"Semuanya udah berubah ..."
Annisa memandang cermin di depannya. Tak ada raut bahagia sama sekali. Hanya ada raut cemas, khawatir untuk menjalani hidup ke depannya. Perempuan itu masih belum tau beberapa kejutan yang akan menantinya. Tapi yang Annisa pahami, kalau pernikahan mendadak ini akan membawa hidupnya ke masalah baru nantinya.
"Bunda ..."
Annisa buru-buru keluar kamar mandi dan tersenyum kecil. Melihat Rama yang sudah duduk di pinggiran kasur.
"Aku kira kemaren cuman mimpi doang!" adu Rama dengan bibir yang mengerucut. "Soalnya bunda nggak ada di samping aku. Aku kan kaget. Untung aja bunda cepet keluar kalau nggak aku bakalan nangis."
Annisa tertawa gemas.
"Kamu kenapa lucu banget sih," erangnya sambil geregetan sama pipi Rama yang sangat menggebung itu.
"Ish bunda mah ... aku lagi serius juga."
"Hahaha ... iya maaf." Annisa mengusap kotoran mata Rama sambil sesekali mengusap pipi tembamnya. "Kamu mau mandi sekarang atau gimana? biasanya kamu mandi sendiri atau di mandiin?"
"Mandi sendiri," ucap anak itu. "Soalnya ayah paling nggak suka kalau aku manja sampai di mandiin gitu bunda ... makanya aku sering mandi sendiri. Jadi ya sekarang aku bakalan mandi sendiri. Tapi di mana ayah?" tanya Rama menatap sekitaran
"Ah ... ayahmu ada kerjaan," bohong Annisa sambil tersenyum palsu. "Jadi ... tadi pagi dia keluar," lanjutnya pelan.
"Bunda nggak bohong kan?" tanya Rama sambil menatap memicing. "Soalnya ayah suka bohong!" adu Rama
"Bohong? bohong gimana?" Annisa duduk mendekat ke Rama. Annisa dan kekepoannya tidak akan pernah terlepas sama sekali.
"Itu loh ... ayah bilang kalau nanti malem mau tidur sama aku. Tapi pas bangun udah nggak ada di samping aku. Aku nanya dong sama ayah, katanya ayah udah tidur di samping aku. Tapi akunya aja yang nggak sadar. Padahal aku suka sengaja nggak tidur biar bisa bareng sama ayah. Tapi ternyata ayah aja nggak pernah masuk kamar aku pas malam."
Rama menghela napas.
"Makanya ... bunda jangan bohong juga ya sama aku. Nanti pas kita udah di rumah, aku mau tidur sama bunda. Bunda gak bakalan menolak kan?"
"Iya ... enggak kok."
"YEAY!" Rama memeluk Annisa dengan sangat erat. "Seneng karena akhirnya aku bisa ngerasain yang nggak pernah aku rasain selama ini."
Annisa hanya bisa tersenyum miris. Di usianya yang masih sangat belia, Rama harus bisa merasakan ketiadahadiran seorang ibu di rumah. Yang mana sosok ibu sangat penting di pertumbuhan setiap anak. Tapi perkembangan Rama berhasil menunjukkan, kalau anak itu juga bisa pintar tanpa bimbingan dari ibunya.
Tapi kan .. tetap saja, Annisa kasihan melihatnya.
"Ya sudah ... mulai besok, kamu tulis aja ya nak. Apa yang kamu mau lakuin sama seorang ibu. Nanti ... insya Allah bunda bakalan wujudin mimpi kamu."
"Beneran bunda?!"
Annisa mengangguk.
"YIPPIE! MAKASIH BUNDA." Rama memeluk Annisa sambil terus mengecupi pipinya.
***
"Nah ... anak bunda udah tampan," puji Annisa
"Iya dong ... anak ayah Bram mah emang selalu tampan," seru Rama dengan semangat. "Tapi bunda ... aku lapar nih. Aku mau makan. Kita makan sekarang yuk. Nggak usah nunggu ayah lagi."
Dari semenjak bangun, Annisa memang belum ketemu sama Bram lagi. Dia juga nggak mendapat pesan sama sekali dari Bram. Kemana pria itu? Annisa menatap khawatir dan sedikit bingung.
Masalahnya, ia ada di tempat yang kurang ia pahami. Jadi, Annisa kurang tau harus gimana.
"Tapi, nak ... bunda nggak tau tempat makannya di mana. Kita tunggu ayah kamu aja ya," pinta Annisa dengan penuh harap.
"Loh bunda nggak tau?" bingung Rama. "Ya udah kalau gitu bunda ikutin aja aku. Aku tau kok tempatnya! soalnya ayah sering ajak aku ke sini. Ini kan hotel punya ayah," beri tahu Rama yang mengejutkan Annisa.
"Hah?" gumam Annisa pelan. 'Sebenarnya aku menikahi pria yang sekaya apa? sampai ... mas Bram punya hotel segala. Duh, ini mah aku kayak perempuan yang nggak tau diri. Aku jadi takut," gumamnya lagi di dalam hati.
"Bunda! kenapa bengong," Rama menarik lengan Annisa. "Ayuk kita makan. Rama lapar!"
"Ah— eh iya. Ayuk makan."
Annisa merampas dompet di dekatnya dan ia juga masih mengenakan baju Bram yang dikasih semalam dan buru-buru keluar mengikuti langkah Rama.
"Loh mas?" sapa Annisa saat melihat Bram ada di depan kamar sambil memegang sebuah tote bag.
"Eh iya ... ini kalian pada mau ke mana?"
"Aku mau makan ayah!" adu Rama. "Ayah kemana aja sih? kenapa nggak tidur sama aku? terus ... pas pagi-pagi juga nggak ada di samping aku. Aku marah sama ayah!"
"Hahaha ... maafin ayah ya nak. Ayah ada urusan dulu. Udah sekarang kita makan dulu," ucap Bram sambil membawa anaknya ke gendongan. "Dan Annisa ... ini saya belikan baju yang layak untuk kamu. Pakai dulu sana. Saya sama Rama tunggu di sini."
"Eh iya, mas. Makasih ..."
***
"Makan dulu Annisa," perintah Bram.
Bram baru sadar saat melihat piring Annisa yang masih penuh karena sejak tadi perempuan itu menyuapi Rama. Ia hanya fokus sama anaknya. Ya ... Bram yang melihat itu memang bahagia. Karena ia mendapatkan perempuan yang perhatian sama anaknya.
Tapi Bram juga nggak mau di tuduh sebagai suami yang jahat karena menelantarkan istrinya. Apalagi masih ada mertaunya di sini.
Bram mencari dua orang yang tadi bersama mereka dan seketika, ia menggelengkan kepala. Di sana ada mertuanya yang membawa makanan banyak sampai benar-benar menumpuk.
Annisa mengikuti arah pandang Bram.
"Maaf ya mas," ucapnya dengan sangat pelan. "Aku nggak bisa berhentiin ibu sama bapak. Yang ada mereka bakalan marah. Aku cuman bisa minta maaf sama kamu karena tingkah mereka yang kayak gini. Aku beneran minta maaf."
"Sudahlah ... kamu fokus saja dengan makanan kamu. Karena setelah ini kita harus datang ke rumah dan pasti banyak yang harus kamu kerjakan."
Annisa mengangguk.
Ia kembali memusatkan perhatian pada Rama dan mengusap sisa makanan di sekitar mulut Rama.
"Makasih bunda!" ucap Rama semangat
Bram yang mendengar itu langsung menoleh ke arah mereka dan memandang terkejut. "Bunda?!"
Annisa mengangguk pelan.
"Iya yah ... bunda, memangnya kenapa?"
"NGGAK ADA YANG BUNDA-BUNDAAN!" bentak Bram membuat suasana menjadi hening bukan main. "Panggil tante. Karena yang pantas di panggil bunda cuman orang yang melahirkan kamu. Bukan orang asing yang masuk ke hidup kita! dia nggak pantas dipanggil bunda," ucap Bram sambil menatap tajam anaknya.
"DENGAR ...," Rama mengangguk pelan seraya mengusap air matanya yang turun. "Sekali lagi ayah denger kamu manggil tante itu dengan sebutan bunda. Ayah nggak akan biarin sama sekali. Ayah marah sama kamu!"
Bram meninggalkan mereka begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi. Meninggalkan luka sedikit di hati Annisa.
"Memang akunya yang nggak boleh berharap sama sekali."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments
Liu Zhi
tp kasihan lho Rama, Bram
2023-05-13
1
Liu Zhi
Ah Ram gemesin
2023-05-13
0