Setelah itu dia pun mengirimkan pesan. Lantas melangkahkan kakinya mendekati Abi Hamdan dan Robert.
"Pak Joe ke mana saja dengan Dek Robert? Dan di mana Bu Syifanya?" tanya Sandi yang baru saja melangkah menghampiri. Wajah pria itu terlihat seperti pusing dan capek sekali. Dia memang sangat sibuk tadi, mencari keberadaan tiga orang yang tiba-tiba hilang.
"Nanti aku jelaskan, San," jawab Joe dengan santai. "Oh ya, apa mahar dan syarat nikahku sudah lengkap, San? Dan mana baju pengantin dan orang butiknya?" Joe menatap sekitar, mencari orang butik yang dia maksud.
"Semuanya sudah siap, Pak. Baju pengantin Bapak dan Bu Syifa juga sudah ada," jelas Sandi. "Tapi kalau orang butiknya ... mereka sudah pulang. Karena kata Ustad Hamdan, pernikahan Bapak dan Bu Syifa ditunda besok."
"Pernikahanku dan Syifa akan berlangsung sekarang, San. Ayok bantu aku memakai baju pengantin," ajaknya seraya merangkul bahu Sandi, kemudian mengajaknya melangkah pergi.
"Jon! Bagaimana dengan Syifa?!" seru Abi Hamdan yang berlari mengejar sambil mengendong Robert. Sehingga membuat langkah kaki dua pria itu terhenti. "Dia 'kan masih ditangani Dokter!"
Joe lantas menoleh. "Syifa biarkan ditangani Dokter. Nanti aku suruh Bibi pembantu di rumahku untuk datang dan menunggunya. Sekarang lebih baik Abi Mertua siap-siap, aku mau langsung berikrar dan ijab kabul. Supaya cepat sah menjadi suami Syifa."
"Kenapa nggak besok saja, Jon? Atau setidaknya menunggu Syifa selesai diperiksa?"
"Kan Abi Mertua udah tau. Karena aku udah nggak sabar. Aku kebelet kawin. Udah ayok, San, bantu aku ganti baju." Joe langsung menarik Sandi, kemudian mengajaknya melangkah cepat meninggalkan Abi Hamdan dan Robert.
"Udah gatel banget rupanya si Jojon tongkatnya. Sampai nggak mau nunggu Syifa selesai diperiksa," gumam Abi Hamdan dengan bibir yang mengerucut. "Perasaan ... cepet juga itu tongkatnya kering. Aku dulu pas disunat sampai sebulan, baru kering dan bisa pakai celana." Tangannya perlahan merogoh kantong celana, lalu mencoba untuk menghubungi Ustad Yunus. Meminta pria itu datang lagi ke rumah sakit dengan membawa Pak RT.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 293 Episodes
Comments
Arumi Nasha Razeta
Alamat disuruh pisah itu pak Joe kalau mami papi mu tau 🤣
2023-05-12
1
Yulia Prihatin91#SoLo#
ngakak joe
bukanya dokternya dibrifing dulu suruh lapor depan ortu shifa hamil gt kan masalah jadi brabe
2023-05-09
0
fee2
waduh bisa jadi masalah itu...
2023-05-09
1