"Buk, jangan gitu, dong, Vilia kan adik aku. Harusnya ibuk juga sayang sama dia," ucap Maira tak bosan-bosannya. Entah ke berapa kalinya dia selalu menasihati sang ibu bahwa membedakan anak menantu karena harta itu bukanlah hal yang baik.
"Halah, udahlah, Maira, ngapain kamu belain adikmu yang bodoh ini. Dilamar sama PNS, pegawai kantoran, pengusaha restoran, eh, milihnya ojol. Emang matanya buta," gerutu Nura dengan tatapan sinisnya pada sang anak dan menantu dengan sinis.
"Ibuk, jangan gitu, nggak boleh," ucap Maira yang lagi-lagi harus kecewa melihat tingkah sang ibu yang tak bosan-bosannya membandingkan mereka. Apalagi, dia merasa tak enak pada adik dan iparnya itu.
"Bener, Buk, jangan gitu, dong. Vilia kan sudah menentukan laki-laki pilihannya. Ibuk nggak boleh menentang takdir Allah," ucap Arvan yang malah membuat sang mertua semakin bangga padanya.
"Ya ampun, Arvan, kamu itu jadi menantu kok sempurna banget sih. Ibuk jadi makin bangga sama kamu."
"Terima kasih, Buk, aku sama Maira mau keluar bentar. Kami boleh titip anak-anak, Bu? Soalnya tempat yang mau kami datengin nggak memperbolehkan anak-anak masuk," ucap Arvan dengan sopan.
"Ya, Nak, nggak papa, mau berapa hari pun mereka di sini Ibuk nggak keberatan. Mereka kan cucu-cucu Ibuk yang baik dan pintar, iya, kan, Sayang? Sini, cucu-cucu Nenek," ucap Nura sambil mengusap kepala kedua cucunya.
Sedangkan Vira, anak Vilia dan Fahri hanya bisa melihat pemandangan itu dengan tatapan sedih. Tak pernah dirasakannya kasih sayang seorang nenek. Jangankan memeluk atau memangku. Memanggil sayang saja tidak pernah.
"Buk, ini buat Ibuk, ya. Mana tau nanti anak-anak mau beli jajan." Arvan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. Mata Nura pun berbinar-binar menerima uang itu dari sang menantu.
"Terima kasih, ya, Van. Kamu baik banget. Ya udah, pergi, gih. Percayakan anak-anakmu sama Ibuk, ya."
Mereka memang tinggal di kabupaten, namun berbeda kecamatan saja. Jarak tempuh hanya setengah jam sehingga setiap minggunya mereka bisa datang untuk menjenguk sang Ibu.
Sedangkan rumah kontrakan Vilia dan Fahri berjarak sekitar sepuluh rumah dari orang tua mereka. Mereka hanya memerlukan waktu satu menit untuk sampai ke sana.
Arvan dan Maira pun langsung pergi dari rumah sang ibu. Mereka mengendarai mobil yang dibeli Arvan beberapa tahun yang lalu.
"Vilia, kamu nggak ada kerjaan, kan? Itu di belakang banyak banget piring kotor bekas kemarin. Cuci sana. Dan kamu Fahri, bersihin pekarangan belakang. Udah semak banget, nanti Ibuk kasih beras," ucap Nura tanpa ada senyum sedikitpun.
"Nggak papa, Buk, beras kami masih ada, kok. Biar kami kerjakan. Vira, kamu di sini dulu, ya," ucap Fahri pada sang putri.
"Iya, Yah," ucap Vira sambil mengangguk ragu. Sejujurnya dia ingin pulang saja. Karena di situasi seperti ini, pasti dirinya hanya akan menjadi bulan-bulanan kedua sepupunya yang nakal. Rey dan kakaknya sangat nakal dan suka memberantaki barang-barang di rumah. Dan ujung-ujungnya, dialah yang disalahkan dan disuruh membersihkan.
Apalagi kalau Rey menangis, pasti dia jugalah yang disalahkan. Tidak anak, tidak cucu, semua mendapatkan perlakuan yang sama dari Nura.
Andai saja kakeknya sudah pulang, pasti dia bisa bernafas lega karena hanya sang kakek yang sayang padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Yuli maelany
dan liatlah entar orang yang paling bisa d andelin pas orang tua udah susah dan butuh d urus pasti selalu yang paling nggak d anggap....
2023-05-04
0
Ayas Waty
kasian si Vira
2023-04-23
0
Amin Salam
org tua pilih kasih mentang 2 yg satu miskin yg satu kaya di beda bedain kan gk baik kasian ug kecil gk pya tp org tua cuek
2023-04-06
1