Subuh telah tiba, saat Adzan dikumandangkan sosok pemuda itu masih termenung. Sebuah penolakan, sungguh menyakitkan hati. Di mana banyak wanita tergila-gila padanya, gadis yang sempat digadang-gadang akan menjadi pasangan hidup justru menolaknya, bahkan tanpa melihatnya terlebih dahulu.
Foto sang gadis bersurai panjang nampak kumal dalam genggaman. Di saat pilihan itu dia serahkan kepada kedua orang tua, saat mendapatkan penolakan, bukan hanya hatinya yang kecewa, tapi Ayah dan Ibunda.
Tok..! tok...! tok...!, terdengar suara pintu diketuk.
Dengan malas dia bangkit dari tempat tidur.
"Ayo subuhan ke Mushola," ternyata itu sang Ayah, seperti kebiasaan dia selalu mengajaknya untuk sholat berjamaah.
"Ayah duluan saja. Juna mau ambil masker dulu."
"Ayah tunggu di depan, ya," Arjuna, sang putra hanya mengangguk samar.
Sudah beberapa hari mereka di tempat ini, kediaman nenek Adila. Sebuah desa kecil nan jauh dari perkotaan. Usai melaksanakan sholat subuh, Arjuna bersama sang Ayah berjalan menyusuri tepian kampung. Di sana masih banyak pepohonan, rumput nan hijau, dan bunga-bunga indah yang ditanam di halaman rumah warga. Sejak kecil Arjuna kerap menginap di kediaman meneknya saat libur sekolah. Dia sangat senang tinggal di sana, karena suasananya sangat berbeda dengan pesisir, tempat Ayah dan Ibunda tinggal.
Sang kakek memiliki banyak rumah kontrakan di tempat itu, dan sang nenek memilih pindah ke sana untuk mengelola bisnis rumah kontrakan tersebut. Sudah cukup baginya hidup mewah, sejak kelahiran Arjuna sang Nenek tak lagi gemar berpesta dan pamer berhiasan. Semua ada masanya, dan bagi Adila hidup sederhana di desa dengan gelar juragan kontrakan, rasanya sudah cukup dan nyaman dijalani saat hari tua.
Atas saran Adila, gadis itu dilirik keluarga Ahmad. Para orang tua sudah setuju, hanya saja sang gadis sudah memiliki kekasih. Begitu cinta dan sayang kepada sang kekasih, hingga lamaran Arjuna ditolak.
"Namanya bukan jodoh. Juna nggak bisa memaksa" ujarnya saat Agam menanyakan perasaannya usai ditolak.
"Tapi kamu jadi lebih pendiam."
"Itu perasaan Ayah saja" mempercepat langkah. Hari ini Arjuna berniat kembali ke kota, sebab pekerjaan di kantor sudah lama menantinya.
"Ayah ke kantor nggak?." Bertanya sedikit nyaring, sebab adanya jarak di antara mereka.
Sang Ayah mengatakan akan ke kantor. Maka Ayah dan anak itu berangkat ke perkotaan bersama. Sedangkan sang Ibunda masih tinggal di sana. Nanti sore usai pulang bekerja sang suami akan menjemputnya.
Tibalah waktu makan siang. Betapa terkejut Arjuna atas kedatangan Syailendra. Abang yang satu ini sangat gemar membuat jantung berdebar kencang. Dia datang hampir tanpa suara, beruntung Arjuna telah selesai minum sebelum Enda menepuk pundaknya.
"Ngapain Abang ke sini?. Abang nggak kerja sama dengan perusahaan Kakek kan?."
"Maksud kamu Abang jadi koki di sini?. Enggak dong. Abang hanya mampir, mau makan siang sama kamu."
"Aku sudah selesai" Arjuna menunjuk piring di hadapan. Dan piring itu memang telah kosong.
"Kok nggak nungguin?" kening Enda seketika berkerut.
"Abang nggak bilang dari awal kalau mau makan siang sama-sama. Ini bukan salah Arjuna ya."
"Ya sudah, temani Abang makan."
"Oke! oke!. Tapi Bang, makanan di restoran Abang kan lebih enak. Kok malah ke sini?."
"Itu bukan restoran Abang!." Enda menekankan.
"Iya tau. Itu restoran punya Abi Khair. Tapi Abang kan CEOnya."
"Mana ada CEO pegang panci sama penggorengan. Aktif di dapur kotor pula" sahut Enda seraya memesan makanan.
Arjuna tersenyum kecil, seraya memasang maskernya"Ada, Abang contohnya."
Menarik masker dari wajah Juna"Nggak sesak memakai masker terus?" lain yang diucapkan Arjuna, lain pula yang dikatakan Enda.
"Enggak. Sudah kebiasaan."
"Kamu sangat tampan---."
"Abang lebih tampan" sambar Arjuna.
Terkekeh, itulah yang selalu terjadi saat dirinya kalah berdebat dengan Arjuna. Pemuda di hadapan Enda ini bukan tanpa sebab memakai masker. Saat kecil dia sempat mengalami kecelakaan, terjatuh saat mengejar layang-layang. Tentu yang mengajari mengejar layang-layang adalah Enda, saat mereka bertandang ke desa tempat tinggal Nenek Adila. Dagunya terluka dan harus dijahit. Malu karena luka itulah yang membuatnya selalu memakai masker.
Selain itu, ada sebab lain mengapa dia selalu memakai masker. Memiliki wajah tampan, hidung mancung dengan garis rahang yang menambah ketampanan seorang Arjuna, dia juga punya tahi lalat di bawah mata sebelah kanan, membuatnya sering menjadi pusat perhatian. Dirinya yang memiliki sifat seperti sang Ibunda, tak suka menjadi pusat perhatian merasa lebih nyaman saat memakai masker.
Berkacamata, dengan masker dan Topi, begitulah style Arjuna saat masih kuliah dahulu. Hingga sekarang pun style itu masih kerap menjadi pilihannya, dengan earphone di telinga Arjuna membentengi diri dari orang lain.
Selain para keluarga, dan rekan Ayah Ibunda, Arjuna tak punya banyak kawan. Seperti sekarang, dia hanya punya Enda. Enda lagi, Enda lagi. Saat susah ataupun senang, putra dari sahabat Ayah dan Ibunda inilah tempat berbagi. Arjuna yang pendiam, irit bicara, dan tak suka keramaian, sangat berbeda dengan Enda yang petakilan, usil dan selalu ceria. Meski begitu, Arjuna bisa menjadi banyak bicara kalau bersama Enda. Ya!, hanya Enda. Adik perempuan Enda yang bernama Mecca pun jarang berbincang banyak dengannya. Padahal Mecca selalu punya modal untuk mengajaknya mengobrol, dan Arjuna selalu punya kata yang membuat obrolan mereka buntu.
"Kamu ngelamar cewek kok nggak kasih tau."
Akh!! obrolan ini. Arjuna rasanya ingin pergi jauh saja. Itu baru rencana, dan sudah ditolak. Ada rasa kesal karena kabar itu sampai kepada Enda, yang artinya dirinya menjadi bahan omongan orang lain.
"Mana sih ceweknya?, abang mau tau. Secantik apa sih orangnya sampai berani nolak kamu."
Uluran tangan Enda ditepis Arjuna"Sudahlah Bang. Nggak usah bahas cewek lagi. Namanya bukan jodoh mau apa lagi."
"Abang mau lihat orangnya saja."
"Nggak boleh menatap wanita yang bukan mahram" ucap Arjuna melipat kedua tangan di dada.
"Ck!. Dasar cucu kyai, kalau ngomongin cewek suka bawa-bawa mahram."
"Kayak Abang bukan cucu kyai saja!" balas Arjuna membuat Enda tertawa. Mereka sedang membicarakan kyai Bahi, semoga tidak bersin-bersin ya orangnya di pondok pesantren sana.
"Ayo dong Jun, kasih tau ceweknya yang mana?."
"Udah kerja."
"Terus?."
"Terus apa?."
"Katanya kamu dikasih fotonya. Sini Abang lihat."
"Sudah Juna kembaliin" bohong. Nyatanya foto gadis itu nampak kumal di atas meja kerjanya, di kediaman Nenek Adila.
"Akh! Juna nggak asik!" ketus Enda.
"Sudah dari dulu kok nggak asik. Makanya yang mau temenan cuman Abang doang." Alih-alih memasang wajah sedih, saat mengatakan itu Arjuna nampak biasa-biasa saja.
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya ya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
mama Al
puji memuji
2023-05-20
1
mama Al
nggak jodoh
2023-05-20
1
ZasNov
Aku juga sama kayak Enda, beneran penasaran sama cwe yang nolak lamaran Arjuna.. 😆
2023-05-17
1