"Kak sudah mau berangkat? Sini biar aku bantu bawakan tasnya." Meski sangat takut mendekati pria yang saat ini tengah sibuk mengancing lengan kemejanya, Viona tetap memberanikan diri. Ia tidak ingin menjadi istri yang tidak menjalankan perannya dengan baik. Setidaknya kali ini ia tidak melakukan kesalahan, hanya menawarkan niat baiknya pada Axel.
Sayang, ucapan itu lama tak mendapatkan respon apa pun. Axel hanya diam melanjutkan segala aktifitasnya. Mengambil semua berkas dan memasukkan ke dalam koper kerjanya. Viona diam memperhatikan pergerakan pria itu. Sungguh rasanya Viona begitu bingung sekali pasalnya ia sendiri tak tahu harus melakukan apa di sini. Dapur satu-satunya tempat wanita untuk beraktifitas namun sang pemilik rumah sudah menegaskan dengan jelas jika dirinya tak boleh menyentuh area dapur. Entah apa yang menjadi alasannya, namun Viona tahu itu semua pasti karena sang kakak yang saat ini entah pergi kemana.
Saat pria itu bergerak hendak keluar kamar dan membawa tasnya, Viona dengan cepat mengambil alih tas milik Axel.
"Kemarikan, Kak. Aku bisa- awh!"
Tubuh Viona terhempas ke lantai karena dorongan Axel yang begitu kuatnya.
"Bukankah sudah ku bilang? Jangan berani mendekati aku! Menjauhlah!" Teriakan Axel begitu nyaring terdengar sampai Viona memejamkan mata di bawah sana.
Sedikit pun Axel tak ada niat untuk menolongnya berdiri. Pria itu berlalu begitu saja dengan membanting pintu kamar mereka. Viona hanya terdiam di lantai menatap kepergian sang suami yang tak lagi terlihat karena pintu tertutup. Sejenak wanita itu menunduk menatap lantai dengan tatapan sedih. Kenapa bisa Axel semarah itu padanya? Bukankah yang menyetujui pernikahan ini adalah dirinya sendiri?
Tak tahan dengan semuanya Viona memilih bergegas untuk mempersiapkan diri dan ke rumah kedua orang tuanya. Barangkali di sana ia bisa mendapat kekuatan dari sang ibu sebab sang ayah jelas sudah pergi ke kantor saat ini.
"Nyonya Viona, sarapan dulu." sang pelayan datang menawarkan Viona makan pagi itu saat ia baru saja keluar dari kamar dan hendak menuju pintu utama.
Viona berhenti sejenak lalu tersenyum. "Terimakasih, Bi. Saya mau sarapan di rumah ibu saja. Saya titip rumah yah, Bi?" Viona berlalu dengan senyum meski kedua matanya nampak begitu sedih. Sembab semalam masih terlihat jelas di wajah Viona.
Sesampainya di rumah, suasana begitu sunyi sekali. Rumah yang dulu terasa sangat hangat bagi Viona, rumah yang terasa surga di dunia baginya. Selalu ada waktu berbincang hangat serta canda tawa di rumah tempatnya di besarkan, kini sudah hilang entah kemana berganti dengan kesunyian yang terasa tak berpenghuni lagi. Pintu rumah terbuka lebar. Terlihat di sana pelayan sedang membereskan meja makan.
"Non Viona," sang pelayan menyapa dan Viona hanya tersenyum.
Niat ingin sarapan nyatanya perutnya mendadak terasa penuh saat tiba di rumah sang ibu.
"Ibu mana, Bi?" tanya Viona yang tak melihat sang ibu, bahkan biasanya Nada selalu rajin merawat bunga di depan rumah ketika pagi menyapa hingga matahari mulai terik barulah berhenti.
"Di kamar Non Tiara, Non." jawab pelayan dan Viona bergegas menuju kamar sang kakak.
Tak ada barang apa pun di sana sama seperti yang ia lihat terakhir kalinya. Hanya ada sebuah foto Viona dan Tiara yang saat ini di tatap oleh sang ibu. Wanita itu nampak sangat sedih, air matanya jatuh kala Viona melihat jemari sang ibu mengusap wajah sang kakak.
"Ibu, kenapa di sini? Ibu kangen sama Kak Tiara? Kita pergi temui dia. Viona akan temani ibu. Viona juga rindu-"
"Berhenti Viona! Jangan bicara apa pun lagi tentang kakakmu. Ibu sudah begitu kecewa." Nada bergegas meninggalkan kamar dan menuju kamarnya. Baru saja Viona ingin mengejar, pintu kamar sudah tertutup begitu kencangnya.
"Astagfirullah..." Viona memejamkan mata tepat di depan pintu kamar sang ibu sembari mengusap dadanya yang terasa berdebar begitu kencang karena kaget.
Pelan ia mendekat dan mengetuk pintu sembari menggoyangkan handle pintu. "Bu, buka pintunya. Viona mau bicara, Bu. Sebenarnya ada apa? Viona bingung, Bu. Tolong katakan pada Viona." lama Viona berdiri tak ada apa pun yang terdengar dari dalam kamar sana.
Viona melangkah lemas menuju sofa yang ada di dekat kamar sang ibu. Pikirannya benar-benar kalut. Rasanya ketika bangun dari masa kritis, Viona benar asing dengan lingkungannya. Semua orang berubah begitu drastis. Kehidupannya seperti begitu mimpi buruk.
Ingin bertanya pada sang bibi, tentu saja wanita itu tidak tahu apa-apa sebab baru saja kembali dari kampung setelah dua minggu lamanya pulang kampung. Pusing dengan semuanya, Viona kembali menuju kamar sang kakak. Di raihnya foto yang menampilkan wajahnya dan sang kakak. Viona memeluk frame foto itu.
"Kakak segera pulang yah? Kalau ada Kakak pasti Viona tidak akan seperti ini. Kakak pasti akan marah dengan ibu dan pria tua itu. Dia sangat jahat, Kak. Tapi mungkin ini semua karena dia begitu mencintai Kak Tiara. Aku rela kok kalau nanti kakak kembali, Kakak mau kembalian lagi sama pria tua itu. Aku juga ogah kak punya suami galak begitu. Bisa-bisa jantung yang di donorkan ini rusak lagi gara-gara pacar kakak yang pemarah itu." ujar Viona terkekeh meski air matanya jatuh saat berbicara dengan Tiara melalui foto.
Merasa ingin menghibur diri sendiri, Viona bergegas menuju ruang lukis miliknya yang terkunci. Ia membuka dan mulai kembali sibuk dengan aktifitas biasanya. Senyumannya mengembang tatkala membuat sketsa wajah sang kakak yang cantik sekali. Mereka berdua sama-sama cantik dengan keunikan masing-masing.
Kalau aku sudah punya kamar sendiri, foto kita akan aku cetak banyak-banyak yang ada di ponsel ku, Kak. Tapi Kakak janji harus pulang dan ambil itu om tua dari aku. Aku nggak betah kak tinggal sama dia." ujar Viona mencurahkan isi hatinya.
Sementara Axel yang berada di kantor nampak memegang keningnya pusing. Semua video Tiara yang ada di ponselnya satu persatu ia buka. Sampai tak sadar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan hari ini juga tampak tertunda semuanya.
"Permisi, Tuan. Setengah jam lagi kita akan berangkat bertemu klien. Apa berkas yang saya berikan pagi tadi sudah anda tanda tangani?" Sang sekertaris pun datang mengampiri Axel.
Bukannya mendapat jawaban, Axel justru melempar semua berkas di depannya sembari berteriak begitu kencang.
"Argh!!!" wanita di depannya begitu kaget sampai termundur ke belakang.
"Tuan?"
"Diam! Dan keluar sekarang!" kedua mata Axel tampak membulat dan memerah melihat sang sekertaris. Tangannya yang panjang menunjuk ke arah pintu. Wanita itu pun buru-buru keluar dengan berlari tanpa perduli dengan berkas yang harus ia bawa. Bahkan pertemuan siang ini sepertinya harus ia undur lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Yunia Afida
semangat terus
2023-04-04
0