NYONYA Akane tersenyum kepadaku saat aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam ruangannya bersama-sama dengan Yuuto. Yuuto langsung membungkuk takzim. Aku mengikutinya dari belakang. Nyonya Akane benar-benar menawan meskipun umurnya yang hanya berjarak lima tahun dari Tuan Tsunemori. Dia terlihat awet muda. Seperti masih dua-tiga puluh tahun saja.
“Akane-sama. Selamat datang kembali dari perjalanan Anda di Tokyo. Syukurlah Anda baik-baik saja.”
“Seperti biasanya kamu sangat perhatian, ya, Yuuto-kun.” Nyonya Akane tertawa kecil. “Tapi, kalau memang demikian, bukankah seharusnya kamu juga mengawalku ketika menuju Chiyoda waktu itu?”
“Aku sedang ada pekerjaan di Nara, Nyonya. Aku tidak mungkin menolak perintah suami Anda.” Yuuto menjelaskan.
“Tentu saja kau tetap bisa, Yuuto-kun. Harusnya dia tahu kalau tidak mungkin menaruh penerus keluarga di tempat berbahaya seperti itu.”
Yuuto menggelengkan kepalanya. “Aku sama sekali tidak keberatan. Lagipula, penyelidikan Kastil Kitajima di Nara tahun lalu membuahkan hasil yang sangat baik. Setidaknya kita tahu bahwa seorang magus yang juga adalah anggota Kazoku (bangsawan)dan pejabat pemerintahan, Viscount Hitoshi Takateyama terlibat dalam penyelundupan senjata kepada para ekstrimis di Kagawa.”
Nyonya Akane merilekskan bahunya di kursinya. Menganggukkan kepalanya sedikit. “Takateyama-dono, sulit dipercaya, ya? Bisa-bisanya orang tua seperti dialah yang menjadi pelakunya. Aku masih berbicara dengannya sebelum Konferensi. Beliau sedang bersama dengan cucunya yang masih kecil.”
“Tidak ada yang tahu pasti soal para petinggi di sana, Nyonya. Biasanya orang-orang seperti kakka—maksudku Viscount Takateyama-dono—akan menghabisi orang-orang yang berusaha menghalangi mereka dalam melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka akan dengan mudah menutupi kejahatan mereka dan menjadikannya sebagai kabar burung belaka.” Yuuto menanggapi. “Syukur-syukur saja bahwa kejahatannya dapat terungkap oleh Yonezawa dan Kementerian Magis Kekaisaran.”
Nyonya Akane menghela napas pendek. “Semakin rumit saja. Aku berharap kedepannya tidak terjadi lagi seperti yang demikian. Walaupun sepertinya akan mustahil.”
“Baiklah. Kalau begitu,” Nyonya Akane melanjutkan bicaranya. “Baskara Alois-kun, kan? Kamu sampai jauh-jauh datang dari Hindia Belanda. Juniorku, Lo-san—maksudku Van Heerens-dono, mengirimmu ke sini tentu karena program pengiriman pelajar ke luar negeri, bukan? Oost-apalah-itu.”
“Oost-Indische Magische Buitenland-Staatsvorming, Akane-sama. Kami biasanya menyingkatnya dengan OMBS.” Aku menjawab.
“Ya itu. Klan Yonezawa akan bertanggungjawab atasmu selama berada di Jepang. Jadi, aku harap kamu dapat berbaur dan tinggal di sini dengan baik.” Nyonya Akane menambahkan.
Nyonya Akane lalu menyerahkan sebuah amplop dokumen kepadaku. Warnanya coklat kertas. Ketika aku membukanya, aku mendapati ada tiga lembar kertas, salah satunya bertuliskan “Sekolah Menengah Magis Kanto” pada kopnya. Lengkap dengan lambang mon—lambang puncak klan-klan terdahulu di negeri ini—dan kanji berukuran kecil aneh yang tidak dapat kupahami. Mungkin saja karena aku tidak amat bisa berbahasa Jepang kuno, aku belum bisa membacanya.
“Sekolah Menengah Magis Kanto?” Aku bertanya.
“Tepat. Lokasinya Hachijoji, Tokyo. Kau akan menjalankan program pertukaran pelajarmu di sana. Seorang kenalan lama dari Tuan Lodewijk yang bekerja di sana akan menjadi pembimbingmu selama kau berada di asrama.” Nyonya Akane menyandarkan bahunya. “Kalau begitu, Yuuto-kun, antarkan dia ke ‘Manor Kecil”. Dia akan tinggal disana selama melaksanakan studinya.”
“Baik, Akane-sama.” Yuuto membungkuk takzim.
“Dan Baskara-kun, semoga kamu menikmati hari-harimu selama berada di Jepang ini.”
“Terimakasih, Akane-sama.” Aku ikut membungkuk.
Aku dan Yuuto kemudian meninggalkan ruangan, diikuti dengan Kojiro yang menemani kami keluar dari kastil lama itu. Setelah kami keluar dari sana, sebuah kendaraan aneh—beroda empat, badannya hitam mengkilap—telah menantikan kami keluar dari kastil.
***
Kendaraan itu dalamnya cukup nyaman.
Rumornya itu adalah bentuk pengembangan dari mobil uap. Para magus di Jepang telah mengembangkan bentuk mobil yang demikian. Lebih tertutup dan besar, walaupun bentuknya sama saja seperti desain mobil uap di Permukaan.
Kendaraan roda empat itu ternyata digerakkan oleh energi magis. Setiap pengemudinya akan menaruh kedua telapak tangannya di setir, dan menggerakkannya dengan energi magis yang dimiliki mereka. Sebab itu, mobil-mobil ini tidak bisa kehabisan bahan bakar. Toh, yang mengemudi saja menggunakan energi yang selalu diperbarui dalam diri setiap magus.
Aku duduk di kursi belakang sekarang. Yuuto duduk di depan, bersama sopir yang mengemudi kendaraan canggih ini. Kojiro tidak ikut dengan kami. Dia masih bertugas menjaga kastil kediaman Nyonya Akane bersama dengan rekan-rekannya yang lain.
Aku sangat mengantuk. Mata ini sangat berat rasanya. Aku tidak sanggup lagi menahan terjagaku. Perlahan-lahan, aku mulai memejamkan mataku. Tetapi itu tidak bisa berlangsung lama. Kendaraan itu langsung berhenti di suatu tempat.
“Kita sudah sampai, Yuuto-sama.”
Sopir itu keluar dari kendaraan dan membantu aku dan Yuuto mengeluarkan barang-barang bawaan kami.
Kami sampai di depan sebuah rumah berukuran sedang. Aku pernah melihat model rumah itu sebelumnya. Rumah itu modelnya seperti rumah-rumah para pegawai Belanda di Hindia, tidak bertingkat namun luas. Hanya saja lebih memiliki gaya ketimuran pada bagian luarnya, termasuk atapnya. Kami hanya menempuh sekitar tiga puluh menit dari kastil tempat Nyonya Akane bekerja untuk sampai ke lokasi rumah itu.
“Kamu akan tinggal disini selama kau melaksanakan program pertukaran pelajarmu.” Yuuto membukakan pintu rumah itu.
Aku kemudian menenteng barang-barangku ke dalam rumah. Rumah itu dalamnya benar-benar seperti rumah orang Jepang pada umumnya, seperti keberadaan shoji dan tatami di sebagian besar rumah itu. Hanya saja, di ruang tamu, mereka sudah menggunakan sofa—sebuah furnitur langka untuk kebanyakan orang di Asia Timur pada saat itu—dan meja.
Di sana juga terpampang sebuah jam besar yang jarum panjangnya telah berada di angka dua belas. Karena itulah, lonceng alarmnya berbunyi, sehingga suasana di ruangan itu agak berisik.
Aku memutuskan untuk berkeliling. Aku menyusuri setiap ruangan mulai dari ruang makan, kamar tidur, kamar mandi, dan dapur. Semuanya terlihat bergaya Jepang yang diakulturasikan dengan budaya Barat.
“Kalau begitu, istirahatkan saja dirimu di sini. Jangan keluar rumah terlebih dahulu sebelum ada aba-aba dariku. Lebih tepatnya, Yonezawa akan menugaskan beberapa orang untuk menemanimu selama tinggal di sini. Jadi, tunggu sajalah di rumah. Mungkin sebentar lagi mereka akan datang.” Yuuto menambahkan.
“Bukankah Yuuto-san juga akan tinggal di sini?” Aku bertanya.
“Tentu saja tidak, bodoh. Aku harus tinggal di kediaman milik Keluarga Takagi. Aku tidak mungkin tinggal terpisah dengan orang-orang di Takagi.” Yuuto-san mengetok kepalaku pelan.
Yuuto kemudian masuk kembali ke dalam kendaraan yang kami gunakan itu—mobil magis. Sang sopir masih terlihat menunggu di dalam mobil magis. Kedua tangannya bersiap untuk mengemudi kapanpun. Yuuto terlihat duduk di bangku sebelah sopir. Dia membuka kaca mobil magis itu.
“Kalau begitu, mulai dari sekarang, hiduplah mandiri. Kalau ada apa-apa, kau bisa minta bantuan orang-orang yang akan datang itu.”
“Tunggu, Yuuto-sa...”
Terlambat. Belum sempat aku menanyakan sesuatu yang masih janggal bagiku, mobilnya sudah melaju meninggalkan tempat ini terlebih dahulu. Aku menjadi bingung sendiri. Aku kembali masuk ke dalam rumah sembari menunggu orang-orang yang dimaksudkan oleh Yuuto itu datang. Sembari itu, aku mengunci pintu rumah itu dengan sihir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments