Sudah dua jam berlalu, belum ada tanda-tanda Mas Dani akan datang. Telepon juga belum ada tanggapan. Aku berinisiatif menelepon ke telepon rumah. Tak berapa lama panggilanku dijawab oleh Bi Ika, kepala pelayan di sana.
[Bi, saya ingin bicara dengan pak Dani.] kataku.
[Maaf Bu, pak Dani tidak di rumah!] Klik. Ia langsung menutup telepon, membuatku bingung. Sikapnya masih saja sama seperti awal aku datang ke rumah itu. Tidak ramah. Seolah aku bukan bagian dari keluarga itu, padahal aku sudah menikah dengan majikannya, berarti aku juga majikannya juga.
Tapi itu semua tak terlalu penting, sekarang aku harus tahu dimana mas Dani berada. Apa jangan-jangan ia belum sampai ke rumah karena terjadi sesuatu di jalan?
Jantungku langsung berdebar kencang. Teringat tadi saat ia meninggalkan aku sambil mengendarai mobil dengan kecepatan penuh. Aku langsung khawatir, makanya buru-buru pamit pada ibu Tari, tetapi di tahan sebab Bu Tari khawatir melepasku sendiri.
"Tunggu sebentar Yan, biar ibu hubungi Wisnu, supaya dia nganter kamu pulang." kata Bu Tari, sambil berlalu mengambil Hpnya.
Tak berapa lama, Wisnu, salah satu anak asuh yang dahulu tinggal di panti ini datang. Ia seangkatan denganku. Usianya lebih tua dua tahunan dariku. Wisnu sekarang tinggal tak jauh dari panti ini, ia sudah punya rumah sendiri sejak bekerja di salah satu perusahaan swasta. Kata Bu Tari, Wisnu adalah salah satu anak asuhnya yang masih sering datang ke panti ini.
"Yan, apa kabar?" kata Wisnu.
"Baik, Nu." kataku.
Aku berusaha bersikap biasa meski sebenarnya masih kaku. Persahabatan kami sempat rusak sebab Wisnu menentang pernikahanku dengan Mas Dani dengan alasan yang tidak jelas. Belakangan baru ketahuan kalau ia menyukaiku, namun terlambat menyatakan karena esoknya aku akan menikah. Saat itu ku katakan padanya untuk menghormati keputusanku, kami berdebat cukup panjang, ia bahkan sampai menuduhku sebagai perempuan matre, menikahi Mas Dani hanya karena ia lelaki kata raya. Padahal tak begitu kenyataannya. Pernikahanku itu karena cinta. Sekalipun suamiku hanya lelaki biasa, aku akan tetap memilih sebab ia lelaki pertama yang berani serius menjalin hubungan ke jenjang pernikahan.
"Wisnu ... tolong antar Yana, ya. Ibu khawatir kalau ia pulang sendiri. Tadi datang ke sini diantar suaminya, pulangnya sebaiknya diantar juga." kata Bu Tari.
Meski berat, aku akhirnya setuju juga diantar oleh Wisnu. Ia memakai mobil temannya karena aku menolak naik motor dengannya.
"Kamu ternyata enggak berubah juga ya Yan. Standarnya sudah tinggi. Perempuan cantik kebanyakan memang biasanya begitu ya, pilih-pilih!" celetuk Wisnu.
"Aku nggak mau berdebat, Nu." kataku, menghindari perdebatan karena memang sekarang yang ada di pikiranku hanyalah suami dan anakku. Kemana mas Dani? Kenapa sampai sekarang nomornya tidak aktif dan kata bi Ita ia belum juga sampai di rumah.
"Karena kenyataannya memang begitu, kan?" tuduh Wisnu lagi.
"Ni, kamu itu bisa simpati sedikit nggak sih? aku sedang banyak pikiran. Suamiku sampai detik ini entah ada dimana. Ia seperti menghilang di telan bumi!' aku terpancing juga.
"Memang dia mau menghilang, kan." celetuknya lagi.
Aku memilih diam. Terus menjawab celotehan Wisnu sama saja menabuh genderang perang. Lebih baik menyimpan energi sendiri yang sudah cukup terkuras karena panik untuk mengetahui kondisi suamiku nantinya.
Sampai di depan pintu gerbang rumah besar mertuaku, aku segera turun. Berlari memanggil penjaga gerbang, agar mereka membukakan pagar setinggi dua meter itu. Aku ingin masuk ke dalam, bertemu Sean. Sudah waktunya memberinya asi. Tetapi, pak Ciko, ketua keamanan di rumah ini melarang dua orang satpam yang biasa berjaga membukakan pintu.
"Maaf Bu Yana, tapi kata pak Ciko Bu Yana dilarang masuk." kata satpam yang bernama Rizal tersebut.
"Dilarang masuk? Maksudnya bagaimana? Saya istrinya mas Dani, ibunya Sean, menantu di rumah ini. Kenapa dilarang masuk, ini kan rumah saya juga? Memangnya ada apa? Lalu, bagaimana caranya saya bisa ketemu putra saya kalau saya engga bisa masuk?" Aku mengajukan banyak pertanyaan. Tetapi satpam itu tak bisa menjawab satupun pertanyaanku.
"Maaf ibu, tetapi itu perintah. Mohon mengerti, saya nggak bisa membiarkan ibu masuk." satpam itu langsung pamit, ia kembali ke pos yang berada beberapa meter dari gerbang.
"Hei hei tunggu dulu, jangan pergi!" aku berteriak histeris. Tak paham dengan ini semua.
Apakah ini mimpi? Aku mencoba mencubit tanganku. Sakit. Jadi ini bukan mimpi? Lalu kenapa semuanya jadi begini?
Tadi, semuanya baik-baik saja. Begitupun hari-hari sebelumnya. Tak ada yang janggal. Akupun sangat yakin tak melakukan kesalahan yang membuatku harus di usir dari rumah besar ini. Tetapi kenapa sekarang aku gak boleh pulang?
Mas Dani kemana? Bagaimana dengan kondisi Sean. Bayiku itu pasti rewel sebab sudah hampir tiga jam tidak mendapatkan asi. Aku benar-benar bimbang dibuatnya.
"Pak tolonglah pak, bukakan gerbang ini. Anak saya di dalam. Suami saya enggak tahu ada dimana. Dari tadi saya tidak bisa menghubunginya. Kalau tidak, tolong panggilkan Mama mertua saya. Izinkan saya bicara dengannya sebentar saja." pintaku sambil sedikit berteriak agar satpam itu mendengar. Tapi hasilnya nihil.
Tak ingin menunggu lebih lama lagi, aku kembali menelepon ke rumah. Lagi-lagi bi Ita yang mengangkat telepon, ia mengatakan padaku agar tak lagi menghubungi telepon rumah ini karena hasilnya akan sia-sia saja.
[Anda itu bukan bagian dari keluarga ini. Waktu anda sudah berakhir, jadi sekarang pergilah dari rumah ini. Paham!] bentak Bi Ita.
[Apa maksudnya? Jangan sembarang bicara. Saya itu istrinya mas Dani, ibunya Sean. Lagipula kalaupun waktu saya sudah habis yang entah apa artinya, tolong keluarkan putra saya dari sana. Sekarang saya ada di gerbang depan. Saya ingin ketemu Sean. Saya mohon dengan sangat untuk membawanya keluar.] pintaku.
[Heh, paham nggak. Sudah dikatakan kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Sudah sana pergi, kembalilah ke asal kamu. Jangan pernah berharap menjadi nyonya di keluarga ini karena kamu nggak pantas menjadi istri pak Dani.] kata bi Ita, lalu menutup telepon.
Nafasku rasanya sesak. Ada banyak pertanyaan yang membuatku tak bisa berpikir jernih. Ada apa ini. Kenapa para pekerja di rumah ini berani melarang ku masuk ke dalam? Padahal jelas-jelas aku adalah menantu di keluarga ini.
Awal datang ke sini, tak ada seorangpun yang berani bersikap seperti itu meski aku tahu Bi Ita gak menyukaiku. Ia selalu melayani segala keperluanku dengan ogah-ogahan, namun tak berani menunjukkan secara langsung ketidak sukaannya tersebut, tapi entah kenapa sekarang ia malah begitu lancang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments