happy reading....
Semua tulang di tubuh Dewa seakan lolos dari tempatnya ketika mendengar istilah kedokteran yang terdengar tidak asing. Begitu juga yang dirasakan Naina dan bu Linda.
Dampak dari pemutusan hubungan secara sepihak oleh Ivan ternyata semengerikan ini. Dewa dan Karina harus kehilangan calon anak yang sudah sangat mereka damba.
"Aku akan membalas semuanya, Ivan. Kamu tidak hanya menghancurkan hatiku tapi juga seluruh keluargaku," gumam Naina penuh amarah.
Proses kuretase berjalan cepat, hanya tiga puluh menit saja Karina sudah dikembalikan ke ruang rawat. Ia sudah sadar sekarang, matanya kosong terarah pada jendela kaca yang menghadap ke taman.
"Dia membunuh anakku." Kalimat itu tak henti diucapkan mulutnya. Membuat hati yang mendengar semakin terasa teriris.
"Sabar, Sayang. Kita bisa berusaha lagi setelah ini." Dipeluknya tubuh kecil sang istri yang terus terisak. Meskipun Dewa begitu marah, namun ia mencoba untuk membesarkan hati istrinya.
Dokter mengijinkan Karina pulang sore ini juga. Secara fisik ia terlihat sehat setelah menghabiskan tiga botol infus hanya dalam waktu tiga belas jam. Jangan ditanya bagaimana keadaan hati Karina. Ia merasa sedih dan kehilangan meski kandungannya baru berjalan sepuluh pekan.
"Kak, makan dulu. Aku suapin, ya?"
Di kamar Karina dan Dewa, Naina masuk dengan semangkuk bubur di tangannya. Senyum sang kakak mengembang, ia tak menolak suapan dari adik satu-satunya.
Menolak permintaan sang adik sama saja menyakitinya yang tengah berduka karena pernikahannya dibatalkan. Jika Karina boleh egois, mulutnya enggan memakan apa pun.
Begitupun dengan Naina, ia tak pernah menampakan kesedihannya di depan sang kakak. Baginya Karina sudah sangat menderita dengan kehilangan calon bayinya. Kenapa harus ditambah dengan wajahnya yang masam.
"Na, ada atasan kamu di depan."
Naina mengernyitkan alis mendengar ucapan bu Linda. "Atasan?"
"Kepala divisi marketing yang sok kecakepan," ucap bu Linda menirukan Naina jika sedang mengghibahi sang pria.
"Ngapain ke sini?"
"Tanya aja sendiri." Bu Linda mengambil alih mangkok di tangan Naina untuk menggantikannya menyuapi Karina.
"Buruan," usir Karina.
Dengan langkah ragu Naina tetap menuju ke tempat atasannya berada. Ia tengah ngobrol dengan kak Dewa. Keduanya nampak akrab meski baru pertama kali bertemu. Malihat kedatangan Naina, Dewa segera sadar diri dan membiarkan Naina menemui tamunya.
"Yang ini lebih tampan daripada yang ono," bisik Dewa pada Naina sebelum kembali ke dalam kamar untuk menemui istrinya.
Naina hanya menggeleng kecil sembari melirik pria yang duduk dengan tenang. Memang tampan, sih. Aish, orang tampan selalu menyakitkan. Bisik Naina dalam hati.
"Pak Arga, terimaksih, karena sudah repot-repot datang ke sini. Bukan saya yang sakit tapi kakak saya," ucap Naina malu-malu. Berbeda dengan Naina yang menceritakan betapa menyebalkan atasannya pada sang ibu.
"Saya di sini juga untuk menengok kakak kamu bukan kamu. Tadi sudah diwakilkan sama suaminya."
"Oh. Terus kenapa belum pulang?" Tiba-tiba Naina sedikit ketus. Arga mengernyitkan alis kemudian.
"Kamu ngusir saya?" Pertanyaan Naina dibalas dengan pertanyaan lainnya oleh Arga.
"B-bukan maksud saya begitu, Pak. Sumpah!"
"Minta maaf, kalau gitu."
"Maaf, Pak." Naina menunduk.
Naina berpikir dengan tidak hadirnya ia hari ini di kantor, akan terbebas dari perintah sang kepala divisi marketing untuk meminta maaf. Ternyata Arga mengejarnya hingga ke rumah, hanya untuk membuat Naina meminta maaf padanya. Benar-benar atasan yang aneh.
"Saya sudah mendengar musibah yang tengah menimpa kamu dari Mayra. Saya turut bersedih mendengarnya. Alasan kedatangan saya yang lain untuk membicarakan cuti menikah yang kamu ajukan. Hm ...."
Arga menggantung ucapannya, ia merasa tidak enak hati untuk mengatakan secara langsung tentang pernikahan Naina yang batal. Di sisi lain Naina mengerti hal apa yang akan diucapkan atasannya hingga menggantungnya seperti itu.
"Lanjutkan saja, Pak. Tidak papa."
"Bagaimana jika tidak perlu mengambil cuti. Kamu bisa mengunakannya di lain waktu. Saya pikir kamu bisa terus menyibukan diri agar tidak terlalu fokus dengan musibah yang tengah kamu hadapi, jika tetap masuk kerja."
Naina paham maksud atasannya. Tidak ada salahnya mencoba apa yang disarankan oleh Arga. Dengan menyibukkan diri, Naina pasti akan cepat melupakan sakit hatinya pada Ivan.
"Weekend mau kemana?"
"Hah?" Naina membulatkan matanya, ia sangat terkejut dengan pertanyaan terakhir sang kepala divisi.
"Jika tidak kemana-mana, besok temani saya ke pantai. Tidak boleh menolak," ucap Arga tegas.
Sebetulnya jika Arga tidak mengatakannya seperti sebuah kewajiban pun Naina akan merasa sungkan untuk menolak, mengingat Arga adalah atasannya.
Tapi, ya, apa boleh buat. Arga sudah menyematkan kalimat untuk tidak menolaknya. Meskipun terdengar aneh di telinga Naina, mereka akhirnya pergi ke pantai setelah Arga menjemput langsung hingga ke depan rumah Naina.
"Kamu boleh, loh, jika mau teriak di sini." Saran lainnya meluncur dari bibir tipis Arga, setelah keduanya berdiri di bibir pantai.
Naina mengiyakan. Dia maju beberapa langkah menuju ombak laut yang saling berkejaran. Memposisikan kedua tangannya di dekat mulut sebelum berteriak.
"Aaaaaa. Kamu brengs*k Ivan," teriaknya hingga beberapa kali, dan itu membuatnya benar-benar lega.
"Jika kamu mau menangis juga gak papa. Kamu bisa bersandar di bahuku jika mau."
Kali ini Naina tidak mengikuti saran dari Arga. Terdengar aneh baginya. Sang atasan yang tiba-tiba perhatian saja terasa mencurigakan. Apalagi ditambah meminjamkan bahu untuk bersandar Naina.
Berbeda dengan yang ada dibenak Arga. Baginya Naina adalah aset penting perusahaan. Setiap ide cemerlangnya selalu menonjolkan divisi marketing dari pada divisi lainnya.
Maka dari itu, Arga selaku atasan merasa berkewajiban menjaga kewarasan Naina agar selalu dalam mood yang baik. Arga tidak tahu jika Naina justru menganggapnya sebagai pembawa mood buruk.
"Kamu lapar Naina?"
Naina menggeleng, dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Arga. Biarlah Naina menahan lapar satu hari ini.
Setelah lelah bermain ombak, Arga membawa Naina menepi ke tukang penjual kelapa muda. Mereka mengabiskan waktu hingga senja dengan mengobrol, hingga tak terasa obrolan membunuh kecanggungan di antara keduanya.
"Pulang, yuk," ajak Naina yang mulai bicara dengan santai pada Arga.
Hari ini perlakuan Arga begitu spesial pada Naina. Semoga Naina tidak menyalah artikan kebaikan Arga yang memiliki tujuan berbeda.
Range Rover yang Arga dan Naina tumpangi berhenti pada sebuah lampu merah. Mata Naina yang memang menatap keluar kaca, bertumbuk pada sosok yang begitu ia kenal.
"Siapa?" tanya Arga tanpa ragu saat melihat Naina tak mengalihkan pandangannya pada sepasang kekasih yang tengah menyebrang jalan.
Keduanya tampak begitu serasi, si pria tampan dengan tubuh tegap menjulangnya dan wanita yang cantik, putih, langsing bak gitar akustik. Membuat mata Naina yang melihatnya menjadi memerah.
"Kamu kenal?" tanya Arga lagi meski pertanyaan pertamanya tak mendapat jawaban.
"Si brengs*k Ivan."
Siapa yang Ivan gandeng dengan mesra di muka umum seperti ini?
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Firman Firman
jngn kwatir naina kmu akn mndafatkn laki laki yg jauh lebih baik 👍
2024-06-24
0
vie na Ai
makanya Naina sbagai wanita km hrus menjaga penampilan juga rupa wajahmu
2024-06-20
0
Grey
sat set nih😂🤣
2024-05-29
0