Harapan Paman

"Kak Saras sudah tua belum juga punya pacar? Nggak laku ya?!" Keponakanku semakin menjadi jadi.

"Aduh, kamu tu ya, mulutnya mau disumpel batu kali." Aku pun menjewer keponakanku yang beranjak remaja ini.

"Aduh, sakit!!!" Dia pun kesakitan karena kujewer.

Malam ini aku kedatangan pakde dan budeku. Mereka mampir sebentar karena ingin melihat keadaanku di sini. Maklum, lebaran kemarin tidak pulang kampung. Dan kini mereka membawa banyak buah tangan dari sana. Katanya mereka sengaja menyiapkannya untukku.

"Ayah dan ibumu rindu, Saras. Kenapa lebaran kemarin tidak pulang? Apa tidak ada ongkos?" tanya Budeku.

"Iya. Kasihan mereka sudah tua harus menanggung rindu." Pakdeku ikut menambahkan. Saat itu juga hatiku terenyuh.

"Em, Saras belum bisa pulang Pakde, Bude. Kemarin lembur sampai H-1 lebaran. Jadi ya nggak sempat. Mungkin diusahakan akhir tahun ini. Saras ambil cuti sekalian," kataku.

"Oh, ya, ya. Baiklah nanti pakde sampaikan. Tapi kamu di sini baik-baik saja, kan?" tanya Pakdeku.

"Iya, Pakde. Saras baik-baik aja di sini. Malahan tiap bulan dapat korting bayar kontrakan karena sudah lama di sini." Aku menceritakan.

"Syukurlah kalau gitu. Pakde sama bude juga nggak bisa lama-lama karena mau ke rumah pak Samsul mengantarkan pesanan. Kebetulan rumahnya nggak jauh dari sini." Pakde menerangkan.

Aku mengangguk. Kami kemudian bercakap-cakap sebentar mengenai kehidupanku di ibu kota. Dan ya, mereka mendoakan agar lekas mempunyai pasangan. Tentunya pasangan yang setia hingga akhir hayatku. Karena itulah yang kubutuhkan.

Tapi, jika dilihat dari keseharian, siapa yang mau denganku? Umurku sudah tiga puluh tiga. Aku juga belum mempunyai aset rumah atau harta. Aku hanya seorang karyawan yang gajinya berkisar lima jutaan. Apa ada pria mapan yang mau denganku? Mungkin lebih baik bermimpi di siang bolong.

Lusa kemudian...

Hari ini Hari Senin. Di mana diadakan rapat mingguan oleh manajer kantor kami. Dan ya, kami membahas kinerja selama satu minggu ke belakang. Tentunya sesuai divisi masing-masing. Dan yaaku melaporkan jika event sudah siap untuk dijalankan. Manajer kantor pun meminta editor divisi lain untuk membantuku.

Senang rasanya mempunyai tim yang solid dalam hal bekerja sama. Tapi sayangnya, kami hanya solid di pekerjaan. Tidak di luar jam kerja. Jika di luar jam kerja, teman-temanku lebih suka berkelompok dan mementingkan dirinya. Dan aku sebagai seorang yang malas berdebat, kadang hanya bisa menghindarinya.

"Ras, tadi ibu dirut nanyain lo." Teman kantorku memberi tahu.

"Ada apa?" tanyaku heran.

"Katanya dia mau ngajak lo ke arisannya. Arisan berondong. Kali-kali lo laku di sana," kata temanku yang sontak membuat seisi ruangan tertawa.

Aku menelan ludah. Berusaha menanggapi ucapan teman kantorku dengan bercanda. Aku pun berusaha tersenyum walaupun berat sekali. Karena kutahu ledekkan itu sungguh tak pantas kuterima.

"Ana, lo keterlaluan! Saras itu bukannya nggak laku. Dia pemilih terhadap pasangannya. Emang lo yang suka-suka!" Stefany membelaku.

Sungguh sedih sekali mendengar hal itu. Kuakui teman-teman di kantorku rata-rata sudah menikah, berkeluarga dan punya anak. Mungkin bisa dihitung jari yang belum menikah. Itu juga mereka masih muda-muda. Sedang aku sudah kepala tiga.

"Ras, jangan didengerin. Udah kerja lagi." Stefany pun mengajak ku tak memedulikannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!