Siapa Yang Menculik Sean

"Aku nggak boleh masuk ke dalam." Kataku pada Wisnu, aku tak punya pilihan lain selain bicara dengannya padahal butuh teman untuk diskusi. "Padahal ada anakku di sana. Aku ahrus bertemu Sean, ia membutuhkan aku saat ini. Lalu sekarang aku harus bagaimana? Suami tak bisa dihubungi, mertua bahkan kakak ipar pun tak menghiraukan aku. Semuanya sulit dihubungi. Sementara, satu-satunya yang bisa aku hubungi hanya Pembantu di rumah ini, namun ia menolak memberikan informasi, bahkan terang-terangan mengusirku. Ini benar-benar aneh." Kataku. Air mata itu akhirnya tumpah juga. Sebagai seorang ibu, meski berusaha setegar mungkin namun tetap saja aku tak bisa.. perahananku runtuh juga. Aku tak bisa menahan rasa rindu pada Sean dan rasa khawatir yang amat tinggi pada suamiku. "Kenapa diam saja? Jangan seperti patung. Bicaralah!" Kataku pada Wisnu yang masih menutup mulutnya, seolah apa yang aku katakan tadi hanya angin lalu.

"Aku harus bicara apa?" Ia balik bertanya, seolah kejadian ini bukan apa-apa.

"Kamu benar-benar nggak punya hati ya, Nu. Aku seorang istri yang nggak bisa menghubungi suamiku, nggak tahu bagaimana kondisi anakku sekarang dan butuh masukan dari kamu tapi kamu enggak bisa memberikan sedikit saja masukan untukku? Setidaknya sebagai seorang manusia kamu bisa prihatin kan padaku?" Aku semakin meradang.

"Yang nggak punya hati itu bukan aku, Yan. Tapi suami kamu. Ngerti! Harusnya, ia yang dahulu kamu bangga-banggakan itu bisa memberikan ketenangan untuk kamu, bukan dari aku yang nggak berguna untuk kamu. Sadarlah Yana, kamu tak diharapkan di sini, kamu hanya dimanfaatkan. Sekarang lupakan saja semuanya dan mulai hidup baru!"

"Tega ya kamu?" Aku menatap Wisnu tak percaya. Dalam situasi seperti ini ia masih memikirkan perasannya. Sekarang ini sangat urgent, ada seorang ibu yang tak bisa bertemu anaknya padahal anaknya harusnya mendapatkan asi sejak beberapa jam lalu. "Antarkan aku ke kantor polisi!" Kataku.

"Hah, ngapain?"

"Aku akan melaporkan satpam dan pembantu itu karena melarangku masuk. Kapan perlu aku akan membuat mereka di penjara."

"Kamu yakin bisa melakukan itu? Bukannya mereka hanya pembantu dan satpam yang melaksanakan sesuatu karena perintah?"

"Apa maksudnya?"

"Ya cerna saja sendiri, Yan."

Aghhh, aku benar-benar bingung. Nggak tahu harus berkata apa. Kepalaku nyaris pecah sementara badanku mulai nyeri karena tak bisa memberikan asi. Saat seperti itu, Wisnu malah memberi usul agar kami pulang ke panti saja sebab aku butuh istirahat. Tapi sebesar bukan itu yang aku butuhkan. Aku butuh anakku. Okelah tak bisa ketemu mas Dani, tak tahu keberadaannya. Aku masih bisa menahan diri tapi tidak dengan anakku. Ia masih bayi, batu masuk enam bulan dan sangat membutuhkan aku. Bagaimana mungkin aku bisa berjauhan dengannya. Rasanya sangat menyesal sekali kenapa tadi mau pergi begitu saja tanpa membawa Sean. Sekarang anak itu pasti menangis mencari-cari aku ibunya.

Air mataku tak bisa berhenti. Aku kembali turun, memohon pada satpam agar membukakan pintu. Bahkan aku berjanji akan menanggung semua akibat kalau ada yang marah jika gerbang ini dibuka.

"Pak saya mohon, anak saya ada di dalam. Saya harus bertemu anak saya. Usianya masih enam bulan, bapak tahu kan anak bayi membutuhkan ibunya. Saya hanya ingin anak saya. Setelah itu kalau saya harus keluar nggak apa-apa tapi tolong ijinkan saya ketemu anak saya dulu. Kasihan dia, pak. Tolonglah." Pintaku sambil menangis, bahkan aku nyaris berlutut agar ia mau membuka gerbang.

"Ibu maaf, bukannya saya nggak kasihan pada ibu. Saya tahu ibu pasti sangat sedih sekali tapi saya nggak bisa melakukannya Bu karena begitulah perintah yang diberikan." Satpam itu bicara dengan mata berkaca-kaca. "Bu," ia sedikit berbisik. "Ini sebenarnya rahasia dan saya tak bisa memberitahu ibu tapi percayalah, informasi yang saya sampaikan ini benar. Putra ibu sudah tidak di rumah ini." Katanya.

"Apa? Sean tidak di sini? Bagaimana mungkin anda berkata begitu? Tapi pagi saya meninggalkan Sean di sini kok. Dia masih di kamar. Masih tertidur saat saya pergi bersama suami saya. Jadi siapa yang membawanya pergi? Enggak mungkin kan bayi enam bulan pergi sendi?"

"Ya Bu, ada yang membawanya, naik mobil. Tak lama diikuti mobil nyonya dan tuan besar. Lalu mobil ibu Dira dan suaminya. Jadi ada tiga mobil yang meninggalkan rumah ini. Saya tidak tahu apakah mereka pergi bersama atau tidak tapi yang jelas mereka sudah tak ada di rumah ini. Di sini hanya ada para pembantu dan kepala keamanan. Hanya itu saja Bu. Jadi percuma kalau ibu mencari den Sean di sini sebab ia tak ada di sini." Kata satpam itu

Tak ada alasan untuk tak percaya sebab dari mimik wajahnya aku tahu ia jujur. Sejak awal ia juga berlaku sopan kepadaku. Ia sangat menghormati aku layaknya majikan seharunya. Hanya saja yang membuatku bingung, kemana Sean pergi dan siapa yang membawanya? Juga kemana papa, mama mertua, kak Dira dan suaminya? Juga dimana mas Dani berada? Aku lagi-lagi dibuat bingung, dipaksa memecahkan teka-teki yang tak ku mengerti.

"Jadi sekarang saya harus bagaimana?" Tanyaku.

"Sebaiknya ibu lapor ke polisi saja sebab saya tak tahu harus memilih jalan apa lagi. Menunggu di sini hanya akan sia-sia. Saya malah tidak yakin mereka akan kembali. Tapi kalau mereka kembali saya akan mengabari ibu." Satpam itu memberikan sepotong kecil kertas berisi nomor Hpnya. Ia mengatakan agar aku mengirimkan nomorku agar nanti saat Sean datang kembali maka aku bisa menghubungi nomornya.

"Baiklah, terimakasih banyak pak. Saya tak akan pernah melupakan kebaikan bapak." Kataku. Berulang kali aku menundukkan kepala padanya sebagai ucapan terimakasih. Lalu bergegas naik ke mobil Wisnu untuk minta diantar ke kantor polisi. Tapi lagi-lagi Wisnu menolak.

"Memangnya ada apa, Yan? Kenapa harus lapor polisi? Anakmu ada di rumah kalian sendiri kenapa juga harus lapor polisi?" tanya Wisnu dengan entengnya. Ia tak juga prihatin padahal aku sudah berlinang air mata menjelaskan semuanya. Seorang ibu yang tak bisa bertemu bayinya tak akan bisa baik-baik saja seperti yang ia katakan.

"Kamu ya, nggak bisa merasakan prihatin sama orang lain. Benar-benar nggak punya perasaan. Kalau kamu enggak mau membantu ya sudah, aku bisa pergi sendiri!" Kataku dengan kesalnya. Lalu bergegas turun dari mobilnya, menyetop taksi yang kebetulan lewat. Aku tak akan berharap di tolong oleh manusia seegois Wisnu. Rupanya ia masih belum melupakan kemarahannya. Hanya karena ditolak makanya ia benar-benar membenciku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!