Aku yang semula ingin menangis segera bangkit. Berjalan menuju lift. Aku tahu, dibagian paling puncak gedung rumah sakit ini ada rooftop. Karena rumah sakit ini memang satu bagian dengan pabrik obat tempatku bekerja. Ada di lantai sepuluh. Di sanalah aku akan mendapatkan akhir dari cerita hidupnya.
Pintu lift terbuka. Aku segera memencet lantai sepuluh. Lantai paling atas rumah sakit. Setelah ini, mas Fian akan menyesalinya, sebab lelaki itu beberapa kali pernah mengatakan tak bisa hidup tanpa diriku.
"Kau akan menyesal mas Fian sebab sudah meninggalkan aku!" pintu Lift terbuka. Aku melanjutkan perjalanan, menaiki anak tangga hingga sampai di tempat yang ditujunya.
***
Angin bertiup agak kencang. Membuatku menggigil kedinginan. Makanya aku harus mendekap diri sendiri untuk menekan rasa dingin itu. Berdiri di pinggir. Menatap ke bawah. Tampak parkiran mobil hampir terisi penuh karena ini bertepatan dengan jam besuk. Lalu rasa gamang membuat merinding.
Sebulan lalu, aku merasa hidupnya benar-benar sempurna ketika akhirnya mas Fian melamar. Lelaki itu menghadiahkan cincin silver putih sebagai tanda bahwa kami sudah bertunangan. Aku yang yatim piatu benar-benar bersuka cita, bahkan kala itu aku sampai melonjak bahagia seperti mendapatkan hadiah berlian. Padahal hanya cincin silver biasa yang harganya bahkan tak sampai seratus ribu. Tapi kala itu, bahkan sampai sekarang pun aku gak peduli dengan harganya, yang membuatku bahagia akhirnya aku akan memiliki keluarga juga seperti orang-orang lain.
Tetapi semuanya sirna, sebab sakit yang diderita. Kanker di kepala ini sudah masuk stadium tiga. Mungkin bagi orang-orang masih ada harapan, itu juga yang ada dipikiran ku awalnya, tapi hilang setelah mas Fian bicara.
Pada siapa lagi aku dapat bergantung? Jika kondisinya benar-benar down nantinya, aku berharap mas Fian yang akan merawat sebab kami saling mencintai, tapi sebelum melakukannya, mas Fian sudah menolak mentah-mentah.
Sebenarnya yang membuatku semakin sedih adalah sikapnya yang tiba-tiba bertolak belakang dari biasanya yang selalu manis padaku. Mas Fian benar-bemar tega. Selama ini aku ikut berjuang untuknya tapi sekarang ia malah begini. Lagipula aku juga tahu diri, tak akan diam berpangku tangan selamanya, setelah sehat nantinya aku juga akan kembali bekerja karena memang dasarnya aku selalu berjuang sendiri untuk diriku. Menjadi anak yatim piatu membuatku harus kuat sejak dini.
"Selamat tinggal dunia. Aku akan menuju keabadian. Aku akan bertemu ayah dan ibu yang sudah lama aku rindukan di surga nanti. Setelah itu aku akan bahagia. Tak akan ada lagi rasa sakit, lelah dan juga ditinggalkan. Hidupku akan bahagia untuk selamanya." hembusan angin kembali membuatku kedinginan. "Bismillahirrahmanirrahim!"
"Hei, apa yang kau lakukan!" suara seseorang dari balik tembok.
Aku cepat-cepat mundur. kaget mendapati seseorang sedang berjalan ke arahku. Lelaki memakai jas dokter.
S. Pratama. Begitulah nama yang tertera di papan namanya.
"Si ... siapa kamu?" Tanyaku, takut-takut. Khawatir ia tahu niatanku dan akan menjadi masalah untukku. Padahal hanya ingin mati saja, kenapa harus ketahuan seperti ini.
"Harusnya aku yang bertanya. Siapa kamu?" lelaki itu balik bertanya.
"Rissa. Aku Rissa."
"Kamu mau bunuh diri? Kamu itu mikir nggak, kalau kamu mati bunuh diri di atas sini, maka tempat ini akan jadi salah satu tempat angker. Pertama-tama, akan banyak polisi, wartawan dan orang-orang kepo ke sini untuk memeriksakan atau sekedar ingin tahu lokasi rooftop ini.
Kalau apes, akan ada banyak orang yang mengikuti kangkahnu. Bunuh diri dari sini. Kau tahu ujungnya. Orang-orang yang mengaku bisa melihat makhluk halus akan membuat konten-konten di sini. Lagi-lagi semakin banyak yang keluar masuk seenaknya.
Tau apa artinya? Tempat ini tak akan senyaman ini lagi. Akan jadi bising oleh orang-orang yang entah pikirannya seperti apa, tapi yang jelas bising dan mengganggu untukku. Aku tak akan bisa lagi istirahat atau sekedar tidur siang di sini padahal kau tahu, aku benar-benar lelah!"
"I ... iya. Aku paham. Maaf,"
"Lagian, apa kamu bilang tadi. Bunuh diri terus masuk surga? Hahaha." lelaki itu tertawa terpingkal-pingkal. Membuatku kesal. Seolah diejek meski yang ia katakan benar. Mana ada orang mati bunuh diri langsung masuk surga! "Kamu nggak belajar agama? Pantas pikirannya pendek. Ada masalah sedikit mau bunuh diri. Ckckckck. Tak adakah yang memberimu nasihat kalau bunuh diri itu adalah salah satu dosa besar!"
"Masalah sedikit? Hei, apa menurutmu, kanker hanya sebuah masalah kecil? Apalagi pengidapnya adalah seorang miskin yang terlahir yatim piatu. Apesnya lagi dia nggak punya siapa-siapa untuk bertahan hidup selain dirinya sendiri." tukasku. "Oh ya, satu lagi, ia baru diputusin pacarnya. Paham!"
"Ckckck, aku baru saja mau bersimpati. Tapi tak jadi. Kau memang kurang iman. Tidak punya pegangan agama."
"Apa maksudmu bicara seperti itu?"
"Orang yang tahu agama, seberat apapun masalahnya, nggak akan berpikiran untuk bunuh diri. Itu bukan solusi terbaik. Apalagi berpikir akan berkumpul kembali di surga? Kamu bercanda? Mana ada orang yang mati bunuh diri masuk surga? Ngawur! Di tambah satu lagi, pacaran! Oh no! Kamu mau mati bunuh diri hanya gara-gara ditinggal pacar? Sempit sekali jalan pikirannya. Laki-laki bukan hanya dia saja. Harusnya kamu bangkit, buktikan bahwa kamu berharga. Kalau dia bisa mencampakkan kamu apalagi karena alasan kamu sakit, kenapa kamu tak bisa melakukan hal yang sama sepertinya? Buktikan kalau kamu juga bisa hidupnya tanpanya! Ayolah girl, jangan berpikiran sempit. Hei, atau jangan-jangan kamu ....?"
"Apa?"
"Iya kan?"
"Astagfirullah! Hei, jangan menuduh seenaknya. Itu namanya fitnah. Aku dan dia belum pernah melakukan hal-hal terlarang. Bahkan jalan bareng bisa dihitung jari karena kami sibuk kerja untuk masa depan. Aku bekerja dari Senin sampai Sabtu di pabrik dari pagi sampai malam. Jarang sekali aku tak mengambil lembur. Pada akhir pekan kugunakan untuk bekerja tambahan. Bagaimana bisa kau menuduhku serendah itu padahal kau tak kenal aku. Jahat sekali!"
"Ya baguslah. Kalau begitu kamu nggak perlu terlalu down dong."
"Tetap saja. Kamu tak akan tahu bagaimana takutnya aku. Sudah tak ada lagi yang bisa aku andalkan."
"Tapi kamu masih punya Tuhan. Berharap pada manusia hanya akan kecewa, berbeda dengan berharap pada Tuhan."
Aku diam sesaat. Mencoba mencerna perkataan lelaki di hadapanku. Benar juga, kenapa aku bisa sependek itu berpikirnya. Apalagi sampai berharap mas Fian akan frustasi karena aku bunuh diri. Yang ada lelaki itu akan cuek saja. Malah tak peduli juga aku mau melakukan apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
RACHMAH PARAUDDIN
betul pak dokter, bunuh diri bknlah jln baik untuk lari dr maslah /Good/
2024-08-05
1