Nathan dan Sam langsung menuju ke pelabuhan. Mereka membawa anak buah dengan jumlah yang tak terlalu banyak, tapi memiliki keahlian menembak dan bertarung tanpa senjata.
“Apa Mr. Bone juga turut andil dalam hal ini, Sam?” tanya Nathan sambil memegang senjatanya dan mengarahkannya pada seorang pria yang tengah berada di pinggir dermaga.
Dorrr!!
Saat terdengar suara tembakan, kepala-kepala yang awalnya bersembunyi kini mulai tampak. Hal itu tentu saja membuat senyum terukir di wajah Nathan.
“Sepertinya begitu, Tuan. Ia bahkan meminta ganti rugi yang besar pada kita sesaat setelah kapal pengangkut meledak,” kata Sam.
“Arah jam sebelas, Sam,” perintah Nathan.
Sam, yang bernama asli Samuel Lewis, mengarahkan senjatanya pada suatu alat pemicu yang telah dipasang oleh anak buah mereka secara diam-diam.
Dorrr dorrrr!!!
Dan
Duarrrr!!!
Sebuah ledakan besar pun terjadi. Ledakan tersebut tak hanya menghancurkan sebagian dermaga, tapi juga sebuah gudang persediaan milik pemimpin klan mafia yang ingin menghancurkan klan mafia milik Nathan.
Senyum lebih sinis dan tajam kini terikir kembali di wajah Nathan. Ia pun memasukkan senjatanya ke dalam jaket khusus dan turun dari salah satu box container yang ada di dermaga.
“Bersihkan mereka semua, Sam. Jangan ada satu pun anak buah mereka yang tersisa,” perintah Nathan dan melenggang pergi.
“Baik, Bos!” Sam pun langsung memegang telinganya di mana terpasang earphone. Ia memberikan perintah pada seluruh anak buah klan mafia ‘King Ace’.
Kejadian ini tentu saja mengundang perhatian pihak kepolisian. Namun, tak ada yang berani ikut campur, apalagi ini adalah pertarungan dua kubu klan mafia. Mereka lebih memilih diam dan membiarkan semuanya daripada kekacauan semakin besar dan berimbas pada warga.
**
Sudah dua hari Elouise berada di dalam ruang rahasia. Ia berusaha mengirit makanan yang tersedia di dalam, meskipun kakaknya juga menyimpan banyak makanan kaleng dan makanan instan lainnya.
Elouise juga sedikit bingung karena kakaknya terlihat menyimpan begitu banyak barang yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari di dalam ruangan tersebut.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, televisi yang menampakkan rekaman CCTV selalu dinyalakan oleh Elouise. Ia perlu memantau situasi di luar Mansion agar bisa mencari momen yang tepat untuk bisa keluar dari sana dan mencari kakak keduanya.
Elouise memperbesar sedikit suara televisi tersebut dan mulai terdengar suara di ujung CCTV.
“Duarrr!!” Elouise langsung menutup mulutnya agar tidak berteriak sama sekali. Jantungnya langsung berdetak dengan cepat karena kaget.
Ia melihat seorang pria dengan penutup wajah seakan tengah tersenyum dengan matanya.
“Kamu kaget, Elouise sayang?” Seketika Elouise gemetar ketika pria itu berbicara dengannya.
“Apa dia tahu aku masih berada di sini?” gumam Elouise.
“Aku tahu kamu masih berada di dalam mansion dan memperhatikan gerak gerik kami dari sana. Tapi tenang saja, aku akan segera menemukanmu. Kamu tinggal memilih, menikah denganku atau mati di tanganku,” kata pria dengan penutup di wajahnya.
“Apa yang harus kulakukan, Kak?” gumam Elouise setengah berbisik. Ia menatap ke sekeliling, mencari sesuatu yang akan membantu melindungi dirinya. Namun, ia tak menemukan apapun di sana.
Hingga ketika secara tak sengaja, tangannya menyentuh lampu tidur yang berada di atas nakas, sebuah lemari terbuka dan tampak sebuah ruangan lain.
“Ruangan apa lagi ini?” tanya Elouise bermonolog sendiri. Ia tak pernah diberi tahu oleh Robert tentang ruangan tersebut.
Matanya membulat ketika melihat apa yang berada di dalam ruangan tersebut. Senjata api hingga senjata tajam diletakkan secara rapi di sana.
Apakah ini semua adalah milik Kak Robert? - batin Elouise.
Elouise pernah belajar menembak, tapi itu sudah agak lama. Ia tak pernah lagi menggunakan keahliannya itu karena ia selalu dilindungi oleh bodyguard yang disiapkan oleh kedua orang tuanya.
“Aku harus segera keluar dari sini. Aku tak bisa terus berdiam dan berharap ada seseorang yang datang dan menolongku. Aku harus menemukan cara untuk pergi. Mungkin lebih baik jika aku mati daripada harus berdiam diri dan membuat mereka dengan mudahnya menekanku,” kata Elouise pada dirinya sendiri.
Elouise mulai mencatat semua yang ia butuhkan untuk keluar. Ia juga menulis aktivitas orang-orang di luar agar ia benar-benar bisa menemukan momen yang tepat untuk lari. Tak lupa juga ia memilah senjata apa yang bisa ia bawa.
**
“Kapan kamu akan pulang, Nath?” tanya Mom Anna yang memang sangat merindukan putranya itu.
“Aku belum tahu, Mom. Pekerjaanku sangat banyak di sini dan aku sibuk sekali,” jawab Nathan dengan alasan yang selalu sama.
“Kamu selalu seperti itu. Apa kamu tidak merindukan Mommy sama sekali?” tanya Mom Anna.
“Tentu saja aku merindukan Mommy, tapi untuk saat ini aku benar-benar tak bisa pulang,” kata Nathan.
“Apa kamu juga tak akan menghadiri pernikahan Nixon?”
“Nixon menikah?”
Sejak ia memutuskan pergi menjauh dari keluarganya, ia sudah hampir tak pernah menghubungi. Bahkan dengan saudara kembarnya, Nixon, Nathan jarang berkomunikasi. Mungkin sudah sekitar dua tahun dan ia belim juga bisa move on dari Jenia.
“Hmm … ia mabuk dan menabrak seorang wanita hingga lumpuh. Orang tua wanita itu memintanya bertanggung jawab,” kata Mom Anna menjelaskan.
“Apa Nixon tidak dijebak, Mom?” tanya Nathan. Sejak tunangannya meninggal, Nathan selalu berpikiran negatif pada siapa pun dan pada hal apapun.
“Tidak, sayang. Uncle Lexy sudah memeriksanya. Mereka bukanlah keluarga seperti itu. Mereka memang bukan keluarga kaya raya, tapi mereka adalah orang-orang baik,” jawab Mom Bianca.
“Kita tak bisa percaya begitu saja, Mom. Saat ini banyak orang berkedok baik dengan tujuan tertentu. Aku tidak mau Nixon terjebak dalam pernikahan yang tidak dia inginkan,” kata Nathan.
“Nixon sudah menyetujuinya.”
Terdengar helaan nafas dari Nathan, membuat Mom Anna kembali bertanya.
“Apa kamu juga sedang memiliki masalah, sayang?” tanya Mom Bianca.
“Tidak, Mom. Aku hanya sedikit lelah saja,” jawab Nathan.
“Kalau begitu kembalilah dulu. Biarkan Mommy bisa memelukmu meski hanya sebentar,” kata Mom Anna dengan nada sendu.
Nathan tahu ia sangat egois. Ia hanya mementingkan perasaannya tanpa memikirkan perasaan kedua orang tuanya, maupun keluarga mereka. Ia hanya ingin menata hatinya, tapi selalu saja gagal. Berada di Switzerland, membuat Nathan selalu teringat pada Jenia.
“Kapan Nixon akan menikah?” tanya Nathan.
“Dua minggu lagi,” jawab Mom Anna.
“Aku akan kembali sehari sebelumnya, Mom. Aku akan menyelesaikan semua pekerjaanku di sini terlebih dahulu.”
“Baiklah, terima kasih, sayang,” sambungan ponsel pun terputus.
Nathan menghela nafasnya pelan saat selesai berbicara dengan Mom Anna. Ia bersandar di kursinya.
Mata Nathan menerawang ke langit-langit, sementara jiwanya seakan sudah tak ada lagi di sana. Lalu ia memejamkan matanya dan kembali mengingat saat-saat terakhir sebelum Jenia meninggal.
🌹🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Renireni Reni
next
2023-07-21
1