Berselang beberapa jam, mobil yang di tunggu akhirnya datang, Widya menaikkan barang-barang bersama dua orang laki-laki yang diminta untuk membantu pindahan. Selesai mengangkat semua barang, Widya menatap foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding.
"Tolong turunkan foto itu!" pinta Widya kepada seorang laki-laki yang bernama Joko.
Foto itu diturunkan, lalu di naikkan ke atas mobil atas permintaan Widya.
"Sudah semuanya Mbak?" tanya Joko memastikan apakah masih ada barang yang tertinggal.
Widya mengangguk pelan, dia lalu naik ke mobil dan mobil pun berjalan menuju ke rumah mertuanya. Rumah orang tua Johan terletak di pusat kota, jalanan di sana selalu ramai dan padat. Membuat Widya tiba dalam keadaan hari yang sudah hampir gelap.
"Ting Tong!"
Widya menekan bel pintu. Beberapa kali dia menekan ulang karena belum ada yang membuka pintu. Sebuah mobil berhenti di belakang mobil yang ditumpangi oleh Widya, wanita itu segera menoleh ke arah mobil. Ternyata mobil itu milik suaminya.
Johan turun dari mobil, dia membuka pintu sambil mengomeli istrinya."Kamu ngapain sih lelet banget? Sudah jam segini baru sampai kemari, apa gak kebangetan kamu?" hardik Johan dengan nada tinggi dan terdengar marah.
"Maaf, Mas! Tadi jalanannya macet." jawab Widya dengan wajah yang menyesal. Namun di dalam hati, dia merasa kecewa dan sedih terhadap sikap suaminya.
"Masuk!!" bentak Johan dengan wajah berang. Membuat nyali Widya semakin menciut. Wanita itu menunduk, dia masuk ke dalam rumah dengan air mata yang hampir tumpah.
Hari itu pun, Widya tidak mengisi perutnya sama sekali. Dia langsung tertidur di sofa panjang yang berada di dalam kamarnya. Kenapa tidur di sofa? Karena suaminya berkata jika dia tidak terbiasa tidur bersama orang lain. Dia meminta Widya untuk tidur di sofa saja agar tidak mengganggu tidurnya.
Meskipun sudah tertidur, air mata masih mengalir dari sudut mata wanita itu. Hatinya begitu sakit dan terluka akibat perlakuan dari Johan yang baru saja menikahinya. Janji suci yang mereka ucapkan seolah tidak pernah terjadi, pria itu bahkan tidak sudi untuk tidur seranjang dengannya.
Hari pun berganti, sinar matahari masuk membuat mata Widya mengerjab, dia membuka matanya yang terasa berat karena menangis semalaman. Tatapannya beralih ke atas ranjang, tidak terlihat lagi pria yang berbaring di sana. Widya segera bangkit, dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Buru-buru ia keluar agar sempat membuat sarapan untuk Johan dan kedua orang tuanya.
Widya menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa-gesa hingga ia hampir terjatuh, beruntung dia memegang erat pegangan tangga sehingga keseimbangan tubuhnya masih terjaga. Tatapan mata dari ketiga orang yang berada di lantai bawah membuat Widya merasa gugup dan canggung.
"Selamat Pagi, Mas, Ma, Pa!" sapa Widya ketika langkah kakinya baru saja menginjak ke lantai paling bawah.
"Selamat Pagi!" balas Papa Sugi dengan senyuman ramah.
Berbeda dengan Papa Sugi, Mama Elis melirik sekejap tanpa menjawab. Wanita itu terlihat jelas tak menyukai menantu perempuannya. Sedangkan Johan, pria itu hanya diam tanpa peduli dengan Widya.
Karena sarapan sudah di siapkan, wajah Widya tampak kecewa. Karena ia merasa telah lalai sebagai seorang istri. Dia terlalu lelah dan tidak memperhatikan waktu. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Seharusnya dia bangun lebih awal di jam 6 pagi agar sempat membuatkan sarapan untuk suami dan keluarga barunya.
"Sini Wid, ayo sarapan bareng!" ajak Papa Sugi ketika melihat Widya berdiri diam.
"I...iya Pa!" jawab wanita itu. Dia lalu duduk di kursi yang berada di sebelah Johan. Namun pria itu malah segera berdiri, "Aku udah kenyang, aku berangkat kerja ya Ma, Pa!" Johan lalu berjalan keluar tanpa menyapa ataupun pamitan dengan istrinya yang menatap getir belakang punggungnya.
"Kalau sudah siap makan, kamu beresin semua piring kotor!" perintah Mama Elis yang ikut berdiri lalu pergi dari ruang makan.
"Jangan dipikirkan, ayo makan sama Papa saja yah!" hibur Papa Sugi meski tidak ada pengaruhnya bagi hati Widya yang sudah terasa sakit.
Widya membersihkan piring-piring kotor, dia lalu mengelap bersih meja yang terbuat dari bongkahan batu itu. Setelah semua pekerjaannya selesai, Widya segera mengambil tas dan ponsel yang masih berada di dalam kamar. Dia lalu berangkat kerja dengan menaiki kendaraan umum lalu berjalan kaki.
Pulang dari kerja, Widya segera kembali ke rumah agar tidak mendapat omelan lagi dari sang suami. Namun jalanan yang macet dan padat membuat ia terlambat tiba di rumah. Sesampainya di depan pintu, Widya melihat Papa Sugi sedang menyiram tanaman yang berada di balkon lantai 2.
"Malam Pa!" sapa Widya dari bawah.
Papa Sugi menoleh ke arah suara, dia tersenyum lalu menjawab, "Selamat malam, Widya! Tunggu sebentar ya, biar Papa bukain pintunya!"
Berselang beberapa menit, Papa Sugi membukakan pintu. Widya masuk ke dalam yang langsung di sambut dengan berbagai pertanyaan dan cercaan dari Johan.
"Kau ke mana saja? Kenapa sampai jam segini baru pulang? Kau harus ingat kalau dirimu itu sudah bersuami! Jangan selalu berkeliaran! Entah apa yang kau perbuat dengan pria lain di luar sana!"
"Astaga... Mas Johan! Kenapa kata-katanya begitu menyakitkan!" pikir Widya. Dia begitu terkejut mendengar kata-kata kasar dari suaminya.
Widya benar-benar tak habis pikir, kenapa suaminya bisa berperilaku seburuk itu setelah mereka menikah. Padahal, selama berpacaran 5 tahun, Johan adalah sosok pria ramah dan sangat mencintai Widya. Wanita itu tidak mengerti, mengapa Johan memperlakukan dirinya seperti ini ketika mereka sudah menikah.
Hari-hari yang buruk terus berlalu, Widya menerima semua makian dan cercaan dari Johan tanpa perlawanan. Dia hanya diam-diam menangis tanpa suara setiap kali hatinya merasa sedih dan terhina.
"Aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun yang membuat diri ku harus di maki sedemikian kasar oleh suamiku sendiri. Tapi entah kenapa, sikap Mas Johan semakin hari semakin kasar. Haruskah pernikahan ini ku akhiri?" Benak Widya.
Sebulan berlalu, sikap kasar Johan semakin menjadi-jadi. Kali ini, pria itu menampar Widya hanya karena wanita itu bertanya, "Mas, mau ke mana pagi-pagi begini? Ini kan hari minggu."
"PLAKKK!"
Terkejut dengan tamparan dari Johan yang dia tidak tau apa alasannya, Widya menundukkan wajahnya yang kini membengkak dan memerah.
"Jangan ikut campur dengan urusan ku!" bentak Johan dengan wajah dingin.
Merasa dirinya tak sanggup lagi menahan sikap kasar dari suaminya, Widya pun berkata sambil mengepal erat kedua tangannya. "Mas Johan, sebaiknya... kita bercerai saja!"
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🥀⃞Weny🅠🅛
kok sampai kek gitu sih, bagus Widya mending pisah aja dari pada punya suami yang kek gitu
2023-07-04
0
Ayano
Kan aku bilang apa. Berkas buat ke pengadilan yang kukasih dipake ya
Udah dikarang sebagus mungkin biar perceraian kalian langsung masuk
2023-05-28
0
Ayano
Jawabannya kalo gak dihasut ma orang ya dia suka ma orang laen
2023-05-28
0