Aku tak bisa masuk ke kantor polisi sebab supir taksi yang tadi mengantar tak mengizinkan aku pergi dari taksinya sebab aku tak mampu membayar ongkos perjalanan. Aku memang tak membawa uang sepeserpun, tadi pagi hanya membawa Hp. Dompet dan seluruh isinya ada di dalam kamar sebab semua serba dadakan.
"Nanti kalau masalah saya sudah selesai dan saya bisa kembali ke rumah maka saya akan bayar semuanya, bahkan kalau perlu saya akan bayar sepuluh kali lipat!" Kataku, sembari me.ohon agar supir taksi ini memahami posisiku yang sedang terburu-buru. Namun tetap saja ia tak mau mengerti. Aku dipaksa membayar atau akan dilaporkan ke polisi karena sudah melakukan penipuan. "Nah kebetulan sekali sekarang kita ada di depan kantor polisi, silakan bapak bawa saya ke sana dan laporkan saja saya. Enggak apa-apa kok, saya siap di laporkan karena memang saya tak membawa uang sepeserpun." Kataku
"Aghhh dasar perempuan gila. Kalau tidak punya uang kenapa naik taksi?" Ia marah. Aku menerima kemarahannya namun aku tak bisa melakukan apa-apa selain berusaha meyakinkan kelak kalau aku sudah bisa pulang maka akan ku bayar. "Kalau tidak berikan Hp yang kau pegang itu." Bapak supir meminta Hp yang ku pegang.
Aku mengelak. Hp ini satu-satunya yang aku punya. Kalau aku memberikan padanya bisa-bisa aku tak punya alat komunikasi lagi dengan suamiku dan keluarganya padahal aku belum tahu bagaimana keadaan suamiku dan juga putra semata wayangku. "Tidak dengan Hp ini. Saya tak akan memberikannya pada bapak sebab ini satu-satunya milik saya yang berharga dan alat komunikasi dengan suami saya." Kataku, lalu mencoba keluar dari taksi untuk kabur ke kantor polisi.
"Hei jangan kabur kamu." Supir taksi mengejar ku, dengan sigap ia menarik paksa tanganku agar kembali ke dalam taksinya. Tentu saja aku tak mau, makanya terjadi tarik menarik hingga seseorang yang kebetulan lewat melerai kami.
"Yana?" seseorang itu memanggil namaku. Aku nyaris terbelalak melihat siapa yang ada di hadapanku. Mas Akbar, ia adalah salah seorang senior di SMAku dahulu. Aku agak kaget bercampur malu saat ia tahu bahwa aku tak mampu membayar ongkos taksi. Untungnya mas Akbar mau membantu membayar biaya taksi yang dinaikkan jadi dua kali lipat oleh supirnya dengan alasan aku sudah membuatnya kehilangan banyak waktu.
"Ahhhh kenapa bapak itu jadi sangat matre sekali. Tadinya aku mau membayar sepuluh kali lipat kalau ia jujur, tapi setelah tahu sifat aslinya, aku mengurungkan niatku." Kataku, kesal dengan sikapnya.
"Kenapa Kamu ada di sini? Dani mana?" tanya mas Akbar, sambil melirik ke kiri kanan mencari sosok suamiku.
"Hilang." Kataku.
"Hilang? Maksudnya hilang Bagaimana?"
"Ya hilang. Makanya aku ada di sini untuk melapor. Tadi pagi suamiku mengantar ke panti, setelah itu ia tak bisa dihubungi sampai sekarang. Aku juga tak bisa kembali ke rumah padahal di sana ada anakku." Kataku, menceritakan secara lengkap apa yang sebenarnya terjadi dengan harapan mas Akbar mau membantu mengingat ia adalah seorang polisi. "Sekarang tolong aku mas, Tolong temukan suami dan anakku. Aku mohon." Kataku.
"Kamu masuk saja ke dalam dan buat laporan. Tapi biasanya untuk orang hilang baru dicari satu kali dua puluh empat jam."
"Apa tidak bisa dibantu lebih cepat? Bagaimana aku bisa sabar kalau tidak tahu kondisi suami dan anakku."
"Tidak bisa Yan."
"Kalau anakku? Bisa bantu aku untuk masuk ke rumah besar itu?"
Mas Akbar diam sejenak. Lalu ia mempertanyakan apakah hubunganku dengan keluarga besar mas Dani baik-baik saja, juga apakah ada hal-hal yang mencurigakan sebelumnya?
"Tidak ada..semuanya wajar-wajar saja. Hanya tadi pagi mas Dani mengajakku pergi pagi-pagi tanpa sempat membawa bayiku karena ia masih tidur." Kataku, menceritakan apa yang terjadi tadi pagi
"Tidak sempat atau memang disengaja?" Ia menatapku lekat.
"Duh, maksudnya bagaimana?" Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku sebagai seorang ibu yang selama enam bulan ini selalu membersamai anakku nggak mungkin sengaja meninggalkannya.
***
Aku dan beberapa orang polisi menuju rumah besar yang sebelumnya aku tinggali. Polisi meminta izin untuk bertemu dengan pemilik rumah, yang keluar adalah kepala keamanan yaitu pak Ciko. Ia mengatakan kalau majikannya sedang keluar kota. Papa, mama mertua, kakak ipar dan suaminya. Di rumah tak ada siapa-siapa.
"Keluar kota kemana? Lalu anakku dimana?" Tanyaku yang tak sabar untuk tahu kondisi anakku. Semua rasa bercampur baur, apalagi saat dikatakan kalau anakku tak ada di rumah dan ia tak tahu siapa yang membawanya.
"Sebelum tuan dan nyonya berangkat, bayi Sean sudah tidak ada di rumah. Saya juga tidak tahu siapa yang membawanya karena memang tak ada yang melihat." Kata kepala keamanan.
"Apa maksud anda tidak ada yang melihat bayi saya. Jelas-jelas ia ada di kamar!" Kataku. Aku bersikeras melihat ke kamar untuk memastikan anakku tak ada di dalam atau setidaknya mencari petunjuk keberadaannya. Tapi tidak diizinkan dengan alasan ini bukan rumahku dan untuk masuk harus ada izin dari pemilik rumah. "Saya istri sah dari putra pemilik rumah ini!" Kataku lagi, menekankan pada mereka siapa sebenarnya aku.
"Maaf Bu Yana, tapi ini bukan rumah mertua Anda melainkan rumah Bu Dira. Tuan Feri, nyonya Vio dan pak Dani hanya menumpang di rumah ini. Jadi mereka tak berhak dengan rumah ini. Yang berhak memberi izin adalah Bu Dira dan pak Alex selaku pemilik rumah ini!" Katanya dengan tegas.
Kepalaku benar-benar pusing. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Anakku tak tahu ada dimana, mau masuk rumah dilarang, kabar suamipun sampai sekarang tidak diketahui ada dimana.
"Tolonglah, jangan permainkan saya lagi. Dimana anak saya, kembalikan ia. Saya harus bersamanya karena sudah lebih dari empat jam saya tidak bertemu." Pintaku, berharap mereka berbelas kasih, namun tetap saja tak ada yang mau mempertemukan aku dengan Sean.
"Ibu, kami akan mengurus surat izin untuk menggeledah rumah ini sekaligus melakukan panggilan pada pihak-pihak yang bertanggung jawab. Jadi sekarang ibu bisa kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Kami permisi dulu, Bu." Kata polisi yang tadi menemaniku.
"Ta ... tapi pak. Anak saya bagaimana? Tolong carikan dulu anak saya." Pintaku. Namun mereka tetap memaksakan harus mengikuti prosedur sehingga aku kembali ditinggal sendirian di depan pagar setinggi dua meter. "Ya Tuhan ...." rasanya benar-benar kacau. Duniaku berantakan sebab terpisah dengan anakku. Sementara badanku mulai sakit sebab belum juga bisa memberikan asi untuk anakku.
"Bu Yana." Satpam yang tadi pagi membantuku kembali muncul, ia memberikan sebotol air mineral untuk penawar rasa haus sebab matahari mulai tinggi. "Ibu percaya sama saya, di sini tidak ada bayi Sean. Sebaiknya ibu pikirkan cara lain. Nanti kalau Sean pulang ke sini pasti akan saya kabari." Kata satpam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments