Tuhan, Ujian Ini Terlalu Berat

Aku seperti sebuah perahu kecil di tengah samudera, terombang-ambing oleh ombak. Tak tahu harus kemana karena badanku dilempar kemanapun arah angin berhembus, bahkan hempasan itu pelan-pelan menghancurkan dinding pertahanan ku.

Di rumah besar ini tak ada putra dan suamiku, sekarang aku bingung harus mencari mereka kemana. Karena aku benar-benar tak terlalu paham dunia luar suamiku. Sementara bekal benar-benar tidak ada. Selama kami menikah, aku terkurung dalam istana ini. Selama itu tak terlalu menjadi masalah sebab aku memang tak terlalu suka banyak bergaul dengan orang lain.

Makanya ku putuskan kembali ke kantor polisi. Aku tak ingin menyerah. Sebelumnya aku memberanikan diri meminjam atau lebih tepatnya meminta ongkos pada satpam tadi sebab tak ingin kejadian tadi pagi terulang lagi. Untungnya ia benar-benar baik, selembar uang seratus ribu diberikan kepadaku.

Sampai di kantor polisi, aku kembali membuat laporan. Bahkan bertekad tak akan pulang sebelum mendapatkan kepastian karena memang saat ini gak tahu lagi harus kemana sebab pintu rumah besar itu kini tertutup rapat-rapat untukku. Entah dosa mana yang menjadi penyebab aku harus menerima semua ini.

Selama dua tahun menikah dengan mas Dani, rasanya aku sudah melakukan semuanya dengan sangat baik. Sebagai istri, aku merasa sudah melaksanakan tugasku dengan baik. Melayaninya semaksimal mungkin. Segala urusannya ku upayakan dikerjakan sendiri tanpa dicampur tangani oleh pembantu yang bertebaran di rumah besar itu. Pada bayi kami Sean pun aku sudah berusaha menjaganya sebaik mungkin. Rasanya tak ada hal-hal yang bisa mengecewakan mas Dani. Bahkan saat ibu mertua menyarankan agar Sean minum susu formula saja agar aku tak terlalu repot, aku menolaknya. Bagiku, sebagai ibu, memberikan asi jika tak ada halangan adalah sebuah tanggung jawab yang harus dilakoni. Apalagi aku tak bekerja. Dua puluh empat jam di rumah, jadi tak ada alasan berarti untuk tak menyusui.

Sebagai menantu aku juga berupaya berbakti semaksimal mungkin. Aku yang tumbuh besar tanpa kasih sayang orang tua kandung berupaya memberikan bakti terbaikku. Meski tak sempurna tapi rasanya aku tak mengecewakan. Begitu juga sebagai ipar, pada kak Dira, aku berusaha untuk menjaga sikap sebaik mungkin agar jadi ipar yang menyenangkan. Selama dua tahun ini Kami sangat akur, bahkan sudah seperti adik kakak kandung. Ia bahkan bertambah baik saat aku hamil Sean. Perhatiannya sungguh luar biasa padaku.

Lalu apa yang salah? Aku mencoba mengingat-ingat. Tapi tetap saja tak menemukan jawabannya. Hingga kepalaku pusing.

"Belum pulang juga?" tiba-tiba mas Akbar datang. Ia sepertinya baru datang.

"Eh mas," aku memaksakan senyum. "Belum ada kepastian. Masih di suruh nunggu."

"Oh begitu. Tapi nunggunya harusnya jangan di sini, di rumah saja."

"Rumah? Rumah yang mana? Masuk ke rumah suami saja nggak boleh. Rumah sendiri? Aku nggak punya. Aku itu anak yatim piatu." Kataku, nyaris menangis karena memang rasanya dada ini sudah teramat sesak. Aku tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Makanya bingung harus melakukan apa. Tak ada juga teman untuk berdiskusi.

"Oh ya, maaf." Mas Akbar sepertinya merasa bersalah atas kata-kata terakhirnya. "Yan, kalau kamu butuh teman bicara, meski ini terdengar klise, tapi kamu bisa bicara dengan ibuku. Maksudku begini, ibuku, ia meski ibu rumah tangga biasa namun pemahamannya tentang kehidupan ini sangat luas, ya maklumlah, usianya dua kali lipat usia kita. Pengalamannya sudah lumayan banyak. Barangkali dengan ngobrol maka bisa menghilangkan beban di pikiran kamu." Ia mengambil Hp ku, memintaku membuka kodenya, lalu memasukkan nomor ibunya. "Kamu bisa menelepon atau mengirimkannya pesan. Aku sangat yakin dengan berbincang maka bisa menghilangkan sedikit beban kamu atau bisa jadi masukan untuk kamu."

Meski agar aneh dengan idenya, aku menyambut dengan senang hati sebab memang aku butuh teman bicara. Tapi yang membuatku heran, kenapa ia malah menawarkan ibunya bukan dirinya sendiri? Mengingat aku mengenalnya bukan ibunya?

"Oke, sekarang bagaimana kalau kita makan siang. Kamu terlihat lelah. Usai makan aku temani kamu menunggu di sini, bahkan akan ku pertanyakan tentang laporan kamu pada temanku agar segera ditindaklanjuti." Katanya. Ia membawaku ke rumah makan Padang yang berada persis di sebelah kantor polisi. Kami makan bersama di sana. Meski perutku teramat lapar namun tak banyak makanan yang bisa masuk ke perutku karena perasaanku masih campur aduk.

***

Akhirnya aku kembali ke panti juga sebab kasusku masih menunggu dua puluh empat jam. Sampai di panti, aku menangis sejadi-jadinya. Bu Tari memelukku. Ia menyarankan agar aku istirahat di salah satu kamar milik ibu pengasuh yang sudah berhenti. Aku juga dipinjamkan pakaian ganti sebab bolak-balik di siang hari membuat bajunya basah bersimbah keringat.

Kini, matahari sudah kembali ke peraduannya.. sementara malam telah datang. Aku hanya bisa merasakan kesedihan luar biasa sebab sudah tiga belas jam tak bertemu anakku. Hanya di atas sajadah aku bisa menumpahkan semua kesedihanku. Entah apa yang sebenarnya terjadi.. berharap Tuhan membuka tabir ini dan mempertemukan aku dengan Sean. Ia membutuhkan aku, begitu juga dengan diriku yang semakin tersiksa sebab selain rindu pada putraku, juga tak bisa memberikannya asi.

Ini benar-benar siksaan yang sangat pedih. Belum pernah aku merasa tersiksa seperti ini. Aku ingin bertemu Sean, aku tak sanggup dipisahkan seperti ini. Mas Dani, entah kemana ia pergi. Tadi pagi ia hanya berjanji pulang sebentar menjemput Sean, tapi kenapa hingga sekarang tak ada kabar darinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Duniaku serasa runtuh. Aku ingin melihat anak dan suamiku.

"Kamu belum tidur, Yan?" bibi Wina, salah seorang pengasuh di panti ini menghampiri. Rupanya ia terbangun dan hendak ke dapur untuk mengambil air. "Pasti kepikiran anak dan suami kamu ya? Yang sabar ya Yan. Bibi tahu kamu pasti sedang sedih dan bingung. Tapi ada Tuhan, Yan. Tuhan akan tunjukkan semuanya. Akan ada hikmahnya. Kamu sabar ya." Ia menepuk pelan pundakku. "Kalau ada yang bisa bibi bantu, jangan sungkan ya Yan. Mungkin kita tak terlalu dekat saat kamu masih kecil, tapi bibi juga menyayangi kamu, bahkan melebihi anak-anak yang lain. Bibi kasihan sama kamu, Yan. Kenapa ujian kamu begitu berat."

"Terimakasih bi," kataku. Yang tak bisa lagi berkata-kata sebab beratnya penderitaan yang aku rasakan. Entah sampai kapan cobaan ini. Aku gak tahu apakah aku sanggup menjalani hari esok tanpa Sean. Bahkan untuk memejamkan mata saja rasanya aku tak sanggup. Aku benar-benar hancur kehilangan putraku semata wayang. Ia satu-satunya milikku yang paling berharga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!