Dermaga Yokohama, Januari 1908
KALI ini dermaga benar-benar cukup sibuk. Sambutan yang hangat untuk orang sepertiku yang baru turun dari kapal uap “Grisseiler-912” yang bertolak dari Okinawa. Aku menyadari bahwa Yokohama merupakan pelabuhan baru yang dibuka pada Era Meiji setelah Nagasaki dibuka kembali sejak Kebijakan Isolasi pada tahun 1653.
Orang-orang di sana sepertinya sudah mulai mengadopsi gaya busana Barat. Mereka mulai menggunakan jas dan kemeja. Namun, pakaian seperti kimono masih terlihat melekat di para wanita setempat, walaupun mereka menyederhanakan bentuknya seperti dari buku yang pernah kubaca. Keberadaan samurai—tentu saja—sudah dihapuskan semenjak reformasi oleh Kaisar Mutsuhito. Satuan militer telah menggunakan seragam militer bergaya Eropa. Beberapa personel berjaga di sekitar situs labuhan kapal dan beberapa lainnya berpatroli di seluruh penghujung dermaga.
“Berhenti!” Seorang petugas pengamanan dermaga menghentikanku. Dia membawa sebuah catatan.
Aku menoleh kepadanya. Bingung, karena aku tidak tahu apa yang telah kulakukan yang melanggar hukum. Mungkin mereka mencurigaiku karena aku seorang warga negara asing.
“Aku baru saja turun dari kapal.” Aku membela diriku sendiri.
“Tentu saja. Anda tidak melakukan kesalahan apapun. Akan tetapi, ada satu hal yang perlu kami pastikan. Sesuai dengan aturan, silakan ikut kami terlebih dahulu ke kantor dermaga.”
Dua orang petugas telah berada di belakangku. Sepertinya aku tidak bisa mengelak. Baiklah, aku menuruti mereka. Aku tidak melakukan perlawanan apapun. Aku mengikuti mereka ke mana mereka membawaku pergi. Lagipula, aku hanyalah seorang pendatang dari Hindia. Aku tidak akan membuat masalah di Pulau Utama.
* * *
“Selamat datang, Baskara-kun.”
Suara parau orang tua menyambutku. Tepat di depanku berdiri seorang pria tua dengan pakaian tradisional, seperti seorang daimyo—mungkin saja dia masih demikian—meskipun sistem feodalisme dan han di sini sudah dihapuskan sejak tahun 1871. Mungkin saja, dia adalah sisa-sisa dari tuan-tuan tanah yang secara turun-temurun pernah berkuasa di sebagian kecil wilayah Kanagawa.
“Sebelum itu, perkenalkan, namaku Yonezawa Tsunemori. Aku bertanggung jawab untuk Klan Yonezawa di Kanagawa.”
Yonezawa. Aku mengetahui klan itu dari informasi yang kudapat ketika aku berada di Batavia. Dari penguasa untuk urusan magis di seluruh Jepang, Klan Yonezawa adalah salah satu klan feodal turunan Klan Uesugi sang penguasa utara Honshu. Klan Yonezawa merupakan nama yang tidak terkenal di telinga umum. Hanya segelintir yang tahu tentang kebesaran klan itu. Mereka hidup dalam bayang-bayang. Di permukaan, mereka hanyalah menggunakan marga-marga biasa yang bisa jadi bukan marga keturunan klan samurai. Mereka biasanya menggunakan marga Yamazaki, Yotsuya, Uesugi dan Nagao—mengikuti keluarga asal, dan sebenarnya masih ada lagi.
Klan Yonezawa merupakan klan di permukaan yang dikenal kebanyakan bekerja sebagai pegawai sipil maupun pengusaha sedang setelah Restorasi Mutsuhito. Mereka tidak suka untuk tampil terkenal. Mereka khawatir—seperti banyak keluarga magis lainnya—akan identitas mereka sebagai pengguna ilmu magis akan terekspos ke khalayak umum. Namun, dibalik itu semua, di dunia magis, mereka menguasai seperempat bagian negeri ini. Aku masih belum tahu bagaimana bisnis dan properti mereka di permukaan dan di bayangan, tetapi aku sangat yakin bahwa itu lebih besar dari yang kukira.
Aku tidak langsung bicara. “Em … senang bertemu dengan Anda, Tsunemori-sama.” Aku membungkuk takzim seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jepang. “Nama saya Baskara, siswa yang dikirim dari Komisi Urusan Magis Kerajaan Belanda untuk belajar ilmu magis di Jepang. Mohon kerjasamanya.”
“Aku sudah tahu, sebab itu aku membawamu kemari.” Tuan Tsunemori menutup gorden jendelanya. “Aku yang bertanggung jawab akan dirimu nantinya selama kau berada di sini, Nak.”
“Oh, terimakasih banyak, Tsunemori-sama.”
Aku mengangguk sopan.
“Tidak usah terlalu formal begitu, Baska. Aku bisa berbahasa Hindia.”
Baska? Ternyata dia memang suka menyingkat nama seseorang. Seperti seorang kakek yang berusaha akrab dengan cucunya. Namun, bukan masalah bagiku. Aku tidak terlalu peduli orang-orang memanggilku apa. Mengejutkan juga bahwa dia mendadak bisa mengganti bahasanya. Seperti mesin penerjemah saja, kalau teknologi semacam itu memang ada di dunia ini pada saat ini.
“Baik, Tsunemori-sama.”
Mulai sekarang, aku memanggilnya—bila itu diterjemahkan dalam homonim lain—Pak Tsunemori. Dia menatapku senang, sepertinya. Pak Tsunemori kemudian mempersilakanku untuk duduk di sofa yang ada di depan meja kayu hitam besarnya itu.
“Jadi,” Pak Tsunemori mengambil sebuah papan klip berisi selembar kertas. Itu tampaknya merupakan biodataku. “Nama lengkap, Baskara Alois. Usia beranjak 15 tahun pada tahun ini. Tempat tinggal, Tenggarong.” Dia mengecek biodataku. “Baska-kun. Kamu akan tinggal di asrama sekolah. Kamu tidak keberatan, bukan?”
“Bukankah itu memang ketentuannya, Tsunemori-sama,”
“Siapa tahu kau tidak ingin berada di sana, kan? Aku bisa mencarikan tempat lain kalau kau mau.” Pak Tsunemori tertawa. Dia sedang bercanda.
“Tidak perlu, Tsunemori-sama. Lagipula Komite Nasional mengirimku kesini untuk belajar sihir sekaligus budaya. Aku harus bisa berbaur dengan yang lainnya.”
“Haah, baiklah.” Pak Tsunemori berhenti tertawa. Tangannya kemudian memberi isyarat kepada salah satu tentara yang menjaga di sudut ruangan dekat pintu.
Tentara itu mendekat ke meja Pak Tsunemori. Dia tampak berwibawa. Wajahnya sangat tegas. Dilihat dari pangkatnya yang ada di kerah seragamnya, dia adalah seorang rikutai (kapten) dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
“Siap, Tsunemori-sama.”
“Yuuto-kun, Aku ingin agar kau mengantarkan Baska-kun ke tempatku sebelum upacara masuk sekolah. Usahakan untuk memperhatikan kebutuhannya. Dia juga adalah tamu kita. Pastikan dia aman berada di kediamanku. Sebelum itu, perkenalkan, Yuuto-kun, ini Baskara Alois-kun. Murid pertukaran dari Hindia. Baska-kun, ini Takagi Yuuto-kun. Dia adalah anggota Rikugun.” Pak Tsunemori saling mengenalkan kami berdua.
“Takagi Yuuto.” Dia mengulurkan tangannya untuk dijabat olehku.
Aku pun menjabat tangannya. “Baskara Alois.”
“Kalau begitu, kalian sudah bisa berangkat. Yuuto-kun, aku percaya kepadamu.”
“Dimengerti, Tsunemori-sama.
Aku dan Yuuto keluar dari ruangan Pak Tsunemori. Sepertinya perjalananku yang lumayan panjang ini akan segera di mulai. Tetapi, aku sadar bahwa aku masih mempunyai tujuan. Dan dimulailah lembaran pertama dari buku masalah yang menanti kami.
Sebuah ledakan besar terjadi di tengah-tengah dermaga Yokohama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments