Beberapa hari kemudian, Emi berjalan dengan tergesa gesa di kampusnya. Rok panjangnya tidak membatasinya untuk berjalan setengah berlari, karena dia menggunakan sepatu lari.
"Hanna!” teriaknya setelah melihat sosok mahasiswi yang ditujunya.
Emi setengah berlari menghampiri Hanna, dan memberikan roti pesanan gadis itu.
Gadis yang bernama Hanna berdecak, “kau sudah lihat media sosialmu?” ketusnya sembari merampas roti miliknya.
Emi mengangguk dengan mata yang berbinar. “Ya, pengikutnya tiba-tiba jadi tujuh ratus tujuh puluh tujuh followers,” katanya dengan nada bersemangat.
Hanna yang sedang mengunyah potongan roti di mulutnya, mebelalakan matanya. Dia berpikir penjual roti langganannya sudah error agaknya. Apakah dia menjadi bersemangat karena tidak memiliki teman selama ini?
Hanna menunjukkan layar gawai seri keluaran terbaru miliknya kepada Emi, “bagaimana kau bisa setenang itu setelah membaca komentar orang asing di media sosialmu?” tanyanya kemudian.
“Oh, aku belum melihatnya,” ucap Emi sembari mengeluarkan gawai seri terlama miliknya dengan tenang.
“Dia belum membacanya?” gumam Hanna tak percaya.
“Apa?! Penguntit? Sangat jelek dan bodoh?” Emi membaca layar gawainya kesal, ada ratusan komentar yang mengumpat dirinya dan orang tuanya. “Siapa orang-orang gila ini?” tanyanya kepada Hanna.
Hanna mengangkat kedua bahunya sembari memakan rotinya dengan santai. Hari itu dirinya tidak ada jadwal kuliah. Dia datang ke kampus hanya karena tiba-tiba ingin makan roti.
“Apa mereka penggemar si Simon?” gumam Emi. Dia memutuskan untuk menghapus unggahannya, dan membuat postingan permintaan maaf di akun media sosialnya. Dia berpikir masalah itu akan selesai begitu saja.
“Terima kasih, selamat menikmati rotinya,” kata Emi seraya pergi meninggalkan Hanna.
Bukankah seharusnya pengumuman beasiswa sudah keluar? Emi membuka website kampus dari gawainya sembari berjalan menuju fakultasnya.
Jantungnya berdebar seiring dengan jemarinya membuka laman pengumuman. Dan benar saja, kemalangan kembali menerpanya. Namanya tidak ada di daftar penerima beasiswa semester depan.
Bagaimana bisa? nilai indeks prestasinya semester lalu rata- rata baik sekali.
Salah satu syarat kelulusan penerima beasiswa yang diperbaharui setiap tahunnya adalah harus masuk di 30% nilai indeks prestasi tertinggi.
Dia telah berusaha keras untuk itu. Apakah ada kesalahan? otaknya berpikir lebih keras. Dimana salahnya?
"Apa yang sedang kau lihat?" suara Hanna yang tiba-tiba, mengagetkan Emi. Gadis itu merebut gawai Emi, "kau mendaftar beasiswa?"
"Tidak," Emi merebut kembali gawainya.
"Apakah aku harus membeli roti dulu, agar kau berbicara lembut denganku?" sindir Hanna. "Melihat aura auranya, sepertinya pengumuman itu tidak menyenangkanmu," tebak Hanna kemudian.
Emi memasukan kembali gawainya ke dalam tas, "sudah ya, aku pergi masuk kelas."
Tidak menyerah, Hanna mengikuti langkah Emi masuk ke gedung fakultas ekonomi dan bisnis.
"Mengapa kau ke sini? Apakah ada seseorang yang kau cari disini?" tanya Emi sedikit penasaran, Nicholas misalnya? teman sekelasnya yang kemarin ditatap Hanna tak berkedip.
Hanna menggeleng, senyum melebar di wajahnya, "kuliah," katanya singkat.
"Oh mahasiswa desain telah pindah ke gedung ini," Emi memutuskan untuk tidak memperdulikan keberadaan Hanna. Dia pikir Hanna tidak serius menjawab pertanyaannya.
"Aku pindah jurusan, sepertinya menggambar bukan keahlianku," Hanna tersenyum tipis, dan berjalan mendahului Emi.
***
Di sebuah aula kelas, tampak seorang pria paruh baya sedang berdiri dengan serius menjelaskan sesuatu yang menurutnya sangat penting untuk segera disampaikan kepada mahasiswanya.
Semangatnya begitu bergelora, hingga dua papan tulis berwarna putih mengkilap yang menempel di dinding depan kelas tak cukup untuk menampung tulisan tulisan pemikirannya.
Critt... critt..
Suara decit terdengar nyaring dari arah papan berwarna putih saat pria itu menghapus guratan spidolnya. Tak peduli apakah mahasiswanya telah menyalinnya atau belum. Dia juga tidak peduli apakah mahasiswa menyimak atau tidak apa yang disampaikannya.
Di pojok kanan kelas, Emi hanya duduk diam mendengarkan celoteh dosen yang usianya hampir setengah abad itu. Dia menghela napas berat, mengingat namanya tidak ada dalam daftar penerima beasiswa untuk tahun depan. Segala pemikiran berkecamuk di kepalanya hingga tak sadar jika dosen yang memiliki semangat tinggi itu telah meninggalkan kelas mereka. Perkuliahan jam pertama telah selesai.
"Emi!" Teriakan salah satu mahasiswi di kelas itu membuyarkan lamunan Emi
"Ya?" tanya Emi setelah menoleh ke arah sipemanggil bernama Carolina. Gadis itu tengah berdiri di sebelah kursi Emi.
Carolina memasang senyum di wajahnya, "kami akan mengerjakan tugas pak Yunus di rumahku, ayo ikut!" ajaknya kemudian.
Emi mengernyitkan dahinya, memastikan kembali kondisi indra pendengarnya. "Kau bilang apa? maaf."
Meskipun teman sekelas, Emi tidak pernah berbicara dengan Carolina. Ya, hanya sebatas hubungan simbiosis mutualisme diantara mereka.
Gadis cantik berambut ikal dengan warna coklat keemasan itu mencoba kembali memasang senyum di wajahnya. "Ayo ikut mengerjakan tugas pak Yunus di rumahku, karena kita satu kelompok."
"Oh," jawab Emi singkat. Segera dia memasukan buku dan alat tulis miliknya ke dalam tas. Mengapa dia memasukanku dalam kelompoknya ? Batinnya.
***
Sebuah mobil mungil dan stylish berwarna merah meluncur meninggalkan area kampus Pelita Pelipur Lara.
Emi, si gadis fresh from the oven duduk diam di dalam mobil merah melaju dengan kecepatan lumayan agak cepat itu. Dia diam karena bingung, mengapa dirinya berada di tengah-tengah Carolina and the geng?
Selama perjalanan menuju rumah milik kedua orang tua Carolina, pikiran Emi terus bertanya tanya, mengapa ketiga gadis itu tiba-tiba beramah tamah dan menjadikan dirinya bagian dari mereka.
Hingga tugas mereka selesai, Emi masih bertanya-tanya dalam pikirannya, karena dia belum menemukan jawabannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments