Ada beberapa hubungan pertemanan yang tidak/belum pantas disebut sebagai persahabatan. Buat aku, pertemanan seperti itu biasanya karena tujuannya yang salah, yang pada akhirnya membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya celaka.
Bisa juga bergantung durasi. Semakin lama kita menjalin pertemanan dengan seseorang, semakin banyak pahit-manis yang menggembleng aspek psikologis maupun sosial kita, yang biasanya ini akan memperkuat hubungan pertemanan itu.
Jadi, pertemanan adalah bicara perkara relasinya. Kamu bisa berteman dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja. Tetapi persahabatan adalah soal kualitasnya. Ada banyak aspek-aspek yang harus memenuhi standar hubungan baik sebagai teman.
Aku dan Zidan sudah berteman sejak bangku SMP. Syukurlah, kami juga bersekolah pada SMA yang sama. Kalau berdasarkan durasinya, seharusnya kami layak disebut sahabat.
"Kamu lihat, Gus? Tantri makin hari semakin cantik saja," suatu hari, Zidan Wibawa tentang Tantri. Teman sekelas, mungkin salah satu yang tercantik.
"Terus?" Aku pura-pura saja kurang berminat pada topik ini.
Tantri sedang bercengkrama dengan geng cewek-cewek, klise memang. Tapi begitulah. Kami berdua, dua remaja di masa pubertas yang sedang mengamati gadis idola umat sekolahan. Kami mengamati dari kejauhan, duduk di sebuah bangku panjang dekat lapangan basket.
"Aku hanya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan ini," Zidan mendadak dramatis melankolis.
Aku memandanginya, melongo. Betapa Zidan yang dikenal alim dan relijius itu kini runtuh juga tembok keimanannya.
"Astaghfirullah hal adzim," aku beristighfar sembari mengusap wajahku. Sebenarnya bertujuan untuk menyindir sahabatku itu.
Zidan mendorong kepalaku dengan sedikit kesal. Aku secepatnya mencoba menghindar.
Aku terkekeh melihat gelagatnya.
"Kamu tahu. Jatuh cinta itu enggak berdosa." Dia membela diri. Aku hanya meliriknya sambil menahan tawa.
Zidan menyadari sikapku itu.
"Ah! Lagian aku tidak seperti cowok di sekolah ini, lah. Niatku ya hanya sekadar mengagumi saja. Atau, kalau seandainya berkesempatan mengungkapkan perasaanku langsung dan respon dia pun--misalnya sama dengan yang kurasakan, duh." Mata Zidan menerawang jauh. Jelas sekali dirinya tengah terbawa romansa tentang Tantri di kepalanya sendiri.
"Akan ku jaga dia seperti aku merawat bunga-bunga di halaman rumahku. Ku jaga sekuat tenagaku," tangan Zidan tanpa sadar mengepal. Seakan Tantri berada di dalam sana.
Aku tak kuasa menahan tawa. Akhirnya lepas. Aku terbahak-bahak mendengarkan imajinasi sahabat baikku itu.
"Kamu ketawa? Ah, kamu tahu apa soal jatuh cinta." Cemooh Zidan.
"Sedap," gurauku. Lalu menepuk pundak Zidan, "aku masih ingat kata-katamu dulu waktu SMP. Saat aku di posisi yang sama kayak kamu sekarang, apa nasehatmu ke aku waktu itu?" Kulihat wajah Zidan gantian memerah karena malu.
"Wanita adalah tipu daya dunia." Aku mencoba menirukan suara Zidan waktu itu. Sembari tanganku bergerak di udara, seolah sedang membaca puisi.
Kami berdua tertawa geli.
"Dinda anak kelas 1 yang kamu suka waktu itu, memang penuh tipu daya." Zidan coba berkelit.
"Kulihat dia kencan dengan beberapa orang berbeda-beda. Hari ini A, besok B. Makanya tak maulah aku kalau sahabatku kena juga," ia seakan menunjukkan empatinya padaku. Sebenarnya lebih kepada pembelaan diri saja.
Tetapi begitulah, hubungan antar teman kami menjadikan hal-hal receh seperti romansa masa muda sebagai penguat pertemanan.
"Tapi masih mending lah aku, aku nggak sama Dinda. Aku masih pacaran sama Kayla, sama Retno. Masih lebih paham aku lah soal perasaan jatuh cinta ketimbang kamu." Ledekku.
Kulihat Zidan hanya tersenyum kecil. Matanya tetap tegak lurus mengamati Tantri yang masih mengobrol dengan teman-temannya. Tanpa sedikitpun menyadari dirinya sedang diawasi oleh kami.
Suasana sekolah pada jam istirahat memang selalu ramai. Mungkin itulah mengapa Tantri tampak tak menyadari dirinya sedang kami amati. Lagian buat apa juga dia peduli?
Dalam cerita roman, tokoh wanita yang dikagumi seringkali tidak menyadari dirinya diawasi sepasang mata nakal laki-laki yang jatuh hati padanya.
Di situlah menariknya.
"Kamu mungkin lebih paham soal cinta dari aku. Kamu anggap dengan pengalaman pacaran cinta monyet mu itu kau sudah berada di level tinggi?" Zidan mulai lagi mencari cara untuk mencerca ku.
Gerakan bibirnya terlihat mencemooh ku.
"Jatuh cinta itu harus berkualitas. Tepat waktu dan tepat sasaran," ujarnya.
Ah. Kadang kala ingin rasanya aku sumpal mulutnya pakai lakban. Tentu saja, hanya bercanda. Sikap sok Zidan ini justru yang sering aku rindukan.
"Kualitas atau tidak itu relatif. Standarmu, standar ku, standar tiap orang bisa berbeda. Tidak bisa kamu pukul rata!" Bantahku.
"Kalau gadis yang kamu sukai dan pacari dulu lebih dari gadis yang sekarang sedang kita bicarakan, baru deh kamu bisa bilang soal kualitas." Zidan tetap tak mau kalah.
Aku mengalah sembari menggelengkan kepala. Gemas pada sikap Zidan. Tetapi satu hal, aku setuju soal Tantri yang lebih 'berkualitas' dibanding gadis-gadis SMP yang kukenal dulu.
Tantri tak hanya cantik. Dia smart. Cara dia berbicara di forum OSIS, menyampaikan ide-idenya yang hebat atau sekadar menyampaikan presentasi di depan kelas. Tata bahasa yang rapih, gaya bicara santai tetapi terarah, artikulasinya, gesturnya, attitude, mode pakaiannya, mode rambutnya, senyumnya...ah. Zidan bukan satu-satunya orang yang mengagumi Tantri.
Ada lusinan anak lelaki di sekolah ini yang bakal sepakat dengan kami soal Tantri. Ada banyak anak lelaki yang jatuh cinta pada Tantri selain Zidan. Ya, selain Zidan dan...selain aku.
"Kamu tolong bantu aku bagaimana mendekati Tantri," tiba-tiba Zidan meminta bantuanku. Tentu saja aku terkejut.
"A-Apa?"
"Kamu bilang kamu lebih pengalaman dariku soal cinta. Jadi bantulah sohib mu ini buat ngedeketin dia. Kamu kan pengurus OSIS bareng dia. Bisalah kamu bantu diplomasi," Zidan mengangkat keningnya sembari menatapku.
"Ah, bagaimana bisa seseorang yang jatuh cintanya kalah kualitas seperti aku, kamu malah minta bantuanku?" Aku pura-pura merendah. Tentu saja niatku untuk meledeknya.
Zidan cuma nyengir.
"Itu tandanya aku sebagai sahabatmu masih menaruh respek. Ke siapa lagi lah aku minta bantuan kalau bukan ke kamu?" Zidan setengah merengek kepadaku.
"Halah ngomong aja kamu malu dan nggak punya keberanian. Cupu!" cibirku.
Zidan hanya tertawa cuek sambil terus merengek minta bantuan.
"Oke," kataku sambil pura-pura berpikir.
"Kau tunggu sini."
Aku langsung berjalan ke arah Tantri dan teman-temannya tanpa mempedulikan Zidan lagi.
Zidan panik. Ia sempat mencoba mencegahku karena belum siap dengan reaksi cepat ku ini. Namun terlambat. Aku kini beberapa langah telah lebih dekat ke Tantri. Zidan salah tingkah di belakangku.
"Tantriana Rinjani," aku menyapanya dengan menyebut nama lengkapnya.
Tantri terlihat agak kikuk dengan kedatanganku. Sementara teman-temannya di situ--ku hitung ada lima orang lainnya, terlihat seolah sengaja memberi ruang agar kami bisa bicara.
"I-iya?" Tantri merapikan rambutnya yang sedikit berantakan tertiup angin. Cantik sekali.
Ia menatapku heran. Aku menatapnya kagum. Lantas aku menyempatkan diri melirik ke belakang, ke arah Zidan yang terlihat langsung berpura-pura tak melihat kepadaku. Aku yakin dia penasaran dan tidak akan bisa mendengar percakapan kami dari jaraknya itu.
Aku mengeluarkan lipatan kertas dari saku celanaku. Menyerahkannya ke Tantri. Gadis itu mengambilnya dengan tatapan masih penuh tanda tanya.
"Apa ini?" Suara lembutnya kembali.
"Seseorang menulisnya untuk kamu." Jawabku, puitis.
"Siapa?" Nada bicaranya yang khas dan meneduhkan itu, betapa menariknya.
Aku melirik Zidan lagi. Zidan kembali berakting sok polos. Seolah tak terjadi apapun.
Aku kembali menghadapi Tantri. Sekretaris OSIS yang dalam balutan seragam sekolah itu pun, tetap terlihat anggun.
Aku mencoba mengendalikan diriku. Walau aku telah sering beberapa kali berjumpa dan mengobrol dengannya saat rapat OSIS atau diskusi di kelas, rasanya kali ini berbeda. Ada kecanggungan, semua karena ulah sialan Zidan yang meminta pertolonganku.
Tantri seperti bisa membaca pikiranku. Mungkin karena gelagat ku dari tadi yang terus melirik ke Zidan.
"Ini dari Zidan?" Tanyanya.
Aku agak ragu sebelum menjawab. Tapi akhirnya aku mengangguk pelan.
"Mengapa tak dikasihkan sendiri?" Ia bertanya kembali.
Aku tersenyum kecut sambil lalu berpikir sejenak. Ah. Memang susah sekali meyakinkan wanita terutama yang satu ini.
"Kamu akan tahu jawabannya," aku menjawab sekenanya.
Sambil begitu, aku melangkah mundur perlahan sambil terus memperhatikan raut wajah Tantri yang walau kebingungan, malah terlihat cantik-cantik aja.
"Kamu akan tahu," aku mengulangi. Lalu berbalik badan dan nyelonong pergi.
Kudengar jerit tertahan dari belakangku. Teman-teman Tantri rupanya sedang heboh meminta Tantri untuk segera membaca isi kertas yang kuberikan itu.
Aku kembali pada Zidan yang kali ini terlihat panik bukan main. Aku sendiri menyimpan rasa puas telah membuat ia terlihat seperti itu.
"Kertas apa yang kau kasih ke dia?" ada sedikit penasaran bercampur kecemasan di suara Zidan. Matanya yang bulat penuh menunjukkan ia benar-benar shock dengan pendekatan yang kuambil.
"Kita harus menunggu," jawabku sok misterius. Sembari melangkah meninggalkan Zidan, menuju kelas. Zidan yang penasaran mengejar ku sambil terus menerus mendesak ku.
Aku melirik ke arah gerombolan Tantri sekilas, tepat ketika ia melirikku. Ia belum membuka kertas itu dan sepertinya ia pun tengah menghadapi desakan teman-temannya yang penasaran dengan isi surat dariku tadi. Aku melempar senyum padanya, ia balas tersenyum.
Senyum yang akan selalu kuingat.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments