Melawan Ajal

Melawan Ajal

Namanya Maya

Apa itu takdir?

Sedari kecil, Agus hampir selalu disibukkan dengan pertanyaan sederhana ini.

Sudah banyak cara ia lakukan untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Ia baca buku-buku teori tentang takdir, ia baca buku-buku agama soal takdir. Ia tanyakan pada guru di sekolah, ia tanyakan pada temannya yang dianggap tahu banyak soal takdir. Semua jawabannya selalu sama dan senada: takdir adalah ketentuan mutlak dari Tuhan kepada makhlukNya. Sesingkat dan sesederhana itu.

Tetapi bagi Agus, untuk benar-benar memahami hal sederhana, dibutuhkan effort lebih kuat dan energi lebih besar.

Apalagi soal nasib dan takdir. Jika nasib adalah hal yang fleksibel, masih bergantung pada kehendak bebas yang dikaruniakan Tuhan pada makhlukNya, sehingga seringkali dikatakan bahwa nasib seseorang masih dapat diubah sesuai ketekunannya. Sedangkan takdir ada di level yang lain. Ia mutlak, hak prerogatif Tuhan. Tidak bisa diganggu gugat.

Di sinilah muncul pertanyaan lanjutan di kepala Agus, lalu jika konsekuensi dari konsep takdir ini akan melahirkan apa yang disebut agama islam sebagai qada' dan qadar. Takdir baik dan buruk. Berarti jika takdir Tuhan menuliskan seseorang untuk mati bunuh diri, maka orang tersebut tidak mungkin mati karena vonis penyakit jantung atau covid, misalnya. Dia mestinya mati karena terjun dari puncak apartemen, atau gantung diri, atau meminum racun, dan sebagainya.

Lalu, jika seseorang ditakdirkan mati bunuh diri, buat apa Tuhan memasukkan jiwanya ke neraka? Bukankah itu salah? Bukankah jahat bagi Tuhan melanggar sifat Maha PemurahNya sendiri, dengan menuliskan takdir sekaligus menghukumnya?

Agus telah menghabiskan hampir delapan jam di perpustakaan kampus hari ini. Ia telah membaca berbagai buku untuk menemukan jawaban, yang baginya masih tetap belum memuaskan.

Hingga akhirnya, ia mengambil kamus besar bahasa Indonesia. Buku tebal itu selalu menjadi menu terakhir setelah ia merasa cukup untuk mencari tahu apapun yang sedang ingin ia cari tahu.

Takdir, tak·dir n 1 ketetapan Tuhan; ketentuan Tuhan; nasib: dengan -- , akhirnya kutemukan anak yang hilang itu; 2 jika; seandainya: -- nya terjadi apa-apa dengan diri abang kepada siapa kami akan beruntung; 3 kalau ... pun: -- pun harus menghadapi risiko yang berbahaya, akan diteruskan juga niatnya;

-- Ilahi takdir Allah;

Agus menutup kamus besar bahasa Indonesia di hadapannya dan bergegas mengembalikannya ke rak buku. Ia harus berjingkat sedikit karena letak kamus berada di rak teratas. Ia melirik arlojinya; pukul empat sore.

Perpustakaan kampus buka sampai magrib. Bahkan kalau malam Minggu, bisa sampai jam sembilan malam. Hari itu Senin, dan suasana perpustakaan saat sore hari tak begitu ramai. Hanya ada tiga atau empat pengunjung lain selain dirinya di meja lain.

Jemari Agus menyapu buku-buku lainnya pada rak itu, seperti sedang mencoba menemukan judul lain yang mungkin menarik. Lebih menarik daripada kamus, tentunya.

Iya. Jarang ada orang yang mengunjungi perpustakaan untuk sekadar membaca kamus bahasa Indonesia seperti Agus. Entah sejak kapan ia memiliki kebiasaan itu. Rasanya seperti keharusan, melirik ke dalam kamus bahasa Indonesia untuk mencoba memahami sepatah kata yang sebenarnya sudah ia pahami, atau mungkin masih ingin ia selidiki lebih jauh. Walau kata tersebut lumrah terdengar, seolah menenangkan bagi Agus jika mengetahui arti kata tersebut lebih banyak. Seolah ada energi baru yang dipacu menuju amigdala yang memberinya wawasan baru.

Suara petir di kejauhan.

Agus menghela nafas. Rupanya tak ada satupun judul buku yang menarik perhatiannya.

"Sudah mau pulang?" sapa suara wanita tak jauh di belakangnya.

Agus membalikkan badannya, mencari sumber suara. Kini ia berhadapan dengan pemilik suara itu; seorang wanita sebayanya. Mata Agus seperti radar yang bereaksi cepat menscan sosok di hadapannya: gadis berusia kira-kira 23 tahunan. Tinggi sekitar 165 centimeter, berkulit sawo matang. Rambutnya terurai sebahu, dan mengenakan kaos casual berwarna hitam yang dipadukan dengan rok a line skirt warna putih selutut sebagai bawahan. Sepasang kaki jenjang gadis itu terlihat mengenakan sepatu kets putih.

Agus tak dapat menyembunyikan kekagumannya pada gadis yang tiba-tiba muncul ini. Namun beruntung dia masih dapat mengendalikan situasi.

"Ah, ya. Sepertinya begitu. Tetapi sepertinya di luar sedang hujan deras," mata Agus berpindah dari sosok di depannya ke sekeliling, mencoba mendengarkan lebih seksama suara hujan di luar.

Gemuruh kembali terdengar pelan sekali dari arah luar.

Agus menaikkan jari telunjuknya ke samping telinga kiri, seperti menyuruh si gadis mendengarkan suara hujan.

Gadis itu tak banyak bereaksi. Ia konsisten dengan raut datarnya yang penuh misteri. Matanya indah dengan dua bola mata bulat hitam, saat menatap Agus dengan lurus dan tajam seperti sekarang. Ia seperti sebuah humanoid yang Agus lihat di film sci-fi. Terlihat seperti manusia nyata namun ternyata hanya sebentuk robot Android yang digerakkan oleh sistem artificial intelligence. Namun, siapapun yang melihatnya akan sepakat dengan Agus bahwa gadis ini sangat cantik. Ada kharisma tersendiri yang membuat gadis ini menarik perhatian, tetapi di sisi lain juga menghadirkan banyak pertanyaan di benak Agus yang belum ia pahami.

Agus menyadari bahwa ia tidak mendapatkan respon yang cukup baik. Jadi ia buru-buru menurunkan kembali telunjuknya.

"Jadi? Kamu sendiri gimana? Udah mau pulang juga atau lagi nunggu seseorang?" Agus mencoba berbasa-basi untuk memulai pembicaraan.

Gadis itu untuk pertama kalinya terlihat menyunggingkan senyum kepada Agus. Sebuah senyum kecil yang cukup manis bagi Agus. Tetapi tentu saja, seperti khasnya sejak awal, tetap menyimpan misteri di dalamnya.

"Ow, okay. Saya akan mengambil kartu member dan menunggu hujan reda di lobi bawah."

Agus merasa sedikit kecewa mengetahui fakta bahwa si gadis anonim ini sedang menunggu seseorang yang langsung ia simpulkan sebagai kekasihnya.

"bye," Agus melempar senyum sembari meninggalkan gadis itu. Langkahnya santai namun agak terburu-buru. Di dalam hatinya Agus tahu sang gadis anonim idola barunya itu masih terpaku di tempatnya sambil mengawasi langkah Agus.

Namun, Agus akhirnya berhenti tak lama kemudian. Ia seperti teringat akan sesuatu dan memutuskan untuk kembali berbalik ke tempat ia bertemu gadis tadi. Ia melihat sang gadis masih berdiri memperhatikannya.

Agus mendekatinya kembali, dan pada kesempatan kedua ini Agus seolah semakin tersihir dengan tatapan gadis itu. Dan, seakan ia melangkah dalam gerakan lambat, ia dapat mendengar jelas derap kakinya di lantai perpustakaan sementara matanya terus terjaga dari pengawasan sepasang mata gadis itu.

Lalu, entah darimana datangnya dalam sepersekian detik ada sedikit tiupan angin menerpa wajah gadis tadi yang membuat rambut di bahunya sedikit bergerak lambat. Agus terkesima menikmati momen itu. Sedangkan sang gadis--seolah ingin memberi kesan dramatis pada Agus, kembali memberikan senyumannya tepat dengan momen rambutnya yang tergerak oleh angin tadi.

Hal pertama yang Agus lakukan saat sampai di hadapan gadis itu adalah mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.

"Saya Agus, alumni kampus ini," Agus masih tidak melewatkan sedetikpun dari pengawasannya pada gadis di depannya.

Gadis tadi menyambut jabatan tangan dari Agus. Mereka bersalaman.

Agus menelan ludah, seperti ingin menelan perasaan kikuk dan gugup sekaligus.

Gadis ini memiliki tekstur tangan yang lembut sebagaimana gadis pada umumnya yang pernah berjabat tangan dengannya. Tetapi, tentu saja, selalu ada kesan berbeda yang dirasakan pada pertemuan dengan seseorang yang menarik perhatian.

"Maya," jawab gadis itu akhirnya.

"Maya?" mata Agus berbinar-binar. Ia tak sadar menjabat tangan Maya cukup lama.

Maya, tampak tidak terganggu dengan hal itu. Ia membiarkan Agus larut dalam pikirannya sendiri dan menggenggam tangannya cukup lama.

"Oh," Agus akhirnya tersadarkan.

Ia langsung melepaskan jabatannya sambil mengangkat kedua tangannya memberi isyarat meminta maaf.

"Namaku, Agus. Eh, terdengar pasaran banget, kan?" Agus bercanda ringan.

Maya kembali dengan senyum kecilnya yang misterius itu.

"Tetapi sangat Indonesia," Agus melanjutkan.

"Tentu saja. Kamu selalu bilang begitu setiap berkenalan, kan?" Maya berbicara pelan. Nada suaranya tenang, kalem, tetapi penuh penekanan.

Agus tertawa kecil. Ia lega karena Mata rupanya juga bisa mencairkan suasana.

"Aku nggak tau, ya. Orangtua aku--mungkin juga orangtua zaman dulu kali, ya. Mereka tuh kayak udah punya semacam template buat nama anak. Ya kalo nggak Agus, Budi, Wati. Semacam itu lah." Agus terlihat mulai bisa berbicara dengan lancar dan tenang.

"Nama kamu bagus, kok. Agus Wirajaya." Maya menyebut nama lengkap Agus.

Kedua bola mata Agus terbelalak, "hei. kok kamu bisa tahu nama panjangku?"

Maya tidak memberi tanggapan lanjutan. Ia kembali diam. Memandangi Agus yang kebingungan.

Agus mencoba menerka jawaban pertanyaannya sendiri.

"Kamu menguntit, ya?" Agus sedikit membungkuk di hadapan Maya sambil memicingkan matanya untuk Maya. Penuh selidik.

Dan, seperti biasanya, Maya cuma tersenyum simpul, memancing tanya.

"Sangat mudah mengenali kamu, Agus. Saya selalu mengenali setiap orang." Jawab Mata akhirnya.

Agus semakin curiga. Tampak sekali di wajahnya rasa penasaran yang kian memuncak.

Tetapi kemudian Agus malah terkekeh pelan. Ia seakan menyadari sesuatu yang tampak masuk akal.

"Oh, kamu sering lihat aku di sini, kan? Karena aku suka ke sini. Kadang di sini bersama teman-teman aku, kadang sendirian. Lebih sering sendirian, sih." Agus mencoba menjabarkan analisanya.

"Apalagi waktu garap skripsi, hampir tiap hari aku ke sini. Mengabiskan waktu di sini. Kadang sampai perpustakaan ini mau tutup. Bisa jadi di antara moment-moment itu, kamu, aku tebak kamu suka ke sini juga. Dan diam-diam mengawasi aku," Agus terdengar berhati-hati ketika mengucapkan kalimat terakhir, sesekali ia mengawasi pandangan Maya. Tentu ia kuatir karena percaya dirinya barusan bisa membuat situasi menjadi sulit.

"Kenapa saya harus mengawasi kamu?" Mata Maya seolah ingin menelanjangi Agus saat menanyakan itu.

Berhasil. Agus kini terlihat berusaha menemukan jawaban yang pas.

"Mm, bisa alasan apapun. Siapa juga yang bisa menebak isi kepala gadis cantik dan misterius kayak kamu?" Mata mereka kembali beradu.

"Baik," Agus mencoba sedikit mengalihkan topik.

"Aku anggap kamu nyari tau soal aku di database perpus, dengan alasan yang hanya kamu yang tahu kenapa. Aku nggak mau menebak-nebak lagi, takut kamu anggap aku kegeeran atau apalah." Kelakar Agus.

Ia terlihat menunggu reaksi Maya.

"Sebenarnya, saya memang mengawasi kamu," tukas Maya. Nadanya selalu sama. Pelan, datar, lembut, meyakinkan.

Agus mengangkat kedua bahu.

"Sudah kuduga," sembari memberikan senyum kemenangan.

"Belum pernah ada perempuan yang mengawasi saya sampai mencari tahu nama lengkap saya, di database." Agus tampak tersanjung. Kali ini, ia tidak menyebut diri dengan 'aku' melainkan 'saya'. Sebagaimana Maya.

Kali ini Agus terlihat mencoba lebih formal. Dari tadi, gadis bernama Maya ini selalu menjaga sikap. Tidak pernah memberi reaksi berlebihan dan cenderung angkuh. Bukan, bukan angkuh. Lebih ke misterius. Nada bicaranya sangat terjaga, ekspresinya pun ditata sedemikian rupa untuk tidak terlalu terpengaruh suasana. Bahkan, menyebut dirinya dengan 'saya' dan bukan 'aku' adalah bagian-bagian penting yang menunjukkan rahasia Maya.

"Jadi, mau menunggu hujan reda di coffee shop? " Agus menemukan cara untuk memperlama percakapan mereka.

Maya tak langsung menjawab. Ia berbalik badan, melihat ke arah jendela besar perpustakaan. Hujan belum reda. Kaca jendela besar perpustakaan terlihat berembun. Maya melangkah maju ke arah jendela.

Agus kini mengawasi Maya dari belakang. Gadis itu kini tampak sebagai siluet di antara frame jendela kaca yang berembun.

Maya melihat keluar. Hujan deras membasahi taman di area perpustakaan. Beberapa mobil berlalu lalang di jalan aspal kampus. Seakan berlomba memunculkan percikan air hujan yang menggenang di beberapa titik di jalanan kampus.

Beberapa pejalan kaki terlihat berkeras melawan hujan, ada yang mengenakan payung, ada pula yang berlari kecil sambil menjadikan kedua tangannya untuk menutupi kepalanya.

Seorang pria paruh baya berusia sekitar 45 tahunan tampak menggigil kedinginan di bawah sebuah pohon besar di taman perpustakaan. Ia memeluk dagangannya, sekotak berisi aneka minuman ringan.

"Kalau Maya mau, hujan seperti ini sangat cocok dengan segelas kopi hangat. Kamu bisa memilih menu kopi yang cocok. Kalau saya boleh saran, mungkin latte atau Americano. Agak pahit tetapi pas di lidah. View dari coffee shop lebih baik daripada di sini. Juga lebih ramai. Nggak kalah penting, ada musik." Agus berbicara sambil mendekati Maya yang tengah sibuk memperhatikan suasana di luar jendela. Bapak pedagang minuman tadi terlihat pucat. Tubuhnya gemetar.

Namun tak satupun orang menyadarinya di bawah sana, hujan deras menyita perhatian orang-orang pada pedagang malang itu.

"Kamu percaya takdir, Gus?" Tiba-tiba Maya melontarkan pertanyaan yang sebelumnya memang selalu mengganggu pikiran Agus.

"Ha? Kok? Apa hubungannya sama kopi?"

Agus tak mengerti apa yang sedang dipikirkan Maya.

"Jadi, kamu nggak percaya takdir?" Desak Maya.

Agus berdehem pelan. Mengatur topik pembicaraan di dalam kepalanya sebelum dikeluarkan.

"A, aku. Ehmm, saya...saya ingin bilang saya percaya." Agus berbicara dari balik punggung Maya. Dari jarak sedekat itu Agus dapat mencium aroma parfum yang digunakan Maya. Entah parfum apa, tetapi wanginya sangat khas dan menyenangkan.

"Kamu tidak yakin?" Suara khas Maya kembali terdengar dari sela bibirnya yang mungil. Nadanya pelan dan nyaris seperti berbisik.

"Maaf, kita bisa simpan obrolan ini sampai ke coffee shop nanti. Biar bahan obrolan kita tidak sampai habis." Agus tampaknya belum puas karena Maya belum memberikan tanggapan apapun terhadap ajakannya.

"Orang-orang yang datang ke coffee shop, mereka bebas memilih apapun yang mereka ingin," tiba-tiba Maya membahas soal coffee shop dengan gayanya yang khas itu.

Agus menjadi pendengar setia di belakangnya, matanya fokus menyimak kata demi kata dari Maya.

"kamu menyukai Americano. Tetapi yang lain mungkin datang untuk segelas kopi pahit biasa, atau mungkin segelas susu. Atau mungkin juga teh panas."

"kamu suka yang mana?" Agus menimpali. Makin penasaran dengan arah pembicaraan Maya.

"Orang-orang bebas memilih menu yang mereka sukai. Pemilik cafe menyediakan semua kopi yang mereka mau. Pelayan-pelayan coffee shop membuatkan semua pesanan," pandangan Maya masih melayang jauh ke taman perpustakaan di luar jendela yang tertutup kabut hujan.

"Saya nggak paham. Kamu mau bicara apa? Saya hanya menawarkan kamu untuk menemani saya ke coffee shop untuk ngopi dan mengobrol. " Agus penasaran.

"pelayan tidak bisa membuat menu di luar pesanan, mereka tidak memiliki hak untuk itu. Mereka hanya pelayan." Mata Maya menatap lekat ke luar jendela. Butir-butir hujan menetes di kaca jendela.

"Jadi? Mari kita buat pesanan biar mereka buatkan dua gelas kopi untuk kita, kalau nggak keberatan?" Sekali lagi Agus mencoba.

Maya akhirnya berbalik badan menghadapi Agus yang masih penasaran itu.

Kali ini, Agus kembali dapat melihat wajah cantik Maya yang penuh misteri itu. Rasa-rasanya Agus ingin menyelam ke dalam dua bola mata perempuan di depannya.

"Kamu yang tentukan kopinya, mau rasa apa?" Maya seolah memberi tawaran.

"Baiklah, saya akan memilihkan--tadi udah ditawarin sih. Mungkin kamu... baiklah, sepertinya untuk perkenalan kamu harus mencoba..." Agus belum sempat meneruskan kata-katanya.

"Setiap kopi yang kamu pilih, selalu ada harga harganya." Mata menyela.

Agus sedikit terkejut, tetapi lalu ia tersenyum penuh arti.

"Baik, aku yang traktir," jawab Agus simpel.

"Semua orang menikmati apa yang ia pilih, mendapatkan sesuai yang mereka bayar." Maya rupanya melanjutkan perkataannya yang sebelumnya.

Agus merasa terkecoh. Wajahnya memerah menahan malu. Sementara dia tetap mengawasi gadis di depannya itu, ia melihat Maya tersenyum sekali lagi.

Sambil berbalik kembali menghadap jendela, Mata berkata pada Agus yang terpaku diam di balik punggungnya:

"Kamu lihat bapak pedagang minuman di bawah sana itu?" Mata Maya terpaku pada pedagang minuman yang kedinginan tadi.

Agus mengintip dari balik punggung Maya, mencoba melihat apa yang dilihat Maya. Agus tampak iba namun tak dapat berbuat apapun.

"Kasihan, tak ada satupun orang sekitarnya yang peduli," pungkas Agus, terdengar lirih.

"Seandainya ini semua adalah sebuah coffee shop, Gus. Siapa kira-kira yang membeli kopi paling murah? " Maya bertanya pada Agus tanpa melihat ke wajahnya. Pandangan mereka berdua masih tertuju pada pedagang tua yang kehujanan itu.

Agus memikirkan pertanyaan dari Maya barusan. Ia rasanya mulai menangkap maksud pembicaraan Maya yang seolah-olah menanggapi ajakannya ke coffee shop.

Dari jendela itu pun mereka melihat situasi sekitar taman perpustakaan yang tak banyak berubah dari sebelumnya. Hujan sepertinya pun turun semakin deras.

Bapak-bapak penjual minuman tadi seolah pasrah pada keadaan. Kedua tangannya memeluk kotak dagangannya semakin erat saja. Gemuruh petir di langit sesekali terus terdengar, meninggalkan kilatan cahaya di bumi.

Sementara itu tiba-tiba, secara samar di kejauhan di luar jendela. Tak jauh dari bawah pohon tempat pak tua pedagang itu berteduh, di seberang jalan sana, berdiri sesosok pria berpakaian hitam-hitam. Juga kacamata hitam. Wajahnya tak terlihat jelas dari jendela perpustakaan. Karena di samping hujan yang turun mengaburkan pandangan, pria di seberang jalan yang berdiri mematung itu juga memakai payung berwarna hitam yang menyembunyikan wajahnya.

"Pria di sebelah sana, dia berdiri seperti manekin. Nggak bergerak sama sekali," Agus berkomentar setelah menyadari kehadiran pria itu. Belum sempat Maya menjawabnya tiba-tiba terdengar suara ponsel berdering.

Rupanya suara ponsel Maya. Agus mundur sedikit untuk memberi ruang pada Maya untuk menjawab teleponnya.

"Halo?" Hening. Tak terdengar suara lawan bicara Maya.

"Sekarang? Baiklah," Maya masih berbicara di telepon. Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya telepon ditutup.

Maya terlihat serius kembali. Ia membalik badannya lagi untuk menghadapi Agus yang kian menunjukkan minatnya terhadap misteri sikap Maya sedari awal itu.

Maya lalu berjalan pelan mendekati Agus yang tetap lekat memandangnya. Ia berhenti cukup dekat untuk berbicara di hadapan wajah Agus.

"Di saat seperti ini, semua orang sibuk dengan kopi yang telah mereka pesan sendiri. Menikmati harga yang mereka bayarkan dan tak lagi peduli pada apa yang orang lain bisa nikmati," kali ini, justru Agus yang merasa kalau Maya seolah ingin menerobos masuk ke kedua matanya. Agus hanya diam menyimak apa yang dibicarakan Maya.

"Saya harus pergi sekarang." Kata Maya menutup pembicaraan.

Ia pun berlalu meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Agus dengan segudang pertanyaan di kepalanya. Suara hujan dan gemuruh suara petir tumpang tindih di luar sana. Mengiringi langkah kaki Maya yang terdengar kian menjauh di lantai perpustakaan. Agus sempat termenung beberapa saat sepeninggal Maya. Ia terkejut saat menyadari Maya telah benar-benar tak ada lagi di ruangan itu dan kini benar-benar tak ada siapapun lagi di sana.

Agus menyadari dirinya kini sendirian saja. Saat ia hendak memutuskan untuk pergi juga dari situ, dari ekor matanya ia sempat menangkap hal yang mencurigakan di luar jendela. Agus pun kembali menoleh ke arah luar.

Keramaian. Ya. Ada keramaian.

Di bawah sana kini mendadak ramai. Orang-orang seperti mengerumuni sesuatu di bawah pohon tempat pedagang minuman tadi duduk memeluk kotak dagangannya. Agus menjadi semakin penasaran ada apa di sana namun ia memutuskan untuk menunggu saja dari tempatnya untuk melihat apa yang telah terjadi.

Pada saat itulah Agus terkejut.

Matanya tertanam pada sosok Maya yang berdiri tak jauh dari kerumunan orang-orang itu. Maya hanya diam mematung sambil dipayungi pria bersetelan hitam yang tadi terlihat seperti manekin berpayung. Tingkah Maya membuat Agus bertanya siapa Maya sebenarnya dan siapa pria yang memegang payung untuknya itu? Apakah selama ini mereka saling kenal?

Sayang sekali Agus tak bisa melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Agus hanya melihat keduanya tampak berdiri terpisah dari kerumunan yang lambat laun memperlihatkan apa yang terjadi: dua orang petugas medis keluar dari kerumunan itu menggotong tubuh pak tua pedagang minuman tadi dengan sebuah tandu. Tubuh pak tua itu tampak kaku tak bergerak lagi. Mereka membawanya ke ambulans yang telah siaga tak jauh dari lokasi itu. Deru sirenenya mencoba mengalahkan suara deras hujan.

Kembali pandangan Agus mengawasi Maya dan pria yang memayunginya. Kedua orang itu tampak serasi dalam setelan hitam. Di bawah hujan, mereka ibarat sepasang kekasih serasi yang tengah berduka. Keduanya tak lepas memandangi petugas medis yang sibuk memasukkan jenazah pedagang asongan malang itu ke ambulans. Pintu ambulans ditutup. Seorang polisi dengan jas hujan transparan sibuk mengatur keramaian yang mendadak tumpah setelah pedagang tadi menjadi mayat.

Dalam hati Agus mengutuk mereka semua yang tak satupun datang menawarkan pertolongan lebih awal. Tetapi kemudian ia tersadar bahwa dirinya sendiripun sedari tadi tidak memutuskan apapun untuk menyelamatkan bapak pedagang itu. Tampak raut penyesalan mengalir di wajah Agus.

Hujan sepertinya mulai mereda .

Agus tersadar dari lamunannya. Ia melihat keramaian yang mulai terurai kembali di bawah sana. Tak lama berselang, Agus menyadari Maya dan teman lelakinya kini tak lagi berada di sana.

Dari balik kaca jendela perpustakaan ia menempelkan wajah dan kedua telapak tangannya. Seolah dengan begitu ia bisa meneliti lebih jelas kemana Maya dan teman misteriusnya tadi pergi. Pandangan Agus menyapu area yang bisa ia jelajahi dari balik jendela perpustakaan itu. Namun usahanya sia-sia. Dua orang yang ia cari benar-benar tak lagi ada di sana. Agus terlihat kecewa dan memukul kaca dengan pelan.

Agus bergegas meninggalkan tempat itu. Ia berlari menuruni tangga menuju lobi.

Suasana di lobi perpustakaan masih cukup ramai dan agak berisik. Memang karena lobi merupakan ruang yang tidak dikhususkan untuk membaca buku seperti lantai atas tadi.

Agus menghampiri resepsionis. Seorang ibu bertubuh gemuk pendek, berwajah ramah duduk di balik meja. Tampaknya ia sedang sibuk menginput data-data pengunjung perpustakaan.

"Bu, saya mau ambil kartu member saya," Agus tampak terengah-engah sehabis berlari menuruni tangga.

Ibu resepsionis tadi hanya melirik ke Agus sebentar tanpa berkomentar apapun, langsung memeriksa ke sebuah laci untuk menemukan kartu member Agus. Butuh waktu kurang semenit untuk menemukannya. Ibu itu mengembalikan kartu member Agus.

"Bu, apa tadi Ibu tidak melihat ada gadis cantik, kira-kira hampir setinggi saya. Memakai kaos hitam casual, rok selutut, rambut sebahu?" Agus mengemukakan ciri-ciri gadis incarannya pada si ibu.

Kali ini rupanya ibu resepsionis menunjukkan sedikit minatnya. Ia makin terlihat ramah ketika melayani pengunjung perpustakaan.

"Ada banyak cewek yang datang ke sini hari ini. Hampir tiap hari begitu, kayaknya banyak yang ciri-cirinya kayak yang Mas bilang." Jawab ibu itu dengan tatapan polos.

Agus menggelengkan kepala. Seperti kebingungan.

Ibu tadi menangkap gelagat Agus tersebut sehingga ia mencoba menawarkan solusi, "Mas tinggal sebutin nama lengkapnya siapa, pasti ada di daftar pengunjung." Kata si ibu.

Wajah Agus berbinar kembali dengan saran si ibu itu. Ia benar-benar sulit untuk berpikir jernih saat itu.

"Ah, saya belum tau nama lengkapnya. Yang saya tahu, panggilannya Maya," jawab Agus sedikit bersemangat.

"Sik sebentar, agak susah kalau cuma nama panggilan aja. Lah wong nama panjang aja akeh sing sama. Apalagi hanya nama panggilan," terang si ibu itu dengan wajah menahan tawa. Tetapi meski begitu dirinya tetap mencoba memasukkan keyword "Maya" di layar komputer pada sistem database pengunjung.

Suara jari mengetik terdengar cukup keras. Agus menunggu dengan sabar.

"Ada sekitar...sepuluh, sebelas, tiga belas orang bernama Maya hari ini." Si ibu memutar sedikit layar monitornya agar Agus dapat melihat sendiri.

Agus memperbaiki posisinya untuk dapat melihat dengan jelas ke arah monitor. Ia membaca nama-nama yang ditemukan dengan cepat, lalu ia terlihat kecewa.

Agus berterimakasih atas bantuan ibu resepsionis. Matanya melirik sekeliling ruangan itu, berharap masih menemukan Maya. Nihil.

...****************...

Terpopuler

Comments

Wahyu Zae

Wahyu Zae

Yang saya tangkap di bab pertama:

1. Penulis berani bernarasi panjang lebar untuk menggambarkan suasana sekitar. Setelah sekian lama, saya baru kali ini menemukan cerita bernarasi panjang di pf digital. Yang mana cerita semacam ini adalah kesukaan saya.

2. Penulis berani menerapkan sejumlah analogi pada dialog karakternya. Saya sangat mengapresiasi hal ini karena, sebagai penulis fiksi, kemampuan semacam ini mutlak harus dikuasai.

Secara keseluruhan, saya sangat menggemari cerita ini, terutama cara penulis membangun narasinya dengan bubuhan suspense yang acap kali ditemukan di cerita thriller misteri.

Jangan khawatir, Penulis. Meskipun karya dengan narasi sepadat ini tak lagi digemari para pembaca kebanyakan, paling tidak masih ada saya dan sebagian kecil pembaca lain yang telah terbiasa dengan gaya bercerita sebaik ini.

2023-05-31

1

Wahyu Zae

Wahyu Zae

Sepertinya Agus ini punya dua sisi kepribadian. Ucapan yang terlontar dari mulut Agus ini justru mengindikasikan keberaniannya dalam berkomunikasi, terlebih dengan perempuan. Ini sangat kontras dengan bayangan saya di awal ketika Agus tenggelam dalam sejumlah perenungan tentang pencarian terhadap takdir Tuhan.

2023-05-31

0

Wahyu Zae

Wahyu Zae

Deskripsinya agak futuristik ya? Wkwkwkw.
Tetapi jujur ini sesuatu yang baru. Sebuah terobosan segar di dunia kepenulisan novel.

2023-05-31

1

lihat semua
Episodes
1 Namanya Maya
2 Rumah Tanpa Surga
3 Selamat Datang di Pesta!
4 Romansa Masa Lalu
5 Rahasia dalam Pesta
6 Wongso yang Baik Hati
7 Ciuman Pertama
8 Kegelisahan Angel
9 Kejutan Untuk Tantri
10 Pacar yang Posesif
11 Pesan Anonim
12 Nona Teka-Teki
13 Brian yang Malang
14 Tertangkap!
15 Yang Maha Mendengar Doa
16 Menerka-Nerka
17 Mengatur Siasat
18 Dia Tahu!
19 Menjaga Zidan
20 All You Can Eat
21 Mari Jujur
22 Rahasia Terungkap!
23 Senjata Terakhir
24 Sungguh Durjana
25 It's Official!
26 Pengakuan, Penghabisan
27 Takdir Mendukung Wongso
28 Malam Kejadian
29 Ketika Setan Tertawa
30 Jebakan Kesepakatan
31 Joe si Tumbal
32 Darurat Gawat!
33 Kelulusan SMA
34 Mobil Hitam Misterius
35 Malam yang Gila
36 Garis Lurus Horizontal
37 Surat Untuk Kekasih
38 Misi Penyelamatan
39 Gadis di Rooftop
40 Jangan Melompat, Rini!
41 Mini Bus Lagi
42 Memburu Maya
43 Monolog
44 Tanda Dari Langit
45 Kamar Berhantu
46 Ke Psikiater
47 Gairah Lama
48 Calon Istri Sang Pejabat
49 Para Hantu yang Marah
50 Membuktikan
51 Kehidupan Kecil
52 Tamu Lama si Pengantin Baru
53 Paranoid
54 Bantuan Datang
55 Tertunda!
56 Menawar Kesedihan
57 Bernostalgia
58 Seperti Layaknya Perpisahan
59 Waktu Berjalan Lambat
60 Kericuhan di Sekitar Stasiun
61 Kenyataan Pahit
62 Pembunuh Kematian
63 Sang Penjemput
Episodes

Updated 63 Episodes

1
Namanya Maya
2
Rumah Tanpa Surga
3
Selamat Datang di Pesta!
4
Romansa Masa Lalu
5
Rahasia dalam Pesta
6
Wongso yang Baik Hati
7
Ciuman Pertama
8
Kegelisahan Angel
9
Kejutan Untuk Tantri
10
Pacar yang Posesif
11
Pesan Anonim
12
Nona Teka-Teki
13
Brian yang Malang
14
Tertangkap!
15
Yang Maha Mendengar Doa
16
Menerka-Nerka
17
Mengatur Siasat
18
Dia Tahu!
19
Menjaga Zidan
20
All You Can Eat
21
Mari Jujur
22
Rahasia Terungkap!
23
Senjata Terakhir
24
Sungguh Durjana
25
It's Official!
26
Pengakuan, Penghabisan
27
Takdir Mendukung Wongso
28
Malam Kejadian
29
Ketika Setan Tertawa
30
Jebakan Kesepakatan
31
Joe si Tumbal
32
Darurat Gawat!
33
Kelulusan SMA
34
Mobil Hitam Misterius
35
Malam yang Gila
36
Garis Lurus Horizontal
37
Surat Untuk Kekasih
38
Misi Penyelamatan
39
Gadis di Rooftop
40
Jangan Melompat, Rini!
41
Mini Bus Lagi
42
Memburu Maya
43
Monolog
44
Tanda Dari Langit
45
Kamar Berhantu
46
Ke Psikiater
47
Gairah Lama
48
Calon Istri Sang Pejabat
49
Para Hantu yang Marah
50
Membuktikan
51
Kehidupan Kecil
52
Tamu Lama si Pengantin Baru
53
Paranoid
54
Bantuan Datang
55
Tertunda!
56
Menawar Kesedihan
57
Bernostalgia
58
Seperti Layaknya Perpisahan
59
Waktu Berjalan Lambat
60
Kericuhan di Sekitar Stasiun
61
Kenyataan Pahit
62
Pembunuh Kematian
63
Sang Penjemput

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!