"Kasih tau kalau bapak lagi sakit dan ... Minta aku pulang."
Yoga tak menjawabnya. Ia masih sakit hati dengan sikap orang tuanya Kinanti. Penghinaan dari bapaknya Kinanti membuat Yoga menutup hatinya dan tidak peduli lagi dengan mertuanya itu.
Kinanti menatap sedih wajah Yoga, karena Yoga sama sekali tak merespon, justru yang ada Yoga langsung memunggunginya.
Kinanti menghela napasnya pelan. Sedih melihat sikap suaminya yang sama sekali acuh.
"Mas...." Panggil Kinanti lembut, sambil menggoyangkan pundak Yoga.
"Aku capek, mau istirahat," sahut Yoga.
Kinanti menatap nanar punggung Yoga. Iya tahu kalau suaminya itu masih sakit hati dengan kedua orang tuanya. Kinanti berharap suatu saat nanti suaminya dan orang tuanya bisa berdamai.
Kinanti merebahkan tubuhnya dan menatap sedih langit-langit kamarnya. Bayangan-bayangan wajah bapaknya tergambar di pelupuk matanya. Kerinduannya terhadap ibu dan bapaknya semakin menggunung, tapi untuk datang menemuinya tak berani.
***
Hari-hari terus bergulir dan Kinanti tidak lagi membicarakan tentang bapaknya yang sakit, begitu juga dengan Yoga, yang semakin hari semakin sibuk dengan kerjaannya. Bahkan akhir-akhir ini Yoga selalu pulang larut malam dan waktu untuk bersama keluarganya saja sudah tidak ada.
Yoga saat ini tengah gencar-gencarnya kerja demi mendapatkan posisi sebagai manager. Maka ia tidak peduli dengan anak dan istrinya di rumah.
"Mas Yoga jam segini belum pulang-pulang," gumam Kinanti sambil melihat jam dinding yang saat ini sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
"Mas, kamu semakin hari semakin jauh dengan aku dan anak-anak. Aku tahu kamu kerja buat menghidupi kami, tapi kapan kamu punya waktu untuk kami." Lirih Kinanti di dalam hatinya.
Tidak lama terdengar suara mesin mobil. Kinanti bernapas lega, akhirnya suaminya yang sejak tadi dicemaskannya pulang.
Yoga hampir terlonjak melihat istrinya belum tidur. "Kenapa jam segini belum tidur?" Ucap Yoga.
"Gimana mau tidur. Kamu nya aja baru pulang jam segini," jawab Kinanti.
"Lain kali nggak usah nungguin aku pulang," sambung Yoga sambil berlalu menuju kamar.
Kinanti mengikuti Yoga masuk ke kamar dan menutup pintunya.
"Aku nggak bisa, mas. Hatiku nggak akan tenang jika mas belum pulang. Dan lagian mas juga, kenapa harus lembur terus sih. Kapan kamu punya waktu buat anak-anak," cecar Kinanti.
"Kamu kan tahu sendiri kalau aku tuh kerja, agar cepat naik jabatan. Harusnya tuh kamu dukung aku, bukannya mengomel," dengus Yoga.
Bukannya mendukungnya agar cepat naik jabatan, Kinanti justru mengomelinya. Pikir Yoga kesal.
"Aku dukung kamu kok, mas. Tapi jangan terlalu memforsir diri, hanya demi sebuah jabatan. Lembur kerja boleh, tapi nggak harus setiap hari. Tubuh kamu juga perlu istirahat." Kinanti terus mengomeli Yoga.
Wajarlah, sebagai seorang istri pasti sangat mencemaskan suaminya.
"Sudah ngomongnya. Bukannya melayani suami yang baru pulang, tapi omelan yang kamu berikan!" Kesal Yoga, sambil melempar kemejanya ke wajah Kinanti.
Yoga menyambar handuk yang tergantung di dinding dan mengambilnya kasar, lalu keluar dengan membanting pintu.
Brakk.
Kinanti terlonjak mendengar pintu di banting, kemudian Kinanti duduk di tepi ranjang dengan perasaan sedih.
Kinanti menitikkan air matanya. Kinanti sedih melihat sikap suaminya yang egois dan tidak memperdulikan perasaannya dan anak-anaknya.
***
Pagi pun menyapa. Sasa tersenyum lebar ketika ia melihat papanya sudah duduk di kursi meja makan. Sasa segera menghampiri papanya. Kerinduannya kepada papanya kini mulai terkikis.
"Papa." Sasa memeluk pinggang Yoga, yang hanya ditanggapi dengan elusan di kepala.
"Sasa, ayo duduk," suruh Kinanti.
Sasa pun mengangguk dan menuruti perintah Kinanti. Tidak lama Amar datang dan bergabung.
"Pa, anterin Abang sekolah dong," pinta Amar penuh harap.
"Nggak bisa. Abang berangkat aja sama mama." Yoga menolaknya, tanpa melihat raut kecewa dari wajah Amar.
"Sekali-kali boleh dong pa, anterin Abang sekolah." Amar memelas dan berharap papa tersayangnya bersedia mengantarkannya sekolah.
Yoga mendengus. "Dengar ya papa tuh harus segera berangkat kerja. Biasanya juga Abang berangkat sendiri. Abang tuh laki-laki, jangan manja deh!"
Amar menunduk sedih, mendengar perkataan papanya.
Kinanti menghela napasnya. Melihat putranya bersedih, membuat Kinanti juga ikut sedih.
"Abang di anterin sama mama aja ya ...." Seloroh Kinanti, sambil memberikan senyum termanisnya.
"Iya, ma...." Jawab Amar sambil mengangguk lemah.
Selesai sarapan Yoga langsung berangkat begitu saja tanpa pamit terlebih dahulu kepada anak dan istrinya. Yoga ingin menunjukkan kalau ia adalah karyawan teladan dan rajin, agar cepat naik jabatan.
Amar menatap sendu punggung papanya. Amar ingin sekali papanya itu mengantarkannya sekolah seperti kebanyakan teman-temannya.
Kinanti mengelus kepala Amar lembut. "Ayo berangkat, nanti telat ke sekolahnya."
"Iya, ma...."
Kinanti dan kedua anaknya segera berangkat ke sekolah. Kinanti terlebih dulu mengantarkan Amar. Kebetulan sekolah Amar tidaklah jauh.
"Mama, Abang sekolah dulu." Pamit Amar seraya mencium punggung tangan Kinanti. Mereka sudah sampai di sekolahan Amar.
"Iya, Abang belajar dengan benar," ucap Kinanti.
Iya, ma. Assalamualaikum...." Amar langsung melesat ke kelasnya.
Kinanti tersenyum melihat putranya itu, lalu Kinanti pun mengantar Sasa ke sekolahnya.
Siang harinya, selepas Amar dan Sasa pulang sekolah. Kinanti ingin sesekali mengajak Amar dan Sasa jalan-jalan. Kinanti tidak peduli jika uang bulanan nya yang kemarin di beri Yoga habis. Kinanti hanya ingin melihat Amar dan Sasa bahagia.
Dengan senyum terkembang di bibir kedua anaknya, Kinanti berjalan memasuki restoran siap saji. Restoran yang terkenal dengan gambar kakek.
Selesai mengantri dan memesan, Kinanti segera membawanya ke meja. Amar dan Sasa sangat antusias melihat kelezatan ayam yang tersaji di hadapannya.
Amar dan Sasa segera melahapnya.
"Sasa suka sama kulit ayamnya," celetuk Sasa, sambil mengunyah nya.
"Kalau suka habiskan."
Amar selesai lebih dulu dan segera mencuci tangannya. Selesai cuci tangan, Amar yang akan kembali ke mejanya, tapi tanpa sengaja Amar melihat papanya berada di restoran lain.
"Papa...."
Seketika matanya berbinar dan Amar ingin mendatangi papanya yang sepertinya tengah berbicara dengan rekan kerjanya.
Sebelum pergi, Amar menengok ke arah mamanya dan Sasa, yang masih menghabiskan makanannya. Tidak mau mengganggu mamanya, Amar memilih menghampiri papanya seorang diri.
Amar berlari memasuki restoran tersebut. Fokusnya hanya tertuju ke arah papanya. Tanpa melihat sekitarnya, Amar menabrak seorang pramusaji yang tengah mengantarkan pesanan ke customer.
Prang...!
Piring dan gelas jatuh, beserta isinya. Orang-orang segera menoleh ke arah sumber suara.
Yoga terkejut melihat Amar ada di restoran ini dan semakin terkejut saat tahu Amar lah penyebab kekacauan itu.
"Aduh! Jangan lari-lari dong, dek!" Kesal sang pramusaji.
"Maaf," ucap Amar, menatap bersalah piring dan gelas pecah.
"Orang tuanya pada kemana sih! Anaknya dibiarkan berlarian di tempat ini," gerutu sang pramusaji.
Yoga menatap geram melihat kenakalan anaknya. Andai tidak ada orang di sini, Yoga pasti akan memarahinya.
Amar kembali menatap papanya.
Yoga melototi Amar penuh amarah, membuat Amar tak berani lagi menatap papanya.
"Kemana Kinanti ! Bisa-bisanya membiarkan Amar bermain di tempat ini." Batin Yoga marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Uthie
dasar ayah lucknut itu mah 😡
2023-05-31
0