Malam itu, Anna berdandan dengan sederhana namun anggun. Dia memilih dress putih selutut yang menonjolkan kesan polos, lengkap dengan sepatu hak tinggi yang memberinya sedikit rasa percaya diri. Namun, di balik penampilannya yang anggun, hatinya dipenuhi kegelisahan.
"Cantik sekali anak ayah," puji ayahnya, Pak Satria, dengan penuh bangga saat melihat Anna keluar dari kamarnya.
Anna tersenyum kecil, namun matanya terlihat sedikit khawatir. "Bun, Anna takut," gumamnya sambil menatap bundanya, Bu Lita, yang hanya membalas dengan senyuman menenangkan.
"Tenang, sayang," ujar Bu Lita sambil mengusap bahu Anna. "Percaya sama bunda, ya? Calonmu pasti orang baik."
Anna mengangguk meski ragu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Ayahnya mengajak mereka keluar rumah, dan dengan langkah yang sedikit berat, Anna mengikuti orang tuanya menuju restoran tempat pertemuan keluarga itu dijadwalkan.
Sesampainya di restoran, Anna melihat seorang wanita tersenyum hangat dan menghampiri mereka.
"Jeng, ini anakmu ya, Anna? Cantik sekali," puji wanita itu, yang ternyata adalah calon besan orang tuanya, Tante Salia.
Anna tersipu malu. "Selamat malam, Tante Salia," sapanya.
"Ya ampun, kamu cantik banget, Anna!" ujar Tante Salia penuh kagum, sebelum kembali menatap ke arah suaminya. "Anak kita mana, Pa?"
"Sebentar lagi sampai, mungkin sedikit terjebak macet," jawab suaminya.
Untuk mengisi waktu, Tante Salia mulai mengobrol dengan Anna. "Kamu sekolah di mana, sayang?"
"SMA Cendekiawan, Tante," jawab Anna sopan.
"Oh, wah! Kebetulan sekali, anak tante juga sekolah di sana, kelas 12 juga!"
Anna terkejut mendengar itu. "Kalau boleh tahu, namanya siapa, Tante?"
Sebelum Tante Salia sempat menjawab, tiba-tiba ada suara seorang laki-laki datang. "Maaf, saya terlambat," ujarnya, terdengar sedikit kelelahan.
Anna menoleh dan langsung terkejut melihat sosok laki-laki di depannya. "Lo!" ucapnya bersamaan dengan laki-laki itu, yang tak lain adalah Jevandra, sosok yang tak asing baginya dari sekolah.
Orang tua mereka hanya tersenyum, tidak menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul antara Anna dan Jevan. "Wah, kalian sudah saling kenal rupanya!" ucap Ibu Salia dengan senyum lebar.
"Ah, nggak, cuma kenal nama saja," jawab Anna cepat, mencoba menutupi kecanggungan.
Jevan segera duduk dan bersalaman dengan orang tua Anna. Di tengah obrolan, ayah Anna, Pak Satria, memulai pembicaraan serius. "Baiklah, om ingin menanyakan tentang pendapat kalian berdua mengenai perjodohan ini."
Anna dan Jevan saling pandang. Jevan segera meminta izin kepada orang tua mereka. "Om, Tante, boleh saya bicara sebentar dengan Anna di taman?"
Pak Satria dan Bu Lita mengangguk, memberikan izin. "Silakan, nak. Pikirkan dengan baik, ya."
Di taman yang sedikit sepi, Anna dan Jevan duduk berhadapan. Hening sejenak, masing-masing terdiam. Jevan yang pertama kali memecah kesunyian.
"Kenapa lo mau menerima perjodohan ini?" tanyanya langsung, matanya menatap Anna dalam.
Anna menarik napas dalam. "Gue cuma mau bahagiain orang tua. Gue tahu ini yang terbaik menurut mereka, dan gue mau coba menghormati keputusan mereka. Kalau lo sendiri?"
"Alasan gue sama. Gue nggak mau ngecewain orang tua," jawab Jevan dengan nada serius. "Walaupun, jujur, gue nggak yakin bisa menjalani ini dengan baik."
Anna mengangguk pelan. "Gue juga takut. Kita bahkan nggak saling cinta. Gue takut nanti ini cuma bakal jadi beban buat kita."
Jevan terdiam, berpikir sejenak. "Gue tahu ini sulit. Tapi mungkin, dengan berjalannya waktu, kita bisa saling memahami. Mungkin cinta bisa muncul seiring waktu."
Anna tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatinya. "Tapi gue punya satu permintaan."
"Apa itu?" tanya Jevan penasaran.
"Hubungan ini, untuk sementara kita rahasiakan dulu di sekolah. Gue nggak mau ada yang tahu sampai kita berdua siap."
Jevan mengangguk. "Oke, gue setuju. Gue juga lebih nyaman begitu."
Dengan perasaan sedikit lebih ringan, mereka kembali ke restoran. Setibanya di meja, ayah Anna langsung bertanya dengan penuh harap, "Jadi, bagaimana, Anna?"
Anna menatap wajah kedua orang tuanya, yang tampak begitu berharap. Dia akhirnya mengangguk pelan. "Anna setuju, Ayah, Bunda."
Bu Lita segera memeluk putrinya. "Alhamdulillah," ucapnya dengan penuh rasa syukur.
Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Orang tua mereka kembali membuat keputusan mengejutkan.
"Kalau begitu, kita akan adakan pernikahannya satu minggu lagi," ujar Pak Satria dengan nada yakin.
Mendengar itu, Anna dan Jevan tersentak. "Apa?!" teriak mereka bersamaan, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
"Pa, Ma, bukannya itu terlalu cepat?" protes Jevan, yang tampak benar-benar tak siap dengan kecepatan keputusan ini.
"Ayah dan Bunda berpikir lebih cepat lebih baik. Tidak perlu menunda-nunda kalau memang ini sudah keputusan yang baik," jawab Pak Satria tenang.
Anna dan Jevan hanya bisa saling pandang, mencoba mencerna kenyataan bahwa hidup mereka akan berubah dalam waktu secepat ini. Mereka merasa pasrah, meski ada ketakutan dan ketidakpastian dalam diri masing-masing. Mereka menyantap hidangan makan malam sambil diam-diam tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan masa depan yang tiba-tiba begitu dekat di depan mata.
'Secepat inikah hidupku berubah?' pikir Anna dengan hati yang masih berdebar. Pandangannya teralihkan pada Jevan, yang juga tampak berpikir keras. Mereka berdua sadar, dalam waktu satu minggu, kehidupan mereka akan berubah selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments