Rahasia dalam Pesta

Agus mengikuti Maya dari belakang. Mendaki anak tangga yang sedikit melengkung seperti bulan sabit itu, menuju lantai mezzanine.

Rumah Wongso didesain semi mezzanine dengan lobi utama di lantai dasar berbentuk lingkaran.

Pesta masih berlanjut hingga pukul delapan malam lebih. Musik instrumen klasik masih dimainkan dan suara-suara mengobrol dari tamu yang hadir terdengar riuh rendah. Sementara para pelayan sibuk berjalan berkeliling, ada yang membawa nampan berisi minuman dan gelas kosong di tangannya, ada yang hanya membawa sebotol wine besar untuk dituangkan ke gelas kosong yang diminta para tamu, atau yang sekadar membawa nampan untuk mengambil sisa gelas minum.

Kepala pelayan sibuk mengawasi anak buahnya dari salah satu sisi ruangan itu. Melihat kalau-kalau ada yang perlu dirapikan. Beberapa kali ia memamerkan senyum menyapa para tamu.

Agus telah sampai di lantai mezzanine. Ia melihat punggung Maya yang sedang melihat suasana pesta di bawah sambil berpegangan di pembatas lantai. Agus menghampirinya perlahan. Berdiri tepat di sebelah kanannya. Mengikuti arah pandangan Maya yang seolah terjun bebas kepada kerumunan di bawah sana.

Agus melirik Maya.

"Aku kira tak akan melihatmu lagi." Agus membuka obrolan. Nadanya rendah.

"Pesta ini menarik," jawab Maya. Seperti biasa, gadis itu selalu menunjukkan sisi rahasia yang sulit ditebak.

"Aku kira kamu bukan tipe yang suka pesta seperti ini." Sambung Agus. Wajahnya menatap Maya yang tidak balik menatapnya. Pandangan gadis itu masih terpaku pada suasana pesta. Entah siapa yang tengah diperhatikan.

"Kamu tahu, Gus? Orang-orang yang datang malam ini. Apakah mereka memikirkan kematian mereka?" Maya kembali dengan pertanyaan anehnya yang memancing orang mengernyitkan dahi.

Agus mengernyitkan dahi, menunggu jawaban Maya.

"Karena di pesta, berarti orang-orang hanya bersiap untuk hal-hal yang menyenangkan. Tidak untuk memikirkan kematian."

Agus hendak mengatakan sesuatu namun tercekat di tenggorokannya. Apa-apaan ini!? pikirnya. Ada gadis secantik Maya, datang ke pesta besar pengusaha kaya sendirian, lalu memikirkan hal-hal semacam itu?

"Hei," Agus terkekeh. Agak lucu baginya.

"Are you okay?" Hanya itu yang bisa ditanyakan.

"Semua orang di sini jelas untuk merayakan ulangtahun salah satu pengusaha terbesar negeri ini. Kau tahu, kan? Dia mantan menteri. Orang terkenal. Dengar-dengar dia juga seorang mafia. Kamu tahu nggak, mafia!?" Agus setengah berbisik. Seakan-akan sedang ada yang mengawasi pembicaraan mereka.

Maya tak bereaksi.

Namun jelas matanya mengintai Wongso yang sedang terlibat obrolan ringan dengan para koleganya.

"Kau lihat cyrcle-nya? Para elit negara. Anggota DPR, elit parpol, pengusaha, menteri, kepolisian, militer, dokter. Kau lihat siapa yang dia ajak bicara? Kapolri." Agus menerangkan. Nadanya masih seperti berbisik. Sekali lagi, Maya seolah acuh tak acuh.

Dari awal pertemuan, gadis ini nyaris tanpa ekspresi. First impression Agus menyatakan Maya adalah sebuah humanoid terbaik yang pernah diciptakan abad ini.

"Dia orang dengan relasi luas dan kuat. Susah dikalahkan. Rumor menyatakan dia sering terlibat kasus pembebasan lahan. Semua tahu dia pengusaha sawit tersukses, dan beberapa bisnis haram lain. Salah satunya yang paling santer, dia jalanin bisnis narkotika. Ada kabar burung menyebut dia dalang di balik pasokan barang terlarang itu ke penjara." Agus menjelaskan panjang lebar dengan penuh semangat.

Sesekali ia melirik Maya untuk sekadar tahu bagaimana respon gadis itu.

Yang ia lihat hanyalah sesosok manekin tanpa jiwa. Tubuh Maya di sampingnya, namun pikirannya tidak terdeteksi.

"Kamu mendengar ku?" Agus akhirnya ingin tahu secara langsung.

Maya akhirnya benar-benar menoleh ke arahnya. Mata mereka kini saling beradu. Dipandangi sedekat itu, Agus gelagapan. Ia buru-buru melempar pandang ke depan.

"Aku hanya ingin tahu. Mengapa sejak pertemuan pertama kita. Kamu lebih banyak diam." Agus kedengaran seperti sedang mengeluh.

"Oh, aku ingat soal pedagang asongan yang meninggal di bawah hujan Minggu lalu." Agus senang ia berhasil menemukan bahan pembicaraan baru yang mungkin bisa lebih menarik minat Maya.

"Aku lihat kau bersama teman lelakimu, nggak lama sejak kita ngobrol di perpustakaan."

Maya terdiam sejenak. Terlihat gadis itu tidak ingin membicarakan apapun soal dirinya sendiri. Alasan yang Agus belum ketahui.

Maya kembali menatap ke lantai bawah.

Kedua tangannya dilipat di atas kayu pembatas.

"Mengapa kau membiarkan pedagang itu mati, Gus? Mengapa kau tidak melakukan apapun untuk mencegahnya?" Pertanyaan yang sangat khas dari Maya.

Agus terbelalak. Seperti ditampar. Ia mematung.

Maya meliriknya, tatapan sekilas yang cukup menelanjangi Agus. Anehnya, Maya tersenyum. Senyuman yang membuat Agus semakin merasa dipermainkan.

"Ada banyak orang di sana. Ada banyak waktu bagi orang yang lebih dekat dari TKP untuk menolong pedagang itu!" Sengit Agus.

Maya kembali menatap ke depan.

"Kau tahu kemana teman-temanmu pergi?" Maya mengacuhkan jawaban Agus dan malah mengalihkan ke topik yang lain.

Agus sebenarnya kesal. Hanya saja ia melihat apa yang dimaksud Maya. Terlihat di sana Tantri sedang menggandeng Zidan, mendampinginya menemui beberapa tamu lain. Sedangkan Joe ada di kelompok lain yang terpisah.

Tak lama, Tantri terlihat berbisik pada suaminya. Lalu keduanya tersenyum dan Zidan mengecup bibir Tantri. Sambil mengelus perut Tantri dengan bangga. Tantri lalu pergi meninggalkan Zidan sendirian untuk pergi ke suatu tempat.

Di pihak lain, Joe diam-diam membuntuti . Tanpa sepengetahuan Zidan yang telah kembali asyik dengan percakapan kecilnya bersama para tamu. Tantri sendiri seolah memberi kode dengan lirikan kecil pada Joe. Keduanya menyelinap keluar dari pesta menuju ke suatu tempat di rumah itu. Keduanya menghilang di balik tiang yang menuju ruangan lain.

"Apa urusanmu dengan teman-temanku?" Agus bertanya dengan curiga.

"Darimana kau tahu mereka teman-temanku? Kau benar-benar menguntit, ya?"

Maya tak mempedulikan kecurigaan Agus.

"Ini seperti sebuah coffee shop besar, kan? Ada banyak minuman dan makanan. Ada musik yang indah. Pelayan-pelayan yang menyediakan hidangan. Orang-orang terbuai, orang-orang mabuk, seolah itu membuat mereka semua bahagia."

Mata Agus memicing, tanda bahwa otaknya sedang berpikir keras.

"Kecuali semua hidangan malam ini gratis." Agus memotong. Matanya tetap mengawasi Maya kali ini.

Maya tersenyum lagi, seperti menertawakan jawaban Agus barusan, "tak ada yang benar-benar gratis, Gus. Ini hanya titik awal dari serentetan gelombang yang akan datang." Suara Maya mengisyaratkan kegetiran, tetapi Agus sendiri tampak belum yakin.

"Kamu selalu bicara dengan diksi-diksi menarik, ya? Kenapa sih kamu enggak bersikap dan bergaya bicara normal aja. Nggak perlu sok misterius begini." Agus protes disertai sedikit intermezo.

Maya sekali lagi tak peduli. Ia sekarang melirik Angel yang tengah terlibat obrolan hangat dengan seorang pemuda tampan dan necis yang masih berusia sekitar 25. Look-nya menunjukkan pria itu seorang pengusaha atau anak seorang pengusaha.

"Kamu harus mulai memperhatikan detail di sekelilingmu, Gus." Maya memberi saran yang sekali lagi sulit dicerna oleh Agus.

"Angel? Dia sudah biasa seperti itu. Bukan hal aneh kalau dia langsung akrab dengan stranger," jawab Agus mantap. Sudah sangat mengenali karakter Angel. "Bukan membenarkan kelakuannya, ya. Kadang kami sering kok, mengingatkan dia agar lebih hati-hati. Tetapi Angel bukan tipe yang mudah dinasehati."

Angel terlihat menggandeng tangan pria tampan itu dan mengajaknya menjauh dari pesta. Tatapan genit Angel ke pria itu menunjukkan sesuatu. Mereka menghilang dari pandangan di ujung ruangan.

"Oh, sekarang targetnya Brian. Anak Wongso. Selera dia selalu bagus," Agus tertawa kecil.

Tak berapa lama berselang, tampak seorang anak buah Wongso menghampiri sang bos besar untuk membisikan sesuatu yang kelihatannya penting.

Air muka Wongso berubah dari ramah menjadi lebih serius. Ia berpamitan pada para koleganya dan langsung pergi diikuti anak buahnya yang menyampaikan pesan tadi.

Agus dan Maya memperhatikan semua kejadian itu dari atas.

Agus menghela nafas. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tetapi rasanya ia sendiri mulai berpikir sebagaimana Maya berpikir.

"Okay. Kamu ingin bermain cerita detektif?" Agus masih mencoba menjaga suasana agar tetap cair. Walau ia tahu Maya tidak akan merespon apapun.

"Tantri, mungkin dua ke kamar mandi. Tantri pasti merasakan sesuatu dengan kantung kemihnya. Dia sedang hamil. Ibu hamil biasanya suka kencing, tuh." Agus mencoba mengarang cerita sebisanya.

"Kamar mandi cowok dan cewek mungkin deketan. Nah, kebetulan Joe juga kebelet. Bareng lah mereka. Aku nggak tahu apa pendapatmu, tapi aku tidak merasa ada yang aneh dengan itu. Lagian, C'Mon! Tantri dan Zidan sudah berpacaran sejak SMA. Aku saksi hubungan mereka!"

"Kalau Angel, aku udah bilang tadi. Aku tidak peduli, because Angel always being Angel. She's never changed." Agus mencoba realistis.

Tetapi ia lihat Maya tidak menunjukkan antusiasme apapun dengan analisanya. Itu sedikit membuat Agus kesal. Ada apa sebenarnya dengan wanita ini?

Maya bertopang dagu dengan tangan kanannya. Matanya masih sibuk mengawasi sekitar.

Agus menjadi tidak sabar. Ia mendengus hampir kehilangan kesabarannya pada lawan bicaranya itu.

"Ayolah. Mengapa kau datang ke sini kalau bukan untuk bersenang-senang seperti semua orang di sini? Bukannya ini private party, kan? Kamu tidak mungkin diundang jika tidak memiliki relasi dengan keluarga Wongso. Aku, contohnya. Aku diundang karena aku teman dekat Zidan, si kader partai termuda. Kamu siapa? " Agus mulai frustasi.

"Kamu malah datang dan berbicara seperti hantu di film. Tidak menceritakan apapun tentangmu selain nama kamu. Malah mempertanyakan soal kemana teman-temanku pergi, lagian apa urusanmu? Oh. Kau menuduh Zidan diselingkuhi Joe dan Tantri? Haha. Kamu pasti kebanyakan menonton serial drama di aplikasi berbayar." Agus kian menjadi-jadi. Namun sejauh ini Maya tetap tenang dan membiarkan Agus berbicara apapun.

"Mengapa tidak berhenti menjadi gadis aneh dan memesan minum saja? Kalau nggak suka alkohol, kamu bisa pesan jus?!" Agus akhirnya benar-benar terlihat kesal walau masih berupaya mempertahankan nada bicaranya agar tetap santai. Jelas ia terdengar lebih marah.

Maya. Flat. Gadis ini benar-benar seperti tidak memiliki jiwa.

"Saya tidak butuh makan dan minum." Begitu jawaban yang keluar dari mulut Maya.

"Baik. Lalu kau mau apa? Ayo ngobrol soal olahraga, hobi, kerjaan, atau apapun. Ayo bertukar nomor telepon. Mungkin lain waktu bisa janji nonton bioskop atau Netflix? Atau..apalah. Apapun." Agus terhenti ketika di tengah ungkapan kekesalannya pandangannya menangkap sosok pria misterius yang ia lihat di jalan perpustakaan waktu itu. Pria berpayung yang bersama Maya.

"Itu. Cowok itu! Cowok yang di perpustakaan. Kau datang bersama pacarmu?"

Pria itu berbaur di antara para tamu. Namun tidak berbicara dengan siapapun. Tak lama si pria mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menempelkan ke telinganya. Menelepon.

Ponsel Maya berdering tepat setelah itu. Maya menjawabnya. Persis seperti saat ia menjawab telepon pada pertemuan pertamanya dengan Agus di perpustakaan. Agus seperti mengalami dejavu .

"Halo? Iya. Sekarang?" Cuma tiga kata. Tiga kata yang sama. Nada bicara yang sama persis.

Mata Agus membesar beberapa inci, bergantian melirik ke arah pria bersetelan hitam-hitam di bawahnya yang sedang menelepon, berganti ke Maya di hadapannya.

Maya menutup telepon setelah berbicara hanya tiga kata tadi. Lalu melirik ke Agus yang semakin terlihat bingung.

Dan, Maya kembali memberikan senyuman yang kali ini terasa dingin.

Di ruang lain, Tantri dan Joe berjalan beriringan di sebuah koridor dalam rumah mewah itu. Keduanya tampak terburu-buru seraya sesekali mengawasi sekeliling seakan kuatir ada yang mengikuti mereka.

Tibalah mereka di depan sebuah ruang yang ternyata sebuah kamar tidur kecil. Joe langsung menyeret Tantri ke dalam kamar itu lalu menutup pintunya. Tantri, tanpa dikomando, seakan sudah memahami apa yang diinginkan Joe. Wanita itu langsung duduk di tepi ranjang, sambil matanya yang ****** mengamati Joe yang masih berdiri di depan pintu.

Kamar itu tampaknya diperuntukkan untuk asisten rumah tangga atau security rumah itu. Ukurannya sekitar 5x6 meter persegi kurang lebih. Namun tertata rapih dan bersih. Seluruh ruangan dinding dicat putih dan sebuah ranjang mungil yang hanya cukup buat dua orang saja. Lengkap dengan kasur spring bed dan selimut yang semuanya berwarna putih.

Joe menunggu pertunjukan kecil dari Tantri yang mulai melepas sepatu high heels sembari memunggungi Joe, lengan Tantri yang jenjang itu diarahkannya pada Joe, jemari di ujung lengannya memberi isyarat agar Joe datang mendekat.

Joe melangkah pelan menuju Tantri, ia segera melepas jas hitamnya lalu melemparkannya ke sembarang arah. Dan jari-jarinya refleks melepas kancing kemejanya satu per satu. Mata Joe dan Tantri akhirnya saling beradu seperti mata dua ekor kucing yang tengah birahi. Saat Joe sampai di hadapan Tantri, tangan kanannya menyentuh dagu gadis itu. Lalu ia mendekatkan wajahnya seolah ingin segera menciumi perempuan itu.

"Kamu tidak sabar untuk menunggu pestanya selesai lebih dulu, ya?" Joe bertanya dengan berbisik. Sebuah retorik.

"Sepertinya anakku yang tidak sabar untuk bermain dengan ayahnya," jawab Tantri sambil menggigit bibirnya.

Joe melirik perut Tantri sejenak, lalu melempar senyuman nakal pada istri sah sahabatnya itu.

Keduanya lalu berciuman. Pelan. Pelan. Perlahan. Joe membaringkan badan Tantri ke ranjang secara perlahan.

Sementara itu Angel dan Brian pun sedang bercumbu di sebuah sudut tersembunyi di rumah itu. Nafas keduanya saling memburu dan tertahan.

Keduanya saling berbalas ciuman dan ******* yang terputus-putus.

Keduanya berdiri bersembunyi di balik sebuah pilar. Sebagai anak pemilik rumah, Brian tentu tahu sudut yang aman dan tidak akan dilewati siapapun.

"Kau milikku, mulai sekarang." Suara Brian tersengal di antara deru nafasnya.

Angel tak menjawab. Ia tampak menikmati permainan panas Brian yang sedari awal langsung mendesaknya ke sisi pilar itu,

seolah binatang buas mendesak mangsanya ke sudut gua hingga sang mangsa tak berdaya.

Brian adalah singa kelaparan saat itu, buas dan lapar. Angel, anehnya. Justru menjadi mangsa yang menginginkan untuk disantap sang singa.

Kedua tubuh mereka kini saling melekat.

"Katakan kamu milikku!" Desak Brian tak sabar.

"Ah.." bola mata Angel bergerak ke atas karena menahan sensasi nikmat.

"Say it!" Brian memaksa. Ia mulai berkeringat.

"I'm yours," jawab Angel dengan ******* tertahan.

Kedua insan yang tengah hanyut dalam gelora asmara itu pun tenggelam semakin dalam ke lautan kenikmatan.

Maya mulai menuruni tangga ketika Agus yang masih terpaku di belakangnya menegurnya. Seperti masih banyak yang ingin Agus dibicarakan.

"Jadi, begitu saja? Kamu pergi menghilang lagi bersama cowok yang nggak pernah kamu kenalin. Lalu.." Maya berhenti sejenak. Menyimak Agus.

Agus mau mengucapkan sesuatu namun tak jadi. Ia tahu tak ada haknya bertanya siapa pria yang menelepon Maya tadi karena sepertinya Maya sangat tertutup untuk hal itu.

"Okay, paling tidak bisakah berbagi nomor telepon? Kalau kamu buru-buru, jadi lain waktu aku bisa menghubungimu." Teriak Agus.

"Jangan kuatir, Gus. Kita pasti akan bertemu lagi, pasti." Jawab Maya lagi-lagi dengan ekspresi datar.

"Mengapa kamu begitu yakin?"

"Kalau kamu percaya takdir, dan sebaiknya kamu mempercayainya. Agus! Kita ditakdirkan untuk bertemu lagi," Maya tetap membuat Agus penasaran.

"Kamu sengaja membuatku penasaran? Kau mau aku yang mencari tahu soal kamu, kan?" Agus mulai tampak kegeeran.

"Kamu benar-benar melupakan hal terpenting, Gus. Sebaiknya kamu kembali belajar mengingat apa yang kamu lupakan."

Jawaban Maya membuat Agus seperti membeku. Ia ingin kembali bertanya tetapi bibirnya seolah terkunci rapat. Gadis itu melanjutkan menuruni anak tangga dan menghilang dari pandangan.

Ketika Agus tersadar, ia buru-buru berlari ke pagar pembatas, menengok ke bawah untuk menemukan Maya dan teman pria misteriusnya.

Anehnya. Ia hanya menemukan keramaian suasana pesta saja. Dua orang yang dia cari telah benar-benar lenyap entah kemana.

...****************...

Episodes
1 Namanya Maya
2 Rumah Tanpa Surga
3 Selamat Datang di Pesta!
4 Romansa Masa Lalu
5 Rahasia dalam Pesta
6 Wongso yang Baik Hati
7 Ciuman Pertama
8 Kegelisahan Angel
9 Kejutan Untuk Tantri
10 Pacar yang Posesif
11 Pesan Anonim
12 Nona Teka-Teki
13 Brian yang Malang
14 Tertangkap!
15 Yang Maha Mendengar Doa
16 Menerka-Nerka
17 Mengatur Siasat
18 Dia Tahu!
19 Menjaga Zidan
20 All You Can Eat
21 Mari Jujur
22 Rahasia Terungkap!
23 Senjata Terakhir
24 Sungguh Durjana
25 It's Official!
26 Pengakuan, Penghabisan
27 Takdir Mendukung Wongso
28 Malam Kejadian
29 Ketika Setan Tertawa
30 Jebakan Kesepakatan
31 Joe si Tumbal
32 Darurat Gawat!
33 Kelulusan SMA
34 Mobil Hitam Misterius
35 Malam yang Gila
36 Garis Lurus Horizontal
37 Surat Untuk Kekasih
38 Misi Penyelamatan
39 Gadis di Rooftop
40 Jangan Melompat, Rini!
41 Mini Bus Lagi
42 Memburu Maya
43 Monolog
44 Tanda Dari Langit
45 Kamar Berhantu
46 Ke Psikiater
47 Gairah Lama
48 Calon Istri Sang Pejabat
49 Para Hantu yang Marah
50 Membuktikan
51 Kehidupan Kecil
52 Tamu Lama si Pengantin Baru
53 Paranoid
54 Bantuan Datang
55 Tertunda!
56 Menawar Kesedihan
57 Bernostalgia
58 Seperti Layaknya Perpisahan
59 Waktu Berjalan Lambat
60 Kericuhan di Sekitar Stasiun
61 Kenyataan Pahit
62 Pembunuh Kematian
63 Sang Penjemput
Episodes

Updated 63 Episodes

1
Namanya Maya
2
Rumah Tanpa Surga
3
Selamat Datang di Pesta!
4
Romansa Masa Lalu
5
Rahasia dalam Pesta
6
Wongso yang Baik Hati
7
Ciuman Pertama
8
Kegelisahan Angel
9
Kejutan Untuk Tantri
10
Pacar yang Posesif
11
Pesan Anonim
12
Nona Teka-Teki
13
Brian yang Malang
14
Tertangkap!
15
Yang Maha Mendengar Doa
16
Menerka-Nerka
17
Mengatur Siasat
18
Dia Tahu!
19
Menjaga Zidan
20
All You Can Eat
21
Mari Jujur
22
Rahasia Terungkap!
23
Senjata Terakhir
24
Sungguh Durjana
25
It's Official!
26
Pengakuan, Penghabisan
27
Takdir Mendukung Wongso
28
Malam Kejadian
29
Ketika Setan Tertawa
30
Jebakan Kesepakatan
31
Joe si Tumbal
32
Darurat Gawat!
33
Kelulusan SMA
34
Mobil Hitam Misterius
35
Malam yang Gila
36
Garis Lurus Horizontal
37
Surat Untuk Kekasih
38
Misi Penyelamatan
39
Gadis di Rooftop
40
Jangan Melompat, Rini!
41
Mini Bus Lagi
42
Memburu Maya
43
Monolog
44
Tanda Dari Langit
45
Kamar Berhantu
46
Ke Psikiater
47
Gairah Lama
48
Calon Istri Sang Pejabat
49
Para Hantu yang Marah
50
Membuktikan
51
Kehidupan Kecil
52
Tamu Lama si Pengantin Baru
53
Paranoid
54
Bantuan Datang
55
Tertunda!
56
Menawar Kesedihan
57
Bernostalgia
58
Seperti Layaknya Perpisahan
59
Waktu Berjalan Lambat
60
Kericuhan di Sekitar Stasiun
61
Kenyataan Pahit
62
Pembunuh Kematian
63
Sang Penjemput

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!