Laksmana Abimanyu

Badan tegap atletis, kulit eksotis, alis bak semut beriring dengan hidung yang mancung, sekilas seperti keturunan Arab. Namun itu salah besar, karena Laksmana Abimanyu Tribuana yang lebih dikenal dengan nama Bima adalah asli keturunan Indonesia. Papanya keturunan Sunda-Jawa. Mamanya asli mojang priangan. Dari namanya saja sudah jelas menunjukkan identitas, jika sang papa menyukai tokoh pewayangan. Bima, merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya Ningrum Ayuningtyas Tribuana sudah menikah dan baru memiliki putra satu berusia 5 tahun. Sedangkan kakak keduanya Yudhistira Arya Tribuana lebih dikenal dengan Mas Arya, memimpin perusahaan cabang kedua, sudah menikah dan berputra satu seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Sedangkan Bima sendiri berusia 25 tahun, baru menyelesaikan S2 nya di luar negeri. Harapan papa dan mamanya Bima mau memimpin dan membesarkan cabang tiga di kota kecil di wilayah Jawa Barat. Namun sayangnya harapan tersebut belum bisa terwujud, sepulangnya dari luar negeri, Bima hanya menghabiskan waktunya dengan bermain dengan teman dan sahabatnya semasa SMA dan kuliah S1 di ibu kota, dengan alasan liburan setelah penat mengikuti perkuliahan kejar tayang karena tak boleh berlama-lama. Kekhawatiran dalam hal pergaulan bebas membuat papanya bertindak tegas. Alasan lain tentang rasa malasnya adalah merasa buat apa bekerja terlalu keras jika semua fasilitas mudah di dapat dari orang tuanya.

Sebersit penyesalan muncul di hati sang papa, karena memanjakan si bungsu. Dari itu, ketika Angga sang papa bertemu dengan Saskia di pemakaman serta mendengarkan segala keluh kesah gadis tersebut, papanya berbesar harapan akan perubahan Bima putra bungsunya dengan mempertemukan Bima dan Saskia serta melihat langsung bagaimana perjuangan hidup gadis tersebut.

"Bim, kapan kamu akan ke cabang tiga?" tanya Papa Angga lembut. Angga sadar, jika keras dan terlalu tegas justru Bima akan melawan.

Rasa heran timbul di hati Bima, menyadari perubahan intonasi papanya.

"Males ah pa," lebih seperti gerutuan jawaban dari Bima atas pertanyaan papanya.

"Cabang Tiga itu buat kamu, baru tiga tahun papa dirikan. Kamu sudah lulus kuliah, sekarang waktunya mengabdikan diri juga membesarkan perusahaan itu." Tatap matanya lembut tapi tajam tepat ke netra hitam si bungsu.

Mendapat tatapan tersebut sontak membuat Bima tunduk. Rasa hatinya tidak biasanya gelisah, ingin melawan seperti biasanya, tapi kelembutan yang dihadirkan papanya mampu membungkam mulutnya yang biasanya keluar kata-kata pedas pada sang papa. Tak peduli apakah papanya sakit hati ataukah tidak, dia acuh.

"Nanti Bima pikirkan, pa." Pada akhirnya suara lemah keluar dari bibir tipis Bima yang agak menghitam akibat nikotin yang selalu dia hisap berbatang-batang dalam sehari bahkan lebih dari satu bungkus. Kebiasaan itu di mulai ketika dia mendapatkan kekecewaan karena tidak lulus pada jurusan yang dia impikan. Selain tidak lulus papanya juga tidak menyetujui kuliah di bidang tersebut, karena dianggap tidak menjanjikan masa depan. Walaupun sekolah di luar negeri sesuai harapan papanya, Bima tetap menjalani hobinya bermain musik dan tak lepas dari nikotin.

Langkah kakinya diayun ke kamarnya di lantai dua. Segera Bima membasuh diri di kamar mandi yang berada di kamarnya untuk memberikan sepercik kesegaran pada tubuhnya yang beberapa hari ini tak kenal air.

Masih berbalutkan handuk, diambilnya baju santai di lemarinya yang besar dimana sudah tersusun rapi pakaiannya. Walaupun belum memulai kerja, tapi mama papanya sudah menyediakan pakaian kerja di bagian sisi lemari lainnya. Bima menatap nanar pada bagian susunan pakaian tersebut. Senyum tipisnya hadir hiasi wajahnya.

*

Senja merayapi bumi, semburat jingga terlihat indah dari balkon kamar Bima. semilir angin dingin berhembus membangunkan Bima yang rupanya tertidur di sofa yang ada di balkon. Netranya memicing nanar, menatap cakrawala yang mulai redup pertanda siang tlah usai dan malam pun merayap. Kumandang adan Magrib terdengar, di telinga Bima adan kali ini terasa berbeda, lebih syahdu dan terasa lebih merdu. Satu sisi hatinya meminta ia segera berwudlu tapi sisi hati yang lain memintanya untuk tetap duduk dan mendengarkan adan bahkan rasa kantuk mulai kembali menyerang.

Tetiba suara kucing bertengkar masuk ke telinga Bima, membuat kesadarannya pulih. Bima pun beranjak ke kamar mandi setelah menutup pintu ke arah balkon.

Malam itu dilalui Bima dengan perasaan gelisah, ada rasa penasaran dengan perusahaan cabang tiga tapi juga enggan melaksanakan titah sang papa.

Sepulangnya dari luar negeri tak ada kegiatan yang dilakukan Bima selain main dan berlibur ke tempat-tempat wisata terdekat dari ibu kota. Bima merasa masih bisa santai selama ada tabungan, selama kuliah di luar negeri selain uang bekal dari papanya berlebih, kegiatan dia di bidang musik juga mendapat fee yang lumayan sehingga Bima leluasa dengan uang tabungannya.

Sampai larut malam matanya belum bisa terpejam. Setiap memejamkan mata selalu saja yang membuat matanya kembali terbuka, entah kemarahannya pada sang papa, kekecewaan pada setiap keputusan ataupun keinginannya atau hal-hal kecil kejadian masa SMA maupun kuliah yang secara random masuk dalam pikirannya.

Karena tak kunjung matanya bisa terpejam, akhirnya Bima bangun, membawa sebungkus rokok serta korek api kesayangannya melangkah keluar kembali ke balkon. Disesap nya batangan mengandung nikotin tersebut dengan pelan seolah memasukkan asap tersebut ke tiap sel-sel syaraf kepala nya yang terasa buntu. Tatapannya kosong ke arah jalan di depan rumahnya yang sepi, jarum jam di tengah kamarnya yang bernuansa monokrom menunjukkan pukul 01.15, dari arah ujung jalan rumahnya terdengar suara pedagang mie tek-tek. Rasa lapar tiba-tiba muncul, cacing-cacing dalam perutnya seakan berdemo, diingatnya jika ternyata tadi siang dia belum makan karena amarah pada sang papa masih menguasai hatinya.

Segera Bima turun, berjalan ke arah dapur diambilnya mangkuk yang agak besar beserta sendok. Dengan tergesa Bima keluar melalui pintu samping rumahnya yang paling mudah ke arah halaman depan.

Ditunggunya pedagang mie tek-tek, ketika lewat tepat di depan rumahnya segera dihentikan nya. Rupanya pedagang mie tek-tek tersebut seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh belasan. Menyadari usianya lebih tua, Bima memanggil tukang mie tek-tek dengan sebutan Dek.

"Dek, mie tek-tek nya satu ya. Manis agak pedas." Pinta Bima.

"Iya bang," dengan cekatan penjual mie tek-tek langsung membuat mie sesuai pesanan Bima.

"Masih sekolah, Dek?" tanya Bima memecah kebisuan yang tercipta, hanya gemuruh suara kompor gas dari tabung 3kg yang terdengar juga sentuhan spatula pada wajan.

"Sudah tidak, Bang." Suara pedagang mie pelan terdengar.

"Putus sekolah?" Lanjut Bima.

Hanya anggukan yang menjadi jawaban.

"Kenapa?" tanya Bima kembali.

"Awalnya siang sekolah, malam jualan. Tapi saya cape bang, jadi saya jualan aja malam hari, pagi hari saya jualan nasi uduk, siangnya menyiapkan untuk jualan mie malam hari." Jawabnya panjang, memutus rasa penasaran Bima.

"Kalau masih sekolah, harusnya kelas berapa?" Bima semakin ingin tahu keadaan pedagang mie.

"Kelas 11, Bang." Jawabnya pendek.

"Orangtuamu?"

"Bapak meninggal ketika saya kelas 10, adik saya tiga. Awalnya emak yang jualan, emak fisiknya lemah. Sejak bapak meninggal sering sakit-sakitan. Jadi saya inisiatif mengambil peran emak. Kasihan emak juga adik-adik, biarlah saya yang mengalah. Dulu Bapak pernah berkata, suatu saat jika bapak gak ada maka sayalah yang harus bisa diandalkan." Panjang penjelasan pedagang mie, seraya menyerahkan mangkuk yang sudah terisi dagangannya.

"Berapa harganya?" tanya Bima.

"Lima belas ribu bang." Jawabnya.

Sejak awal Bima memegang uang selembar berwarna merah, mendengar apa yang disampaikan pedagang mie tersebut membuat Bima semakin penasaran dengan perjuangannya. Diurungkan niat untuk segera membayar.

"Dek, masuk sini dulu. Temani abang makan mie. Nggak apa-apa kan?" tanyanya.

Si penjual mengangguk dan tersenyum, lantas membawa tanggungannya ke dalam masuk halaman rumah keluarga Bima.

Bima menikmati mie yang dibelinya.

"Biasanya sampai jam berapa kamu dagang?" lanjutnya penasaran.

"Kalau lagi rame, jam 2 pagi juga sudah pulang. Tapi kalau sepi seperti sekarang, jam 4 pagi saya pulang. Kecuali kalau hujan lebat, saya secepatnya pulang. Karena biasanya jarang pembeli juga kasihan emak sama adik-adik di rumah, khawatir kebanjiran." Pedagang mie tersebut menjawab panjang, tatap matanya nanar ke arah jalan di depan.

"Nama kamu siapa?"

"Saya Kamil, bang." suaranya pelan terdengar.

"Tunggu sebentar ya. Saya ke dalam dulu, bawa titipan buat emak nya Kamil." Sengaja mangkuk ditinggalkan di depan Kamil.

Gegas Bima masuk ke dapur besar yang menjadi kekuasaan mamanya. Bima tahu mamanya selalu menyimpan bungkusan beras 5kg-an untuk di berikan ke orang yang membutuhkan. Diambilnya sekantung, lantas Bima membuka lemari es yang biasanya penuh dengan segala kebutuhan keluarga selama sepekan. Diambilnya sebungkus naget juga sosis, tak lupa mengambil telur ayam yang rapi tersusun dalam wadahnya yang khas. Dikemasnya semua dalam satu wadah yang memudahkan untuk membawa. Segera Bima keluar menemui Kamil.

"Ini ada bekal untuk emak juga kamu sekeluarga. Terimalah." Suara lembut Bima terdengar di telinga Kamil.

Mata Kamil berkaca-kaca, apa yang diberikan Bima merupakan kebutuhan yang ingin segera Kamil penuhi.

"Terima kasih, Bang." Tanpa ragu Kamil menerima, karena Kamil merasa itu adalah rizki untuk keluarganya. Apalagi melihat kesungguhan Bima yang awalnya hanya membeli semangkuk mie tapi dengan tergesa memberikan apa yang Kamil butuhkan.

"Ini untuk membayar mie tadi," Ujar Bima seraya menyerahkan uang selembar berwarna merah.

"Tidak usah bang, apa yang abang beri ini lebih dari cukup untuk membayar semangkuk mie tadi." Tolak Kamil.

"Tidak, saya membeli mie. Ini uangnya wajib kamu terima. Apa yang saya berikan, itu semata-mata saya perpanjangan tangan mama saya yang biasa memberi." jelas Bima. Mau tidak mau Kamil menerimanya.

"Ambil kembaliannya, dan ini untuk adik-adikmu jajan." Lanjut Bima seraya mengulurkan dua lembar uang warna merah yang tadi sempat dia ambil di dompetnya yang tidak sengaja dia letakkan di lemari dekat dapur.

Mata berkaca-kaca menjadi jawab dari Kamil, tak kuasa mengucapkan terimakasih hanya uluran tangan pada Bima dan mengecupnya lama.

"Semoga rizki keluarga abang lebih dan tambah berkah." Doa Kamil.

"Aamiin." Jawab Bima.

*

Dari seorang Kamil, pedagang mie tek-tek Bima mendapat pelajaran berharga. Betapa dia merasa lalai dan kurang bersyukur. Tidak terbayang dalam benaknya jika itu terjadi pada dirinya.

Setelah Kamil berlalu, ditutupnya pagar juga pintu samping rumah. Disimpannya mangkuk di bak cuci. Lantas segera dia beranjak ke kamarnya.

Ada dua pasang mata yang sendu dari balik gorden, menatap si bungsu dengan segala kelakuannya yang di simak dari awal. Ada air mata tertahan dari keduanya. Sepasang suami istri paruh baya berpelukan dalam haru dan ucap syukur, berharap dan tetap berdoa semoga bungsunya menjadi pribadi yang lebih baik dan mau menerima apa yang menjadi keinginan mereka.

*

*

*

Panjang neh...

Akankah Bima dengan mudahnya insyaf?

🤭🤔

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!