"Ris, kamu kenapa?" tiba-tiba Tari masuk ke kamarku. Rupanya ia sudah pulang kerja. Lebih cepat dari biasanya. Katanya manager pabrik yang menyuruh. Ada pesan yang dititipkan padaku. "Kenapa menangis seperti ini? Ada apa? Ayo cerita. Oh ya, bagaimana hasil pemeriksaan tadi? Apa kata dokter?" Ia memegang kedua lenganku agar aku bangkit. "Bicaralah Ris!" Pinta Tari.
"Enggak apa-apa." Kataku, sambil menghapus sisa air mata.
"Nggak kenapa-napa kok nangis? Pasti ada sesuatu. Apa kamu bertengkar sama si Fian. Atau ada apa?"
"Kami sudah putus."
"Hah, putus? Maksudnya bagaimana?"
"Ya mas Fian mutusin aku."
"Si Fian mutusin kamu? Wow, mimpi apa dia? Pasti ini nggak benar, kan? Ini bercanda saja, kan? Bagaimana mungkin? Si Fian mutusin kamu, dia pasti ngigau. Pengangguran kelas beras melepaskan sumber uangnya!"
"Tar ...." Aku manyun. "Aku dan mas Fian sudah selesai. Jadi kita enggak perlu membahas dia lagi. Toh dia juga enggak bakal kembali padaku lagi. Dia pasti sudah melupakan aku."
"Jadi dia sudah move on sementara kamu enggak? Begitu? Sebenarnya aku masih belum percaya manusia separasit Fian melepaskan kamu. Tapi aku bersyukur karena akhirnya doaku dikabulkan Tuhan. Lalu apa masalahmu hingga nggak bersyukur lepas darinya? Harusnya kamu yang move on Rissa, selama ini hubungan kalian enggak sehat. Kamu cuma dimanfaatkan saja. Paham enggak?" seperti dugaanku, Tari kembali membodoh-bodohi aku karena menganggap aku terlalu bucin pada mas Fian.
Kalau dibilang bucin, ya memang. Sebagai seorang yang terlahir yatim piatu. Dicintai seseorang membuat aku melayang. Hatiku selama ini kosong dengan kasih sayang dan mas Fian hadir di waktu yang tepat. Ia menawarkan cinta dan mengimingi pernikahan serta keluarga bahagia. Persis seperti apa yang aku harapkan selama ini. Jadi wajar kalau aku benar-benar susah lepas darinya.
"Aku sakit, Tar. Kanker stadium tiga dan mas Fian memutuskan untuk mundur. Ia tak berani mendampingi aku menjalani perawatan ini." Kataku sambil menyerahkan berkas-berkas hasil pemeriksaan.
Tari mengambilnya, membaca lembar demi lembar. "Ya Allah." Ia menutup mulutnya dengan tangan. membiarkan kertas itu jatuh ke lantai. "Jadi karena itu si parasit itu memutuskan kamu?" Tari naik pitam. "Memang benar-benar manusia tak tahu diri. Jahat. Lebih jahat daripada setan. Ia hanya ada saat kamu sehat agar bisa menguras uang dan tenaga kamu. Lagian kamu sih Ris, bodoh. Bucinnya akut banget. Aku ngerti kamu membutuhkan kasih sayang, tapi nggak begitu juga. Dia itu cuma manfaatkan kamu. Lagian ya Rissa, kamu itu cantik. Sangat cantik. Banyak banget lho yang senang sama kamu. Di pabrik saja supervisor sama manager kita rebutan nyari perhatian kamu. Tapi apa, mata dan hati kamu itu tujuan dan isinya hanya si Fian parasit itu saja. Jadi begini kan akhirnya. Ia senang sudah menguras kamu habis habisan, eh kamunya yang sudah hancur-hancuran malah ditinggal begitu saja. Emang nggak ada pikiran itu manusia satu. Heran banget. Awas saja nanti kalau ketemu akan ku beri pelajaran dia. Atau kalau perlu sekarang juga akan ku datangi dia!"
Tari hendak bangkit, katanya mau menyusul ke rumah mas Fian. Tapi aku melarangnya. Untuk apa. Sama saja menjatuhkan harga diriku yang sudah terlanjur diinjak-injak olehnya meski sebenarnya aku masih sedih kehilangan mas Fian. Ia tega saat aku seperti ini.
"Ya sudah. Pokoknya mulai sekarang jangan lagi berurusan sama parasit itu. Kalau nanti dia minta balikan pun kamu enggak boleh menerimanya lagi. Ngerti. Kalau kamu melanggar maka aku sendiri yang akan melabraknya." ancam Tari.
"Iya iya. Enggak akan kok." Kataku, yang juga yakin mas Fian juga enggak bakal minta balikan. Dia sudah tidak membutuhkan aku, seperti yang dikatakan Tari.
Setelah menutup cerita tentang mas Fian. Tari memberikan informasi padaku bahwa Bu Mega, manager yang membawahi aku menyampaikan pesan bahwa aku dipanggil ke kantor. Aku diminta datang saat kondisi sudah membaik. Kalau masih sakit disarankan istirahat dulu hingga kuat.
"Kok panggilannya begitu ya, Tar. Apa jangan-jangan aku mau dipecat?" aku menatap Tari. Dua pekan lalu aku memang sempat pingsan di pabrik. Setelah itu aku disuruh pulang. Aku sempat masuk, namun disuruh menjalani pemeriksaan ulang setelah awal bulan melakukan rangkaian pemeriksaan yang cukup panjang.
Sekarang aku benar-benar khawatir. Kalau pabrik memberhentikan aku, lalu bagaimana kedepannya. Mengingat saat ini mencari pekerjaan bukanlah hal yang mudah apalagi dengan kondisi seperti ini. Sebenarnya aku tak bisa menyalahkan pabrik sendiri sebab memang begitu aturannya. Kalau kebanyakan izin maka akan dirumahkan karena yang dibutuhkan pabrik memang tenaga kita.
"Sudah, jangan khawatir dulu. Tenang saja. Kalaupun memang ada kemungkinan terburuk seperti itu kita hadapi sama-sama." Tari menggenggam tanganku. "Aku akan selalu bersama kamu asal kamu nurut enggak balikan lagi sama si parasit itu. Aku berharap kelak ada laki-laki baik yang juga mapan bisa mendampingi kamu mengingat kamu itu baik dan juga cantik Ris."
Aku hanya mengangguk. Kalaupun itu memang benar bagaimana? Meski Tari mengatakan siap membantu tapi aku juga harus sadar diri. Tari juga hidupnya tidaklah mudah. Ia bekerja di sini untuk membiayai ibu dan keempat adiknya yang masih kecil-kecil. Lulus SMA, Tari juga terpaksa ke ibukota demi bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi tentunya dengan gaji yang jauh lebih besar ketimbang sebagai buruh kasar di kampungnya yang hanya digaji dengan seliter beras.
"Kamu juga, semoga mendapat jodoh yang baik ya Tar. Yang bisa membantu kamu menafkahi keluarga kamu." Kataku.
Kami berdua sudah menjadi teman dekat sejak pertama kali bertemu. Dua tahun lalu. Saat itu kami baru sama-sama lulus SMA. Aku keluar dari panti asuhan Sementara Tari yang usianya lebih tua satu tahunan dariku datang dari kampungnya. Ketemu di pabrik sebagai karyawan baru. Lalu memutuskan ngekos di tempat yang sama. Nasib yang tak pernah merasakan kebahagiaan sesungguhnya juga beban hidup membuat kami sering menghabiskan waktu melepas lelah dengan bercerita bersama. Setelah itu kami akan mendeklarasikan kebahagiaan kami ketika nanti menjadi seorang istri. Namun impianku sepertinya tak akan tercapai sebab Mas Fian sudah memutuskan aku.
"Tenang saja Ris. Nanti, aku yakin kamu akan menemukan jodoh yang tepat. Siapa tahu jodoh kamu adalah seorang dokter atau CEO seperti dinovel-novel online yang aku baca." Tari tertawa. "Kalau aku sendiri, nggak berani bermimpi tinggi. Kelak, kalaupun harus menikah dengan petani atau butuh ya enggak apa-apa. Asalkan hidupnya enggak seberat sekarang ini!" Kata Tari sambil tertawa kecil.
Dibalik tawa itu sebenarnya ada rasa lelah. Rasa sedih yang teramat berat. Beban yang sebenarnya sudah tak sanggup dipikul namun Tuhan belum mau mengakhiri dengan cerita baru yang lebih indah. Tuhan masih ingin menguatkan bahu kami dengan ujian-ujian ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
RACHMAH PARAUDDIN
thor semangat......
2024-08-05
0