"Terimakasih dok." kataku. Sambil membungkukkan sedikit badan sebagai penghormatan.
"Untuk apa?" tanya lelaki tersebut.
"Sudah menghalangi saya bunuh diri dan memberi motivasi. Sekarang pikiran saya sudah terbuka dan saya tak akan melakukan hal bodoh itu lagi." Aku berjanji padanya.
"Hm," ia terlihat acuh.
"Tapi ngomong-ngomong, rumah sakit semewah ini kenapa tak menyediakan tempat beristirahat untuk karyawannya? Biasanya kan di rumah sakit lain ada kamar khusus dokter dan perawat. Aku yang buruh saja punya tempat istirahat di gudang."
"Siapa bilang kami tidak punya?"
"Lalu kenapa Anda tidur di sini? Seperti tidak punya tempat saja."
Lelaki itu diam. Memandang dengan dinginnya. Tatapan itu membuat aku tak bisa berkata-kata.
"Eh, aku pamit dulu. Sekali lagi terimakasih ya dok!" Aku buru-buru keluar dari rooftop setelah melambaikan tangan pada dokter muda yang menurutku sangat tampan sekali. "Dokter S Pratama. Aku berhutang Budi padamu." ujarku.
***
Langkah kakiku terhenti di depan kosan lantai dua ketika seseorang memanggil. Bu Yana, ia adalah ibu pemilik kosan ini. Perempuan paruh baya itu mengingatkan tentang bayaran kosan yang sudah menunggak tiga bulan. Sebenarnya aku sangat beruntung bisa tinggal di sini meski sudah nunggak tiga bulan. Bu Yana juga tak pernah marah, ia mengingatkan dengan cara sopan dan sangat sabar. Bahkan meski aku selalu nunggak, ia masih tetap baik padaku.
"Maaf ya Ris, tapi ibu katakan padamu, anggap saja ini nasihat dari seorang ibu untuk anak perempuannya. Kamu itu kan bekerja, harusnya uang penghasilan kamu dinikmati sendiri karena memang kamu tak punya tanggungan lain selain diri sendiri. Jangan diberi ke pacar terus menerus hingga kamu kekurangan." Nasihat Bu Yana saat ku katakan masih belum punya uangnya sebab mas Fian belum membayar hutang-hutangnya. Padahal sebelumnya aku sudah menjanjikan.
Awal bulan saat gajian, rencananya aku akan membayar tunggakan kosan karena kebetulan lemburanku sudah turun. Tapi mas Fian meminjamnya karena di rumah sudah tak ada uang pegangan. Ibunya tak bekerja selama dua pekan ini karena sakit. Mas Fian juga memberi angin surga, mengharapkan dengan pinjaman dana dariku maka hati ibunya akan luluh dan merestui hubungan kami.
Bu Upi, ibu kandungnya mas Fian memang tak merestui hubungan kami sebab aku bukan anak kuliahan. Aku hanya lulusan SMA. Sementara anaknya, mas Fian adalah seorang mahasiswa. Sekarang sudah masuk tahun ketujuh dan kalau tidak lulus juga tahun ini makanya ia akan di DO.
Aku yang kala itu memang benar -benar berharap restu akhirnya memberikan semua uang gaji dan lemburan. Hanya tersisa lima ratus ribu untuk uang makan. Namun sekarang hubungan kami sudah kandas. Jangankan restu dari orang tuanya, anaknya pun sekarang sudah tak menginginkan aku.
"Jangan tersinggung ya Ris. Ini demi kebaikan kami. Rissa itu anak yang baik tapi jangan mau dimanfaatkan. Kamu enggak wajib menanggung beban hidup orang lain kan belum ada hubungan apa-apa. Kalau sebatas pacaran mah belum ada ikatan. Kapanpun bisa putus. Yang rugi nanti malah kamu sendiri." Kata Bu Yana lagi.
"Ya Bu, enggak akan lagi. Kami sudah putus." Kataku dengan suara pelan.
"Oh, maaf ya Ris. Udah jangan sedih lagi. Kamu itu cantik, banget malahan. Mudah kok dapat pengganti. InshaAllah. Yang penting tetap jadi anak baik. Apa mau ibu kenalkan dengan seseorang yang insha Allah lebih baik dari si pemuda parasit itu?" Kata Bu Yana yang memang memberi julukan mas Fian pemuda parasit karena ia selalu numpang seperti parasit yang menghisap inangnya yaitu aku.
"Nggak usah repot-repot Bu, saya mau menata hati dulu." Kataku, yang paham kemana arah pembicaraan Bu Yana.
Sejak awal ngekos di sini, Bu Yana secara terang-terangan menyatakan kekagumannya padaku. Entah dari bagian apa ia bisa menyenangi aku hingga selalu mengoceh ingin menjodohkan anaknya, mas Anas, yang saat ini baru lulus kuliah denganku. Hal itu juga yang membuat Bu Yana selalu bersikap baik dan mentolerir jika aku terlambat membayar uang kosan. Bu Yana juga selalu jutek kalau mas Fian datsng ngapel ke kosan. Ada saja sindiran yang ia lontarkan. Mas Fian sebenarnya sampai merasa tak nyaman namun aku belum mau pindah lantaran tak yakin bisa mendapatkan ibu kos sebaik Bu Yana.
"Bu, maaf, saya izin masuk dulu ya." Kataku. "InshaAllah besok saya ke pabrik mau ngajuin kasbon supaya bisa melunasi tunggakan kosan." Kataku.
"Eh nggak usah nyari hutangan di tempat lain. Rissa tagih saja sama si parasit itu. Atau kalau butuh bantuan biar ibu ikut bantu nagih. Ibu juga sudah gemas sekali sama itu anak. Bagaimana?" Tawar Bu Yana.
"Ya Bu, nanti kalau sudah baik-baik saja akan saya tagih sendiri." Kataku.
Tak mau bicara panjang lebar yang berujung pada ghibahin mas Fian, aku pamit ke kamar. Naik ke lantai dua, menuju kamar paling ujung. Kamarku. Kamar yang ukurannya tak terlalu besar namun cukup nyaman karena selama dua tahun ini aku tinggal di sini.
Masuk ke dalam kamar, pintunya ku tutup tanpa di kunci. Aku meletakkan tas secara sembarangan, lalu duduk di atas kasur tipis bekas punya Tari, sahabatku yang tinggal di kamar sebelah.
Kenapa nasibku begini tragis. Aku tak sanggup lagi untuk tak menangis. Meratapi ujian yang Allah berikan padaku. Seumur hidup apakah memang harus selalu sendiri. Tanpa siapapun yang bisa menemaniku. Kalau sehat-sehat saja mungkin aku masih bisa tegar, namun jika nanti sakit bagaimana?
Semalam aku menyempatkan diri membaca artikel tentang kanker. Bagaimana rasa sakitnya, akibatnya serta pengobatannya. Butuh biaya yang sangat banyak. Kalau tidak berobat maka sel kankernya akan menjalar dengan sangat cepat. Lalu bagaimana ini? Apa aku harus pasrah saja, merasakan sakit hingga akhirnya malaikat maut mencabut nyawaku? Tapi apa sanggup sementara menahan sakit perut saja kadang aku tak sanggup makanya kalau menjelang haid selalu izin karena tak sanggup.
Lalu bagaimana dengan biaya hidupku kalau aku sakit nanti? Siapa yang akan menanggung makanku? Apa aku masih tetap boleh tinggal di sini meski nantinya penyakitan, jelas-jelas tak akan mampu membayar biaya kosan. Tangisku semakin menjadi -jadi, tak tahu lagi harus bagaimana.
"Tuhan ... apa maksud dari semua ini? Kenapa rasanya rumit sekali? Saat ini aku gak punya siapa-siapa. Lalu aku harus bagaimana? Apa menerima takdir diam di sini hingga tak ada? Ya Allah ... apa itu bukan bagian dari bunuh diri?" Aku kembali menangis, meraung-raung sambil berbaring karena tak sanggup membayangkan betapa menyedihkan hidupku nantinya. Aku akan hidup di bawah belas kasih orang lain. Kalau tak ada yang kasihan maka semuanya benar-benar berakhir. Menjadi manusia yang terbuang bahkan mungkin akan hidup di jalanan seperti gelandangan yang sering terlihat di pinggiran Ibukota. Ya Allah ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
RACHMAH PARAUDDIN
semangat risa meskipun kamu di vonis kanker oleh dokter.....teruslah berjuang
2024-08-05
0