Tangkapan Penting

Bapaknya Taupan tergantung tak bergerak di dalam sebuah sel penjara dengan keamanan maksimal dan berlapis. Jadi setelah sel besi, ruang itu dilapisi kaca anti peluru yang tebalnya lebih dari 1 cm. Bahkan di setiap sudut sel itu, moncong senapan mesin siap memuntahkan peluru.

"Semuanya sudah siap?" ucap letnan Anwar pada jajaran anak buahnya dihadapan monitor yang baru saja selesai menyiapkan segala sesuatunya.

"Siap," jawab salah satu anggotanya dari hadapan komputer.

"Jatuhkan," titah letnan Anwar.

BUKK!

Tubuh Wirja pun dijatuhkan secara otomatis. Tali gantungannya hanya mengendur, bukan putus.

Letnan Anwar dan beberapa staf ahli tampak seksama.

Tidak ada gerakan, sepertinya Wirja tidak hidup lagi.

***

"Bapak menyerahkan diri, sekarang aku sendiri Min," ucap Taupan setelah ia merasa pening membaca kitab dan bersandar di pohon, di luar rumahnya. Jamin menepuk pundak Taupan. Sebagai seorang sahabat, Jamin mengerti kebingungan Taupan.

"Sudah, kau tinggal saja di rumahku. Istriku pasti tidak keberatan," ujar Jamin. Taupan malah bengong.

Hari hampir gelap. Istrinya Jamin menyusul.

"Hey, kalian ini. Mana hasil buruannya?"

"Lepas lagi," jawab Jamin.

"Ayo pulang, sudah mau malam," lanjut istrinya Jamin itu.

"Pan, ayo ikut, Sumirah masak enak hari ini," ajak Jamin. Tapi Taupan menggeleng.

"Nanti saja, aku mau sendiri dulu," Jawab Taupan masih dengan tatapan kosong pada suatu yang tidak tentu.

"Kau kan belum makan?"

"Gampang, nanti aku tangkap b*bi hutan saja."

"Ya sudah, aku pulang dulu," pamit jamin lantas menggandeng istrinya.

Hari benar-benar sudah gelap ketika Taupan sudah merasa bosan melamun. Ia pun menyalakan lampu minyak jarak di dalam rumah dan menyalakan obor di luar rumah.

Cahaya itu sedikit mengurangi kesepiannya. Ia pun rebahan di dalam rumahnya, menatap jauh langit-langit, melepaskan lelah hati dan tubuhnya. Kembali angannya berpesiar mencari kenangan indah untuk menghibur kesendiriannya. Tapi tidak ada, yang ada hanya roman-roman ketakutan para pemilik bank dan nasabah-nasabah saat dirampok. Sebenarnya ia tidak suka merampok, hanya terpaksa karena ajakan bapaknya.

"Untuk menyeimbangkan alam," dalih bapaknya tempo hari ketika ia bertanya pada bapaknya. Ingat wajah wanita-wanita muda yang bersih-bersih yang cantik-cantik di dalam bank itu, kembali keinginan untuk mempunyai pasangan mendera jiwanya.

Ia pun bangkit dan mencari peti yang diceritakan bapaknya itu. Ia buka alas tempat sesaji yang terbuat dari anyaman daun pandan. Ada sebuah ruang di balik papan meja itu dan sebuah kotak kayu kecil teronggok di situ. Ukurannya sejengkal tangan orang dewasa. Ia ambil dan membukanya saja. Sebuah gulungan kain sutra sebesar cerutu. Ia pikir, jampi atau tarekat terakhir yang harus ia jalani itu ia harap bisa membuat indra penciumannya normal kembali.

Kini Ia duduk bersila membuka dan membaca untaian huruf-huruf kuno itu. Anehnya, selesai ia melafalkan mantra itu, ia mendapati lantai tanah bergerak naik-turun, seperti ia berada di atas perut raksasa yang sedang tertidur. Ia pun tersentak kaget dan berdiri. Tidak ada teman untuk berbagi keanehan, ia pun putuskan untuk keluar rumah supaya lebih leluasa ngecek keadaan tanah yang tiba-tiba jadi seperti perut raksasa.

Di luar kemudian. Ternyata benar, tanah bergerak seperti menarik dan mengeluarkan napas. Bukan hanya itu, ia juga melihat akar-akar pohon yang besar berlilitan sekarang tampak berdenyut. Persis seperti urat nadi. Daun-daun pun seperti sedang berbisik dengan sesamanya. Ramai sekali, seperti jutaan para pendemo tapi bahasanya tidak dimengerti oleh Taupan. Berisik sekali.

Taupan jadi bingung. Bahkan, angin yang membelainya, membisikkan bahasa. Bahasa yang tidak ia mengerti. Ia jadi pusing sendiri dan kini ia berlutut. Ketidakngertiannya membuatnya menyerah dan bersimpuh lesu.

"Anakku, bangkitlah. Bangkit dan lanjutkan perjuanganku merebut harga diri bangsa kita."

Mendengar itu, Taupan jadi makin bingung, siapa yang telah berucap tadi. Ia tengok kiri kanan hanya bayang-bayang pohon yang berbaris tak beraturan. Ia pun melihat langit dan awan-awan hitam yang juga berdenyut. Sepertinya suara tadi bersumber dari atas, pikir Taupan. Ia pun menaiki pohon yang paling tinggi. Ia naik cepat sekali, seperti seekor monyet yang cekatan.

Di puncak pohon itu ia edarkan pandangan dan buka telinga lebar-lebar. Di antara bisikan angin dan gemuruh suara dedaunan yang asik bergosip dengan sesamanya.

"Aku hanya kalah, tapi aku tidak akan pernah menyerah. Bangkitlah, bangkitlah anakku, raih kembali kehormatan bangsa kita dari bangsa manusia yang terkutuk!" suara itu seperti auman singa raksasa, menggelepar dan menggema di lereng-lereng bukit.

Otak Taupan tak bisa mengerti apa maksud dari ucapan itu. Itu bukan suara ayahnya, ia yakin. Suara besar dan menggelepar itu sungguh membuat nyalinya ciut dan rasa penasaran memuncak sudah di ubun-ubun. Taupan putuskan untuk mencari sumber suara itu. Ia meloncat dari ujung pohon yang satu ke ujung pohon yang lain. Ia seperti tupai besar yang cekatan.

"Kalah? kehormatan bangsa?? dari manusia???" pikir Taupan. Apa aku ini bukan bangsa manusia? lalu aku ini mahluk dari bangsa apa??"

***

Terpopuler

Comments

Hadi Ghorib

Hadi Ghorib

like ke 206

2021-06-09

1

Lindayana LUbis

Lindayana LUbis

pembuka cerita yg menarik thor. mantap. lanjuut

2021-05-03

2

Wiselovehope🌻 IG@wiselovehope

Wiselovehope🌻 IG@wiselovehope

❤️😀❤️😀❤️😀

2021-03-31

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!