Episode 4

AKU dan Yuuto berjalan menyusuri sekitar lorong di mana kantor Pak Tsunemori berada. Lorong yang kami jalani sangat bersih. Dipenuhi dengan pamflet-pamflet peraturan dermaga pada dinding-dindingnya, lorong itu benar-benar sepi dan tidak ada orang yang lalu-lalang—tidak seperti sebuah kantor pada biasanya. Terutama, kantor di dermaga merupakan salah satu kantor tersibuk di Yokohama semenjak Restorasi Mutsuhito.

Awalnya, kami tidak terlalu peduli dengan kejanggalan ini. Yuuto mendesakku supaya kami berangkat segera. Aku pribadi tidak masalah. Lagipula aku merasa perlu untuk segera beristirahat setelah satu hari lebih perjalanan dari Okinawa.

“Takagi-san?”

“Yuuto. Yuuto saja. Tidak usah pakai embel-embel. Aku tidak begitu suka dipanggil dengan nama keluargaku.” Wajah Yuuto lumayan datar untuk setiap orang yang bersama seorang anak-anak sepertiku.

“Yuuto-san. Kali ini kita akan ke mana?” Aku bertanya.

“Kediaman Tsunemori-sama di Yokohama. Lokasinya dekat dengan sebuah kuil untuk Dewi Amaterasu. Kira-kira sekitar dua kilometer dari dermaga.” Yuuto menjelaskan.

Tidak terasa kami telah berada di pintu keluar. Daun pintu kami buka.

Dan kerumunan orang banyak menyambut kami dengan sangat meriah. Hanya saja, bukan kami yang menjadi sorotan perhatian. Dengan artian lain—mereka membelakangi kami sampai ke arah pintu kantor. Aku dan Yuuto berusaha untuk melihat apa yang terjadi di dermaga. Betapa aku terkejut setelah melihat apa yang terjadi.

Ada sekitar tiga-empat jasad di tutup dengan kain. Aku menoleh ke sekeliling, melihat bahwa beberapa kargo dermaga telah terbakar. Beberapa dinding di sekitar lokasi itu hangus dan sedikit retak. Beberapa pekerja dermaga terlihat terluka, sehingga banyak petugas medis berkeliaran di sana. Sementara banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri dan para petugas berusaha untuk mengamankan situasi dan kondisi. Mereka mengarahkan kerumunan orang untuk mengungsi, memindahkan beberapa barang-barang penting, dan membantu merawat korban luka.

“Apa yang terjadi?” Aku bingung. Sementara Yuuto mencoba untuk berbicara dengan petugas-petugas lain di dermaga yang sedang berada di sana.

Yuuto hanya terlihat mengangguk-angguk. Raut wajahnya berubah menjadi serius. Sepertinya sesuatu yang sangat bahaya baru saja terjadi di Dermaga Yokohama.

“Baskara, sepertinya sesuatu yang gawat telah terjadi. Sekitar pukul sebelas pagi tadi, menurut laporan, sebuah peti kemas meledak. Tampaknya itu adalah peti kemas yang sengaja dipasangi peledak. Aku yakin ini bukan lagi masalah yang main-main. Ini pasti adalah ulah dari seseorang yang ingin mengganggu Yonezawa.”

Jelas itu membuatku sangat tegang. Aku baru saja terseret ke dalam sebuah masalah.

“Seseorang yang ingin mengganggu Yonezawa?” Aku bertanya.

“Lebih baik tidak usah kau pikirkan.” Yuuto menepuk pundakku. “Fokus saja akan studimu. Lagipula, kamu akan hidup di asrama sekolah. Kau tidak akan terseret ke dalam masalah-masalah sepele seperti ini.”

“Tetapi, kalau dibiarkan … ”

“Karena itu,” Yuuto memotong, “percaya saja kepada Klan Yonezawa. Kami akan mengurus ini secepatnya. Jadi kau tenang saja.”

Kami segera beranjak dari lokasi kerusuhan itu. Yuuto telah mempercayakan semuanya kepada rekan-rekannya yang bertugas untuk berjaga di dermaga dan membersihkan sisa-sisa ledakan. Yuuto membawakan koperku dan memasukkannya ke dalam sebuah mobil uap. Kami segera melaju ke kediaman milik Keluarga Yonezawa di Yokohama. Aku masih saja kepikiran perihal insiden dermaga ini, tetapi aku berusaha untuk melupakannya. Aku lebih baik fokus kepada pendidikanku seperti kata Yuuto.

* * *

Sekarang pukul satu siang.

Kami baru saja sampai di kediaman Yonezawa di Yokohama. Yuuto terlihat memarkirkan mobil uapnya di halaman rumah. Sepanjang jalan, hanya para pejalan kaki dan pengguna kereta kudalah yang kami lihat. Mobil uap sangatlah jarang dipakai di era revolusi industri ini. Hanya para konglomerat saja yang mampu untuk membeli ini. Bahkan sekelas petinggi-petinggi di pemerintahan Kekaisaran pun hanya segelintir yang mampu memiliki mesin transportasi yang canggih ini. Keluarga Yonezawa memang sangat kaya.

Rumah Tsunemori Yonezawa ini dilengkapi dengan sebuah gerbang. Seperti halnya keluarga-keluarga tradisional pada umumnya di negeri itu. Terpampang papan nama mereka di gerbang dengan kanji yang artinya “Yamazaki”. Yuuto kemudian menyentuh papan nama itu dengan tangannya.

Dan apa yang terjadi setelahnya? Ajaib. Papan nama itu berubah menjadi “Yonezawa”. Kemudian, seekor burung muncul ke atap gerbang. Matanya menatap kami dengan jeli. Dia tidak bersuara seperti burung-burung pada umumnya. Yuuto yang melihat itu kemudian langsung menyebutkan namanya.

“Takagi Yuuto. Aku diperintahkan oleh Tsunemori-sama untuk membawa Baskara Alois ke sini.”

Burung itu tidak memberikan respon yang diharapkan. Burung itu diam. Memang, apakah bisa seorang manusia berbicara dengan hewan? Aku rasa orang banyak akan menganggap bahwa Yuuto adalah orang gila. Akan tetapi, ini adalah dunia magis. Segala sesuatu bisa saja terjadi.

Burung itu kemudian membuka paruhnya. “Diterima. Takagi Yuuto-san. Baskara Alois-san. Silakan masuk.”

Dia berbicara. Burung itu benar-benar berbicara kepada kami. Bila ada orang sekitar yang melihatnya, pasti mereka sudah kejang-kejang. Bagaimana tidak? Sebuah hewan yang tentunya tidak berakal berbicara di hadapan manusia. Sangat di luar nalar. Akan tetapi, sekali lagi, ini dunia magis. Tidak ada yang mustahil untuk segala sesuatu terjadi.

Gapura rumah itu secara otomatis terbuka. Akan tetapi, ketika kami melangkahkan kaki kami masuk, betapa tidak biasanya kami melihat ini. Dari luar, kediaman itu hanya terlihat memiliki sebuah rumah besar dengan gerbang dan gapura. Akan tetapi, itu semua berbeda saat kami masuk ke dalamnya.

Kami tidak langsung melihat rumah. Kami kemudian melihat semacam sebuah pemukiman. Benar-benar ramai. Di sana menjulang banyak gedung yang tinggi dan kompleks-kompleks perumahan dan beberapa bangunan lainnya. Banyak orang yang lalu lalang di sana. Mereka terlihat menggunakan sebuah kendaraan beroda empat—seperti mobil uap, hanya saja kami tidak dapat melihat mesinnya dan badannya lebih tertutup—sementara sisanya berjalan kaki. Gaya busana mereka memang sama dengan gaya busana orang-orang di Yokohama pada umumnya.

“Woah, apa ini? Sebuah pemukiman di dalam rumah?”

Yuuto tidak berkata apapun. Dia langsung mengisyaratkan untuk mengikuti dia masuk ke sana. Dia kemudian mengambil katana-nya dari mobil uap yang kami gunakan dan memasang sarungnya dengan rapi di sabuk pinggangnya.

Kami melangkahkan kaki masuk ke pemukiman ramai itu. Normalnya, bila dilihat sepintas, masyarakatnya sama saja dengan orang-orang normal di Jepang pada umumnya. Mereka menggunakan jas, kimono, atau gaun, dan sebagainya sebagai pakaian mereka. Akan tetapi, semua anggapan itu akan sirna ketika mereka menggunakan sihir dalam aktivitas mereka. Terlihat dari para petugas perbaikan jalan yang menggunakan ilmu magis elemen tanah, petugas keamanan yang menggunakan kekuatan angin untuk mengarahkan lalu lintas, para pemadam kebakaran yang menggunakan elemen air untuk memadamkan api yang muncul dari rumah seorang warga, dan lain sebagainya. Aku tidak bisa menyebutkannya satu per satu. Terlalu banyak. Sepertinya, ilmu magis sudah mendominasi seluruh aspek kehidupan di sini.

“Yuuto, yang barusan tadi apa?” Aku bertanya selagi kami berjalan-jalan di kompleks itu.

“Sebelumnya, kau harus tahu bahwa para magus hidup dalam kerahasiaan. Di seluruh penjuru dunia manapun, mereka hidup tersembunyi. Akan tetapi, tentu saja magus juga merupakan seorang manusia. Mereka butuh bersosialisasi dengan sekitarnya. Karena itu, para magus tentu tidak akan menutup diri terhadap orang-orang di permukaan. Malahan, agar tetap menjaga kerahasiaan dan menghindari kecurigaan orang-orang, seorang magus harus bisa berbaur dengan orang-orang permukaan.

“Namun perlu kamu sadari, seorang magus juga butuh interaksi magis dengan magus lainnya. Sebab itu, para magus telah membangun pemukiman mereka sendiri yang tidak pernah kelihatan di dunia luar. Salah satunya adalah Benteng Yonezawa. Pemukiman ini adalah salah satu dari Sepuluh Distrik Sihir di Kanagawa.” Yuuto menjelaskan.

Distrik sihir? Terdengar sangat asing bagiku. Apakah itu sebuah distrik yang menggunakan ilmu magis di setiap aspek masyarakatnya? Entahlah. Sangat aneh kurasa.

“Aku tidak yakin dengan maksudmu tentang ‘Distrik Sihir’...”

“Distrik yang dijalankan, dilindungi, dan diawasi oleh sihir.” Yuuto menjawab. “Kalau kamu lihat tadi bahwa pintu masuk Distrik Sihir Benteng Yonezawa adalah kediaman Klan Yonezawa di Yokohama. Tentu saja pintu masuk itu dibuat dari sihir. Wilayah ini juga seluruhnya disamarkan oleh ilmu magis. Karena itu, orang biasa takkan dapat melihatnya dari luar. Mereka hanya akan melihat sebuah rumah tradisional Jepang Zaman Edo yang besar dengan pagar. Pintu masuk distrik ini dijaga oleh seekor gagak bernama Karasugi, peliharaan Tsunemori-sama yang dibentuk dari mencampurkan magus dengan gen burung gagak.” Yuuto kembali menjelaskan.

Aku tidak menyangka bahwa penjagaan distrik sihir sangat seketat itu. Tentu saja, di Hindia ada yang seperti itu. Akan tetapi, di negeri ini, semuanya terkemas dengan lebih kompleks dan rapi. Tidak seperti di Hindia yang mudah ditembus dan diserang oleh musuh luar. Kemudian, di Hindia tidak ada istilah distrik sihir. Rumor mengenai negeri gaib memang ada. Namun, bagi para magus yang berbaur di permukaan, mereka berpencar menggunakan rumah mereka masing-masing sebagai kedudukan sihir mereka.

Kami terus berjalan, sampai di depan sebuah bangunan. Masih bergaya Jepang. Tampak seperti kastil Zaman Edo. Kastil itu dijaga oleh beberapa anggota Rikugun seperti Yuuto. Mereka bersenjata lengkap seperti Yuuto. Hanya saja, mereka tidak menggunakan topi militer.

“Anggota Rikugun di sana? Apakah mereka juga para magus?” Aku bertanya.

“Tentu saja. Mereka adalah anggota klan yang juga bekerja untuk Rikugun. Kalau mereka tidak sedang bertugas di permukaan, mereka akan sering berada di sini. ”

Salah satu dari para penjaga itu menemui kami ketika ia melihat kami. Dia tampak berseri. Sepertinya, bukan karena seorang asing yang datang—pandangannya tidak ke arahku—melainkan karena Yuuto.

“Yuuto-senpai. Bagaimana kabar Anda?”

“Aku baik-baik saja. Ternyata, kau sekarang di sini, ya? Seingatku, waktu itu kau masih bertugas di Ōtomari.” Yuuto menyapa balik orang itu.

“Aku waktu itu ditugaskan oleh Yonezawa untuk membantu Klan Matsumae di Hokkaido menjaga perbatasan dengan Kekaisaran Rusia. Beberapa agresi kecil-kecilan masih terjadi setelah Perjanjian Portsmouth. Sekarang, militer menganggap bahwa situasi di sana sudah aman. Aku dipindah tugaskan ke sini. ”

“Begitu, ya? Senang mendengarnya.”

“Ngomong-ngomong, siapa yang bersama Anda sekarang? Anak itu,” Dia menunjuk kepadaku.

“Oh, aku lupa. Dia adalah Baskara Alois, murid pertukaran pelajar dari Hindia Belanda.” Yuuto memperkenalkanku. “Nah, Baskara. Dia adalah adik kelasku di Akademi Angkatan Darat dulu. Letnan Satu Yamazaki Kojiro.”

“Aku Kojiro, senang bertemu denganmu.” Dia membungkuk takzim.

“Aku Baskara, murid pertukaran pelajar, senang bertemu dengan Anda juga.” Aku balas membungkuk takzim juga.

“Kalau begitu, kami ingin bertemu dengan Akane-sama. Apakah beliau ada di sana?” Yuuto bertanya.

“Beliau ada di tempat. Baru saja pulang dari Konferensi Klan Magus Kanto kemarin.”

Yuuto menarik secarik kertas kosong dari sakunya dan mengambil sebuah pena tinta sederhana. “Baguslah. Kojiro, bisa antar kami kepada beliau? Ada yang perlu kami tanyakan kepadanya.”

“Tentu saja. Silakan lewat sini.”

***

Kami menelusuri kastil.

Meskipun di luarnya kastil itu bergaya Edo, tetapi di dalamnya berbeda dari yang kupikirkan. Ruangannya seperti ruangan bergaya barat. Hanya saja, mereka tetap menggunakan shoji—pintu geser Jepang—dan jendela koridor menggunakan jendela bergaya Timur.

Yuuto dan Kojiro terlihat masih berbincang satu sama lain. Mereka berdua memang berkiprah di militer sehingga obrolan mereka masih nyambung satu sama lain. Mulai dari Pertempuran Pyongyang, Pertempuran Sungai Yalu, Operasi Penghu, Agresi di Taiwan serta Korea, dan yang lain sebagainya. Sangat banyak. Mereka bisa membicarakan itu sepanjang jalan karena lokasi yang kami tuju berada di lantai teratas. Kira-kira kami masih butuh dua lantai lagi untuk dilalui.

“Apakah kamu masih kuat, Baskara?” Kojiro bertanya kepadaku.

Aku mengangguk. “Aku sudah terlatih untuk berjalan jauh, Kojiro-san.”

“Begitukah? Bagus sekali! Kau mungkin bisa mengabdikan dirimu di KNIL setelah lulus sekolah nanti.”

“Aku tidak paham. Apa hubungannya jalan jauh dengan menjadi anggota militer, Kojiro-san?”

Kojiro kemudian mengambil sebuah foto dari sakunya.

“Ini adalah fotoku dan rekan-rekanku ketika kami mencoba untuk mengatasi pertempuran dengan para Magus Rusia sekitar setahun yang lalu. Kamu lihat aku berjalan sangat jauh di sini, kan? Kami menyusuri padang rumput dan mewaspadai setiap tembakan yang datang kepada kami. Terimakasih Dewa bahwa tidak ada satupun dari kami yang menjadi korban pada operasi ini.” Kojiro bercerita.

“Itu sangat luar biasa. Apakah Anda tidak takut?”

Kojiro kemudian tertunduk menatap foto tersebut.

“Awalnya, aku memang merasa takut. Karena pada waktu itu, ancaman perang dari beberapa militer Rusia masih terdengar walaupun perjanjian sudah dilaksanakan. Tapi, ajaibnya aku berhasil mengatasi itu semua dengan baik.”

Kojiro kemudian tertawa ringan. Aku dan Yuuto menyimak.

“Oh! Sepertinya kita sudah sampai di ruangan Nyonya Akane.”

Kami sampai di sebuah ruangan dengan papan shoji yang tertutup. Tampak di depan ruangan itu dijaga oleh beberapa Magus yang berkiprah di militer. Mereka juga anggota Rikugun (Angkatan Darat), terlihat dari seragamnya. Mereka mungkin juga sama dengan Yuuto dan Kojiro, anggota Klan Yonezawa.

“Kami ingin bertemu dengan Nyonya Yonezawa Akane.”

Salah satu dari para penjaga itu kemudian melihatku yang berada di belakang Yuuto.

“Diakah Baskara Alois-dono yang dari Hindia Belanda?” Dia bertanya.

Aku mengangguk. Aku mengerti maksudnya embel-embel “-dono”, tetapi masih sangat aneh bagiku karena aku bukanlah seorang samurai ataupun daimyo.

“Baiklah.” Dia kemudian mengetuk shoji. “Permisi, Akane-sama. Kapten Takagi Yuuto ingin bertemu dengan Anda. Dia membawa Baskara Alois-dono.”

“Masuklah.” Suara wanita yang lembut membalas.

Pintu shoji pun digeser. Benar-benar keajaiban.

Pertama-tama, dari interior ruangannya. Aku mengira bahwa kita akan duduk di tatami (lantai khas) seperti pada umumnya. Ternyata, ruangan itu sudah memiliki meja kerja besar seperti kantor Pak Tsunemori. Ruangannya juga sudah bergaya sedikit Barat. Namun, Nyonya Akane sepertinya masih memajang lukisan-lukisan ukiyo-e yang khas.

Kami melihat sosok wanita dewasa yang menawan dengan kimono-nya yang khas untuk bekerja duduk sambil menulis banyak dokumen di meja kerja yang besar itu. Dialah Akane Yonezawa. Meskipun umurnya sudah lanjut, dia masih tetap sehat.

“Selamat datang, Baskara Alois-kun.”

***

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!