"Rama ... dengerin tante ya. Nenek kamu ngomong gitu karena takut tante nggak sayang sama kamu. Tapi di sini tante mau menyangkal omongan nenek kamu, karena tante nggak merasa bakalan jadi ibu yang jahat sama kamu!"
"Beneran? jadi nenek bohong ..."
"Nenek kamu nggak bohong, tante yakin kalau nenek kamu ngomong gitu karena khawatir tante nggak sayang sama kamu. Itu cuman ketakutan nenek kamu aja, makanya nenek kamu minta kamu buat jaga diri gitu. Padahal kenyataannya nggak gitu. Tante memang belum pernah merawat anak kecil secara intens. Ini juga pertama kali tante ngelakuin ini. Tapi tante janji akan terus sayang sama aku."
"Beneran?"
Annisa mengangguk sambil tersenyum sangat lembut.
"Kita sama-sama belajar ya nak ... tante tahu kamu baru umur dua tahun, tapi tante jelas tahu kalau kamu ini pinter banget. Sampai tante dibuat kagum terus sama kamu. Dan tante juga udah banyak belajar dari kamu. Jadi, kalau tante ada salah atau nggak sengaja nyakitin kamu. Kamu langsung bilang aja sama tante. Biar tante belajar dan gak buat kamu sedih lagi."
Annisa melepas pelukan dan tiduran telentang sambil menatap langit kamar hotel. Tangan mereka masih bertaut satu sama lain.
"Ajarin tante ya nak."
"Aku boleh manggil tante dengan sebutan bunda?"
Annisa tertegun dan langsung mengangguk dengan cepat.
"Boleh, nak. Boleh banget. Ya ampun, ini kenapa jadi terharu banget." Annisa mengusap air matanya yang turun. "Udah ah. Aku nggak mau nangis, mendingan sekarang kamu tidur. Udah malem."
"Okei bunda."
***
Bram berdecak kasar. Ia melirik jam yang melingkar di lengannya. Sudah jam sepuluh malam. Tapi Annisa belum ke kamarnya juga. Bram mengendurkan dasi dan memilih untuk bersih-bersih lebih dulu.
Tapi, sampai Bram selesai bersih-bersih juga. Annisa nggak ada tanda-tanda untuk datang.
"Saya paling benci sama orang yang nggak bisa menghargai waktu. Apa dia senggak bisa itu buat nidurin Rama?" ucap Bram memilih mengunjungi kamar anaknya itu.
Tanpa menekan bel, Bram langsung masuk ke dalam dan langkahnya dibuat berhenti saat melihat dua orang di sana yang sedang terlelap. Amarahnya langsung hilang melihat kedua orang itu yang sangat pulas.
"Pantas saja, benar juga ... harusnya saya biarkan Annisa istirahat dulu. Sudahlah, bahas peraturan mah. Masih bisa besok. Nggak usah di pusingkan sekarang," ucapnya lalu berbalik.
Tapi langkah Bram terhenti saat ia sadar kalau pakaian Annisa sangat terbuka terlihat dari pantulan kaca lemari di depannya. Ia menggeleng dan berbalik. Memilih untuk menyelimuti keduanya.
"Tu— tuan?" gumam Annisa yang sadar adanya pergerakan, ia langsung duduk membuat mata Bram terbelalak dan langsung berbalik, membelakangi Annisa.
"Pakai bajumu dengan benar!" panik Bram dengan napas memburu.
Mau bagaimana pun, dia hanya seorang pria yang memiliki nafsu. Siapa yang nggak tergoda melihat bahu perempuan yang polos seperti itu? Nyaris satu tahun Bram nggak pernah menyalurkan nafsunya. Tapi kini ia malah disuguh kan penampilan seperti ini.
"Sepertinya kamu juga sudah sadar," gumamnya lalu melempar jaket yang sejak tadi membalut tubuh Bram
Annisa baru mau protes karena Bram melemparnya asal sampai mengenai wajahnya. Tapi urung karena sadar bathrobe dia terlepas. Langsung saja dia memakai jaket dan merekatkannya sampai atas.
"Maaf tuan ..."
"Sudahlah, kamu kalau tidak lelah. Silahkan datang ke kamar sebelah untuk membicarakan sesuatu yang penting sama saya. Tapi kalau kamu masih lelah, silahkan istirahat. Kita bicarakan semuanya besok pagi, sebelum anak saya bangun."
Bram melangkah pergi dan meninggalkan Annisa sendiri.
"Pergi aja kali ya," gumamnya
Perempuan itu memastikan Rama aman untuk ditinggal sebelum ia meninggalkan kamar itu dan masuk ke kamar yang dimaksud Bram. Di sana Bram sudah duduk di salah satu sofa dengan angkuhnya.
Annisa masih berdiri di balik pintu dan menatap rupa suaminya itu. Tampan sih. Tapi sombong. Wajahnya benar benar sengak. Terkadang Annisa takut sama aura yang di keluarkan suaminya. Sekarang Annisa menyesal karena sudah berbicara adalah seperti itu. Mana sampai di sanggupi lagi.
"Kenapa masih berdiri, cepat duduk!"
Annisa merengut dan langsung duduk. "Tuan jangan marah marah terus dong. Gue nggak suka. Aih ini mah ternyata aslinya galak. Beda banget kayak anaknya," seru Annisa yang nggak ada takut-takutnya sama sekali
"Gue?" pancing Bram
Annisa menatap balik dengan bingung.
"Iya gue?" ucapnya bingung. "Bahasa gaul loh. Eh jangan bilang tuan nggak tau bahasa gaul lagi? karena keseringan ngomong saya-anda, duh formal banget," ucap Annisa sambil mengibaskan tangan di depan Bram. "Nih gue ajarin. Gue-lu ... kece loh kalau udah ngomong pakai kayak gini."
"No ... tentu saja saya paham," jawab Bram dengan maklum. "Tapi ... suami istri mana yang ngomong gue-lu?" tanya Bram sambil menggeleng kecil. "Okei ... saya maklum karena perbedaan umur kita."
"Loh emangnya tuan umur berapa?"
"Tiga puluh lima," jawabnya enteng.
"Woah," seru Annisa yang kaget sampai menutup mulutnya. "Om?" ucapnya tanpa sadar membuat Bram menepuk keningnya. Ada aja ucapan yang dilontarkan sama Annisa yang membuatnya terkejut. "Ternyata aku nikah sama om-om. Ya ampun tuan ... umur kita jauh banget," ucapnya lagi
Annisa memeluk dirinya dambil berteriak kecil dan terus memberontak, padahal nggak ada yang menahannya. Bram yang melihat hanya terpaku. Dia nggak tahu kalau pilihan asalnya ternyata selebay ini.
"Aku nggak mau di nikahin sama om-om. Bawa aku pergi."
"Sorry Annisa, tapi ini cringe banget," ucap Bram membuat Annisa langsung terdiam dan berdeham. Cukup merasa malu juga sama tingkahnya. "Dan ... bukan saya yang mau menikah sama kamu. Tapi kamu sendiri yang langsung menodong suatu pernyataan ke saya," ucap Bram berusaha mengingatkan kejadian pertemuan mereka pertama kali.
"Iya ih! gue inget ... nggak usah di perjelas juga," ucapnya dengan malu
"Dan satu Annisa ... aku-Kamu saja, no gue-lu. Kita bukan temenan yang bisa bebas ngomong kayak gitu. Ada aturan nggak tertulis yang harus bisa sopan satu sama lain. Bukan nya kayak gini," peringat Bram lagi, kali ini dengan tegas.
Annisa menunduk dan mengangguk.
"Maaf tuan ..."
"Panggil saya, mas ... kita suami istri."
"I— iya mas," ucapnya terbata.
Untuk sesaat nggak ada yang mengatakan apa-apa lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Annisa yang berusaha menyangkal kalau dirinya kini udah miliki status yang berbeda dan nggak bisa sesantai dulu dan Bram yang terus memerhatikan gerak gerik Annisa yang sangat kikuk itu.
Sampai Annisa ingat sesuatu dan memandang Bram dengan mata penuh tanya.
"Mas ... tapi apa alasan kamu nerima omong kosong aku pas itu?" tanya dia
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments